Sungai Citarum selalu dituding sebagai penyebab utama terjadinya banjir di kawasan Kabupaten Bandung, juga daerah-daerah lain di sepanjang aliran sungai terbesar sekaligus terpanjang di Provinsi Jawa Barat itu. Induk sungai ini berhulu dari tujuh mata air yang berinduk dari sumber-sumber mata air lainnya yang ada di kawasan gunung-gunung besar yang berada di sekeliling kawasan Bandung. Dari selatan ada anak sungai besar bernama Cisangkuy, dan dari utara ada anak sungai Cikapundung. Kedua anak sungai tersebut bermuara di Citarum, kawasan bekas Ibukota Bandung lama, yakni Baleendah dan Dayeuhkolot. Karena itu sangat wajar kiranya, jika pada puncaknya musim penghujan tiba, kedua titik ini dapat dipastikan akan dilanda luapan air sungai yang melimpah, alias banjir.
Tahun ini, berdasar pengakuan para penduduk perkampungan korban banjir di kedua daerah tersebut, merupakan banjir terbesar. Di samping luapan banjir yang begitu cepat, juga kawasana yang terkena banjir pun semakin luas. Rumah-rumah atau perkampungan yang biasanya tidak terkena, kini ikut terendam banjir. Bahkan jalan raya yang sengaja dibangun lebih tinggi pun, ikut pula tergenang, sehingga berdampak terputusnya arus transportasi.
Terlepas dari cerita tentang banjir, sebagaimana hasil investigasi Misteri, di balik namanya yang terkenal itu, Citarum ternyata banyak menyimpan cerita misteri yang menarik digali sekaligus diketahui. Konon, nama Citarum sebagai sebuah sungai tua sudah ada sejak zaman sebelum kota Bandung terbentuk. Bahkan, nama Citarum sudah dikenal dan sudah ada jauh tatkala kawasan Bandung masih berupa cekungan, atau sebelum terjadinya pristiwa Bandung menjadi sebuah danau raksasa, yang lebih masyhur dikenal dengan nama telaga. Ini terjadi untuk jangka waktu ratusan tahun lamanya.
Sebagaimana catatan sejarah yang dapat dibaca, bahwa konon kawasan Bandung dulunya masih berupa hutan, dengan cekungan yang ada di bawah kaki Gunung Sunda. Di bagian utara cekungan ini sejak dulunya telah dibelah oleh sebuah aliran sungai bernama Citarum, yang titik hulunya berasal dari sebuah gunung lain di kawasan selatan, dengan arah alirannya menuju ke barat hingga menembus sebuah gunung lainnya yang ada disana, sebelum akhirnya terus mengalir ke kawasan luar Bandung yang ada di sebelah barat.
Karena suatu peristiwa alam yang menghebohkan, yakni meleutusnya Gunung Sunda yang disebutkan berada di bagian utara Bandung saat ini, maka dampaknya antara lain terjadinya luapan larva, serta bebatuan-bebatuan besar. Kesemuanya itu mengalir memenuhi aliran Sungai Citarum.
Karena aliran Sungai Citarum menuju ke laut yang berada di bagian barat Pulau Jawa yang sebelumnya harus melewati terowongan sungai di bawah Gunung Sunda, oleh sebab banyaknya bebatuan yang terbawa serta limpahan larva akhirnya tersumbat. Aliran sungai yang melewati terowongan secara otomatis tertampung di antara cekungan Bandung. Karena peristiwa ini, konon, untuk sekian ratusan tahun lamanya kawasan Bandung pun terendam dan berubah menjadi sebuah danau atau telaga raksasa. Hingga pada priode ratusan tahun berikutnya sumbatan bebatuan itu kembali terkikis dan Bandung pun kembali berubah menjadi daratan yang dialiri oleh banyak sungai-sungai kecil, yang kesemuanya berinduk pada sebuah sungai besar bernama Citarum.
Kendati demikian, siapa sangka kalau Citarum yang selalu dituding sebagai pangkal penyebab banjir di kawasan Bandung itu asal muasalnya adalah dari sebuah selokan, atau setidaknya hanyalah sebuah sungai kecil yang berasal dari kawasan hutan Gunung Wayang, Pangalengan. Menurut cerita, sedikitnya ada tujuh atau lima buah sumber mata air yang kemudian mengalir membentuk Sungai Citarum. Sumber-sumber mata air itu mengalir dari sela-sela bebatuan di puncak Gunung Wayang itu kesemuanya mengalir dan tertampung pada sebuah kolam penampungan kecil yang berada di bagian kaki gunung setinggi 2181 meter diatas permukaan laut tersebut. Akhirnya air tersebut mengalir melalui selokan-selokan kecil yang membelah areal pesawahan dan perkampungan.
Namun, siapa sangka pula bahwa sumber air yang tertampung pada kolam kecil di kaki Gunung Wayang itu, sejak lama dikenal sebagai sumber air keramat. Pada setiap hari atau bulan-bulan tertentu, sumber air tersebut kerap didatangi banyak peziarah yang bertujuan mendapatkan berkah.
“Sumber air ini merupakan sumber air keramat yang ada di Gunung Wayang, di samping tempat-tempat lainnya yang berada di atas bagian gunung ini,” jelas Pak Oman (63), sesepuh setempat yang kepada Misteri.
Disampikan pula oleh Pak Oman, bahwa disamping banyak didatangi oleh para peziarah yang tujuannya bermacam-macam, sejak lama sekali kawasan Gunung Wayang telah menjadi semacam tempat wajib yang mesti diziarahi oleh mereka yang berhasrat menjadi dalang.
“Hampir semua dalang besar yang namanya kini terkenal, pasati pernah mendatangi gunung ini,” tandasnya.
Selain sumber air keramat, di kawasan ini pun terdapat sebuah makam petilasan yang dianggap sebagai bagian leluhur pegunungan gaib hulu Citarum. Makam tersebut berada tepat di sebelah kanan sumber air dan dikenali dengan sebutan Makam Eyang Dipati Ukur.
“Bisanya, setelah melakukan ritual mandi di sumber air Citarum, maka selanjutnya para peziarah pun melakukan ziarah ke makam Eyang Dipati Ukur. Mereka umumnya melakukan ritual pengukuran tongkat,” tambah Pak Oman.
Lebih lanjut kakek puluhan cucu ini menjelaskan, bahwa ritual tongkat yang dipotong sepanjang dua rentangan tangan (Sadeupa: B. Sunda) itu merupakan sibol keberuntungan. Biasanya, setelah melakukan ritual khusus peziarah akan melakukan pengukuran makam dengan tongkat tersebut. Kalau ternyata panjang makam sama dengan tongkat, maka segala permaksudan si peziarah akan tercapai. Sebaliknya, bila panjang tongkat tidak sama dengan panjang makam, maka permaksudannya masih belum saatnya terkabulkan. Uniknya, ada saja peziarah yang mengalami kejadian seperti ini. Aneh, memang. Tapi begitulah kenyataan yang terjadi.
Berdasar informasi yang berhasil dihimpun Misteri, alur Sungai Citarum yang mengalir dari hulu hingga ke titik paling akhir dari kawasan Bandung, konon terbagi dalam dua alur kekuatan dimensi gaib. Dari arah hulu hingga titik tengahnya yang berada di sekitaran kawasan Daeyeuhkolot, memiliki penguasa gaib yang berwujud seekor kerbau siluman yang tanduknya yang seperti patah menggelantung ke bawah, atau dalam istilah masyarakat setempatnya disebut Munding Dongkol.
Menurut pengakuan kebanyakan masyarakat sepuh di sana, konon kemunculan kerbau jejadian ini biasanya terjadi menakala air Sungai Citarum akan meluap atau banjir. Kerbau jejadian tersebut jika kebetulan ada yang melihat penampakannya dan dia sedang berenang di tengah sungai dari arah hulu ke titik batas kekuasaannya, maka dapat dipastikan banjir besar akan berlangsung.
“Seperti pada saat akan terjadinya banjir besar akibat meluapnya Sungai Citarum pada sekitar tahun 1986 silam. Dengan mata kepala sendiri, saya sempat menyaksikan penampakkan kerbau siluman Munding Dongkol itu. Dia sedang berenang-renang di tengah sungai. Namun pada saat menjelang banjir besar sekarang saya tidak melihatnya. Mungkin ada orang lain yang sempat melihatnya,” cerita Pak Oyo (50), penduduk sebuah perkampungan di Dayeuhkolot.
Dijelaskan pula, Munding Dongkol yang biasanya muncul sebagai pertanda akan terjadinya banjir itu, yang akan terlihat cuma bagian kepalanya saja. “Dia akan nampak seperti kerbau yang tenggelam dan mengalir terbawa arus!” tandasnya.
Sementara itu, dari kawasan Dayeuhkolot hingga ke alur paling akhir, yakni di ujung paling barat kawasan Badung, konon Sungai Citarum ini memiliki penunggu gaib lainnya, yang berwujud seekor ular besar berwarna hitam dengan lingkaran putih dibagian lehernya, atau menyerupai kalung. Ular jejadian ini oleh masyarakat setempat dikenali dengan sebutan Raden Kalung. Penamaan ini konon karena asal muasalsi ular merupakan seorang putera bupati yang sempat mengawini perempuan dari bangsa jin.
Raden Kalung menjadi penguasa gaib Sungai Citarum konon tidak lain adalah atas perintah ayahandanya sendiri.
“Raden Kalung itu merupakan penunggu sungai yang baik, karena biasanya dia akan membantu menolong orang-orang yang tenggelam di sungai. Terutamanya adalah mereka yang memiliki hubungan saudara dengannya, ” cerita Mardiyah (65), seorang ibu yang ditemui Misteri dan ditinggal di sebuah perkampungan tepian Citarum.
Lebih lanjut dijelaskan oleh wanita tua yang juga mengaku memiliki hubungan keturunan dengan sosok Raden Kalung ini, bahwa konon wujud sebenarnya dari ular jadi-jadian itu ialah bagian kepalanya merupakan kepala manusia. Persisnya kepala seorang laki-laki berwajah tampan.
Mengiringi cerita terjadinya banjir besar yang melanda kawasan Bandung tahun ini, warga di beberapa perkampungan yang ada di dua kecamatan berbeda, yakni Baleendah dan Dayeuhkolot, dalam selang waktu yang berbeda pula, sempat dihebohkan oleh sebuah kejadian aneh. Ketika air Sungai Citarum itu meluap hingga menggenangi daratan, warga di kedua perkampungan tersebut dikabarkan sempat mendapat dua ekor ular berukuran yang sangat besar. Ular tersebut berjenis sanca kembang dengan ukuran panujang sekitar enam meteran.
Keanehan ular tersebut hingga kini masih menjadi cerita dan tanda tanya yang belum terjawab. Diceritakan, setelah kedua ular tersebut berhasil di tangkap secara beramai-ramai oleh masing-masing warga di kedua kampung tadi, esok paginya kedua hewan itu sama-sama hilang dari kandangnya. Padahal, kedua ular tersebut disimpan dalam sebuah tempat berupa peti dari kayu yang besar dan siangnya sempat menjadi tontonan di tengah bajir. Yang tak kalah aneh, peti tempat penyimpanannya masih dalam keadaan utuh.
Apakah kedua ekor ular itu merupakan sosok gaib yang menjadi bagian dari penunggu Sungai Citarum? Atau jangan-jangan hewan itu merupakan perwujudan dari penguasa gaib bernama Raden Kalung? Sungguh sebuah pertanyaan menggelitik yang selamanya selalu menarik untuk terus diterlusuri.
Terlepas dari cerita tentang banjir, sebagaimana hasil investigasi Misteri, di balik namanya yang terkenal itu, Citarum ternyata banyak menyimpan cerita misteri yang menarik digali sekaligus diketahui. Konon, nama Citarum sebagai sebuah sungai tua sudah ada sejak zaman sebelum kota Bandung terbentuk. Bahkan, nama Citarum sudah dikenal dan sudah ada jauh tatkala kawasan Bandung masih berupa cekungan, atau sebelum terjadinya pristiwa Bandung menjadi sebuah danau raksasa, yang lebih masyhur dikenal dengan nama telaga. Ini terjadi untuk jangka waktu ratusan tahun lamanya.
Sebagaimana catatan sejarah yang dapat dibaca, bahwa konon kawasan Bandung dulunya masih berupa hutan, dengan cekungan yang ada di bawah kaki Gunung Sunda. Di bagian utara cekungan ini sejak dulunya telah dibelah oleh sebuah aliran sungai bernama Citarum, yang titik hulunya berasal dari sebuah gunung lain di kawasan selatan, dengan arah alirannya menuju ke barat hingga menembus sebuah gunung lainnya yang ada disana, sebelum akhirnya terus mengalir ke kawasan luar Bandung yang ada di sebelah barat.
Karena suatu peristiwa alam yang menghebohkan, yakni meleutusnya Gunung Sunda yang disebutkan berada di bagian utara Bandung saat ini, maka dampaknya antara lain terjadinya luapan larva, serta bebatuan-bebatuan besar. Kesemuanya itu mengalir memenuhi aliran Sungai Citarum.
Karena aliran Sungai Citarum menuju ke laut yang berada di bagian barat Pulau Jawa yang sebelumnya harus melewati terowongan sungai di bawah Gunung Sunda, oleh sebab banyaknya bebatuan yang terbawa serta limpahan larva akhirnya tersumbat. Aliran sungai yang melewati terowongan secara otomatis tertampung di antara cekungan Bandung. Karena peristiwa ini, konon, untuk sekian ratusan tahun lamanya kawasan Bandung pun terendam dan berubah menjadi sebuah danau atau telaga raksasa. Hingga pada priode ratusan tahun berikutnya sumbatan bebatuan itu kembali terkikis dan Bandung pun kembali berubah menjadi daratan yang dialiri oleh banyak sungai-sungai kecil, yang kesemuanya berinduk pada sebuah sungai besar bernama Citarum.
Kendati demikian, siapa sangka kalau Citarum yang selalu dituding sebagai pangkal penyebab banjir di kawasan Bandung itu asal muasalnya adalah dari sebuah selokan, atau setidaknya hanyalah sebuah sungai kecil yang berasal dari kawasan hutan Gunung Wayang, Pangalengan. Menurut cerita, sedikitnya ada tujuh atau lima buah sumber mata air yang kemudian mengalir membentuk Sungai Citarum. Sumber-sumber mata air itu mengalir dari sela-sela bebatuan di puncak Gunung Wayang itu kesemuanya mengalir dan tertampung pada sebuah kolam penampungan kecil yang berada di bagian kaki gunung setinggi 2181 meter diatas permukaan laut tersebut. Akhirnya air tersebut mengalir melalui selokan-selokan kecil yang membelah areal pesawahan dan perkampungan.
Namun, siapa sangka pula bahwa sumber air yang tertampung pada kolam kecil di kaki Gunung Wayang itu, sejak lama dikenal sebagai sumber air keramat. Pada setiap hari atau bulan-bulan tertentu, sumber air tersebut kerap didatangi banyak peziarah yang bertujuan mendapatkan berkah.
“Sumber air ini merupakan sumber air keramat yang ada di Gunung Wayang, di samping tempat-tempat lainnya yang berada di atas bagian gunung ini,” jelas Pak Oman (63), sesepuh setempat yang kepada Misteri.
Disampikan pula oleh Pak Oman, bahwa disamping banyak didatangi oleh para peziarah yang tujuannya bermacam-macam, sejak lama sekali kawasan Gunung Wayang telah menjadi semacam tempat wajib yang mesti diziarahi oleh mereka yang berhasrat menjadi dalang.
“Hampir semua dalang besar yang namanya kini terkenal, pasati pernah mendatangi gunung ini,” tandasnya.
Selain sumber air keramat, di kawasan ini pun terdapat sebuah makam petilasan yang dianggap sebagai bagian leluhur pegunungan gaib hulu Citarum. Makam tersebut berada tepat di sebelah kanan sumber air dan dikenali dengan sebutan Makam Eyang Dipati Ukur.
“Bisanya, setelah melakukan ritual mandi di sumber air Citarum, maka selanjutnya para peziarah pun melakukan ziarah ke makam Eyang Dipati Ukur. Mereka umumnya melakukan ritual pengukuran tongkat,” tambah Pak Oman.
Lebih lanjut kakek puluhan cucu ini menjelaskan, bahwa ritual tongkat yang dipotong sepanjang dua rentangan tangan (Sadeupa: B. Sunda) itu merupakan sibol keberuntungan. Biasanya, setelah melakukan ritual khusus peziarah akan melakukan pengukuran makam dengan tongkat tersebut. Kalau ternyata panjang makam sama dengan tongkat, maka segala permaksudan si peziarah akan tercapai. Sebaliknya, bila panjang tongkat tidak sama dengan panjang makam, maka permaksudannya masih belum saatnya terkabulkan. Uniknya, ada saja peziarah yang mengalami kejadian seperti ini. Aneh, memang. Tapi begitulah kenyataan yang terjadi.
Berdasar informasi yang berhasil dihimpun Misteri, alur Sungai Citarum yang mengalir dari hulu hingga ke titik paling akhir dari kawasan Bandung, konon terbagi dalam dua alur kekuatan dimensi gaib. Dari arah hulu hingga titik tengahnya yang berada di sekitaran kawasan Daeyeuhkolot, memiliki penguasa gaib yang berwujud seekor kerbau siluman yang tanduknya yang seperti patah menggelantung ke bawah, atau dalam istilah masyarakat setempatnya disebut Munding Dongkol.
Menurut pengakuan kebanyakan masyarakat sepuh di sana, konon kemunculan kerbau jejadian ini biasanya terjadi menakala air Sungai Citarum akan meluap atau banjir. Kerbau jejadian tersebut jika kebetulan ada yang melihat penampakannya dan dia sedang berenang di tengah sungai dari arah hulu ke titik batas kekuasaannya, maka dapat dipastikan banjir besar akan berlangsung.
“Seperti pada saat akan terjadinya banjir besar akibat meluapnya Sungai Citarum pada sekitar tahun 1986 silam. Dengan mata kepala sendiri, saya sempat menyaksikan penampakkan kerbau siluman Munding Dongkol itu. Dia sedang berenang-renang di tengah sungai. Namun pada saat menjelang banjir besar sekarang saya tidak melihatnya. Mungkin ada orang lain yang sempat melihatnya,” cerita Pak Oyo (50), penduduk sebuah perkampungan di Dayeuhkolot.
Dijelaskan pula, Munding Dongkol yang biasanya muncul sebagai pertanda akan terjadinya banjir itu, yang akan terlihat cuma bagian kepalanya saja. “Dia akan nampak seperti kerbau yang tenggelam dan mengalir terbawa arus!” tandasnya.
Sementara itu, dari kawasan Dayeuhkolot hingga ke alur paling akhir, yakni di ujung paling barat kawasan Badung, konon Sungai Citarum ini memiliki penunggu gaib lainnya, yang berwujud seekor ular besar berwarna hitam dengan lingkaran putih dibagian lehernya, atau menyerupai kalung. Ular jejadian ini oleh masyarakat setempat dikenali dengan sebutan Raden Kalung. Penamaan ini konon karena asal muasalsi ular merupakan seorang putera bupati yang sempat mengawini perempuan dari bangsa jin.
Raden Kalung menjadi penguasa gaib Sungai Citarum konon tidak lain adalah atas perintah ayahandanya sendiri.
“Raden Kalung itu merupakan penunggu sungai yang baik, karena biasanya dia akan membantu menolong orang-orang yang tenggelam di sungai. Terutamanya adalah mereka yang memiliki hubungan saudara dengannya, ” cerita Mardiyah (65), seorang ibu yang ditemui Misteri dan ditinggal di sebuah perkampungan tepian Citarum.
Lebih lanjut dijelaskan oleh wanita tua yang juga mengaku memiliki hubungan keturunan dengan sosok Raden Kalung ini, bahwa konon wujud sebenarnya dari ular jadi-jadian itu ialah bagian kepalanya merupakan kepala manusia. Persisnya kepala seorang laki-laki berwajah tampan.
Mengiringi cerita terjadinya banjir besar yang melanda kawasan Bandung tahun ini, warga di beberapa perkampungan yang ada di dua kecamatan berbeda, yakni Baleendah dan Dayeuhkolot, dalam selang waktu yang berbeda pula, sempat dihebohkan oleh sebuah kejadian aneh. Ketika air Sungai Citarum itu meluap hingga menggenangi daratan, warga di kedua perkampungan tersebut dikabarkan sempat mendapat dua ekor ular berukuran yang sangat besar. Ular tersebut berjenis sanca kembang dengan ukuran panujang sekitar enam meteran.
Keanehan ular tersebut hingga kini masih menjadi cerita dan tanda tanya yang belum terjawab. Diceritakan, setelah kedua ular tersebut berhasil di tangkap secara beramai-ramai oleh masing-masing warga di kedua kampung tadi, esok paginya kedua hewan itu sama-sama hilang dari kandangnya. Padahal, kedua ular tersebut disimpan dalam sebuah tempat berupa peti dari kayu yang besar dan siangnya sempat menjadi tontonan di tengah bajir. Yang tak kalah aneh, peti tempat penyimpanannya masih dalam keadaan utuh.
Apakah kedua ekor ular itu merupakan sosok gaib yang menjadi bagian dari penunggu Sungai Citarum? Atau jangan-jangan hewan itu merupakan perwujudan dari penguasa gaib bernama Raden Kalung? Sungguh sebuah pertanyaan menggelitik yang selamanya selalu menarik untuk terus diterlusuri.
BOKS:
CITARUM
DI ZAMAN TARUMANEGARA
CITARUM
DI ZAMAN TARUMANEGARA
Situs Batujaya Karawang diduga merupakan sisa-sisa peninggalan dari Kerajaan Tarumanagara. Demikian juga dengan situs candi yang ditemukan di daerah Bojongmenje Rancaekek, Kabupaten Bandung. Makna kedua temuan ini bagi masyarakat Jawa Barat merupakan suatu hal yang sangat berarti untuk memperjelas keberadaan orang-orang Sunda dalam pentas sejarah di Pulau Jawa pada masa klasik, yaitu masa sebelum pengaruh Islam masuk dan berkembang.
Temuan Candi di Batujaya Karawang erat kaitannya dengan Prasasti Tugu, yaitu prasasti yang terdapat di Desa Tugu, dekat Tanjung Priok. Dalam Prasasti Tugu tersebut dinyatakan bahwa Raja Purnawarman memerintahkan untuk menggali dua kanal, yaitu Candrabaga dan Gomati, di mana kedua kanal tersebut alirannya terlebih dahulu dibelokkan ke sekitar istananya dan kemudian dialirkan kembali ke muara.
Panjangnya kanal tersebut setelah digali sejauh 6.122 tumbak, oleh Prof. Dr. Poerbatjaraka diperkirakan panjangnya 11 km. Jika perkiraan Purbatjaraka ini digunakan sebagai patokan dalam menelusuri bekas reruntuhan keraton Tarumanegara, maka situs Batujaya tersebut merupakan lokasi yang paling tepat untuk diasumsikan sebagai lokasi bekas keraton Raja Purnawarman. Ini karena jarak antara lokasi situs dengan Muara Bendera (tempat terpecahnya aliran sungai Citarum menjadi dua, yaitu yang menuju Muara Pakis dan yang menuju Muara Gembong) berjarak sekitar 11 kilometer. Perkampungan yang terletak antara dua pecahan aliran Sungai Citarum sampai bibir Pantai Pakis dan Muara Gembong merupakan sebuah delta yang terus mengalami pendangkalan akibat kegiatan sedimentasi yang dibawa oleh aliran Sungai Citarum.
Dugaan bahwa pantai purba tempat bermuaranya kanal Candrabaga dan Gomati yang digali oleh Raja Purnawarman terletak di Muara Bendera, berdasarkan pada kegiatan sedimentasi sungai yang terjadi pada aliran Sungai Citarum. Dari arah hulu, aliran sungai membawa sumber-sumber endapan seperti sampah dan lumpur yang kemudian membentuk delta pada Muara Bendera tersebut. Akibat sedimentasi yang terus menerus tersebut, telah memperbesar areal delta dan memecah aliran Sungai Citarum menjadi dua, yaitu yang menuju Muara Pakis dan yang menuju Muara Gembong.
Jarak antara Muara Bendera ke Muara Pakis sekarang sekitar 12 km dan yang menuju Muara Gembong kira-kira berjarak 15 km. Penelitian geologi di daerah sekitar Muara Bendera mungkin akan memberikan jawaban yang lebih akurat tentang dugaan letak muara purba seperti yang tertulis dalam Prasasti Tugu.
Temuan Candi di Batujaya Karawang erat kaitannya dengan Prasasti Tugu, yaitu prasasti yang terdapat di Desa Tugu, dekat Tanjung Priok. Dalam Prasasti Tugu tersebut dinyatakan bahwa Raja Purnawarman memerintahkan untuk menggali dua kanal, yaitu Candrabaga dan Gomati, di mana kedua kanal tersebut alirannya terlebih dahulu dibelokkan ke sekitar istananya dan kemudian dialirkan kembali ke muara.
Panjangnya kanal tersebut setelah digali sejauh 6.122 tumbak, oleh Prof. Dr. Poerbatjaraka diperkirakan panjangnya 11 km. Jika perkiraan Purbatjaraka ini digunakan sebagai patokan dalam menelusuri bekas reruntuhan keraton Tarumanegara, maka situs Batujaya tersebut merupakan lokasi yang paling tepat untuk diasumsikan sebagai lokasi bekas keraton Raja Purnawarman. Ini karena jarak antara lokasi situs dengan Muara Bendera (tempat terpecahnya aliran sungai Citarum menjadi dua, yaitu yang menuju Muara Pakis dan yang menuju Muara Gembong) berjarak sekitar 11 kilometer. Perkampungan yang terletak antara dua pecahan aliran Sungai Citarum sampai bibir Pantai Pakis dan Muara Gembong merupakan sebuah delta yang terus mengalami pendangkalan akibat kegiatan sedimentasi yang dibawa oleh aliran Sungai Citarum.
Dugaan bahwa pantai purba tempat bermuaranya kanal Candrabaga dan Gomati yang digali oleh Raja Purnawarman terletak di Muara Bendera, berdasarkan pada kegiatan sedimentasi sungai yang terjadi pada aliran Sungai Citarum. Dari arah hulu, aliran sungai membawa sumber-sumber endapan seperti sampah dan lumpur yang kemudian membentuk delta pada Muara Bendera tersebut. Akibat sedimentasi yang terus menerus tersebut, telah memperbesar areal delta dan memecah aliran Sungai Citarum menjadi dua, yaitu yang menuju Muara Pakis dan yang menuju Muara Gembong.
Jarak antara Muara Bendera ke Muara Pakis sekarang sekitar 12 km dan yang menuju Muara Gembong kira-kira berjarak 15 km. Penelitian geologi di daerah sekitar Muara Bendera mungkin akan memberikan jawaban yang lebih akurat tentang dugaan letak muara purba seperti yang tertulis dalam Prasasti Tugu.
Advertisement
Kegaiban Sungai Citarum
|
Kamis, 24 Januari 2013
0 komentar:
Posting Komentar