Tampilkan postingan dengan label Dhany. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dhany. Tampilkan semua postingan

GUNA-GUNA TANAH KUBURAN PANGURAGAN


Tanah kuburan Panguragan yang terletak di Desa Panguragan, Kecamatan Arjawinangun, Kabupaten Cirebon, memang sudah lama tersohor di seantoro Jawa Barat (Jabar) dapat menjadi media ilmu gaib. Banyak kalangan dukun aliran sesat menggunakan tanah kuburan Panguragan sebagai media guna-guna untuk menghancurkan usaha seseorang. Benarkah…?

Guna-guna tanah kuburan Panguragan terkenal ganas serta sangat jarang ada pengusaha yang sanggup bertahan. Setiap pengusaha yang tempat usahanya ditanami tanah kuburan Panguragan dalam waktu singkat dijamin bangkrut. Bukan hanya bangkrut, bahkan pengusaha bersangkutan dililit hutang dalam jumlah besar hingga menjual bangunan tempat usahanya.
Sejumlah pakar kebathinan di Kota Cirebon yang sempat dimintai komentarnya seputar keganasan guna-guna tanah kuburan Panguragan, rata-rata mereka mengaku sudah mendengar kabar tersebut sejak lama, bahkan mulai kakek-buyutnya. Dengan demikian, tanah kuburan Panguragan termasuk guna-guna cukup tua di Tatar Jawa Barat. Karena ganasnya guna-guna tanah kuburan Panguragan, tidak aneh jika jadi momok menakutkan bagi kalangan pengusaha, terutama pedagang.
Ki Anomjati Sanggabumi, seorang supranaturalis muda cukup tersohor di Kota Cirebon, sewaktu dihubungi Penulis di Villa Kecapi Mas, Kelurahan Harjamukti, Kota Cirebon membenarkan kabar seputar penyalahgunaan tanah kuburan Panguragan untuk media guna-guna penghancur usaha.

“Penyalahgunaan tanah kuburan Panguragan jelas menyalahi syariat Islam, sehingga dukun dan pihak yang menyuruhnya sangat berdosa secara habluminallah maupun hablumminanas dan sebaiknya hindari cara-cara sesat semacam itu,” kata Ki Anomjati Sanggabumi.
Ken Nagasi, seorang budayawan sekaligus pemerhati dunia gaib cukup terkenal di Kabupaten Cirebon mengaku prihatin atas praktik kotor semacam itu. Sewaktu dihubungi di Sanggar Budaya “Nyi Mas Gandasari” yang berlokasi di sekitar Stadion Bima, pria tampan warga Desa/Kecamatan Sindanglaut, Kabupaten Cirebon ini kerap mengurut dada tiap kali dia mendengar keluhan para mantan pengusaha kenalannya yang bangkrut akibat praktik dukun sesat menggunakan media tanah kuburan Panguragan.
“Astaghfirullah, kenapa mesti menyengsarakan orang lain demi kepuasan diri sendiri? Kenapa tidak bersaing secara sehat melalui pemantapan manajemen?” Seal Ken Nagasi.
Ibarat pepatah, tak ada penyakit yang tak ada obatnya. Jika diibaratkan penyakit, guna-guna tanah kuburan Panguragan ternyata punya tandingan. Jika belum gulung tikar, kondisi tempat usaha atau perusahaan yang ditanami tanah kuburan Panguragan dapat dinetralisir dengan ditaburi pada keempat sudut bangunan itu menggunakan pasir kali Bayalangu.
H. Sator, seorang pakar supranaturalis terkenal di Desa Bayalangu, Kecamatan Gegesik, Kabupaten Cirebon, mengaku sudah sering menolong pengusaha yang terkena guna-guna tanah kuburan Panguragan. Melalui media pasir kali Bayalangu yang sudah dirituali, secara alamiah dapat menetralisir pengaruh negatif tanah kuburan Panguragan. Kecuali ada penanaman ulang dari pihak yang melakukannya, maka mesti dilakukan penaburan ulang pasir kali Bayalangu.
“Tanah kuburan itu pun tidak bisa asal ambil oleh sembarang orang, melainkan hanya bisa diaktifkan aura negatifnya oleh orang yang ahli di bidang itu. Begitu pula pasir kali Bayalangu, dan secara kebetulan saya mewarisi ritual pasir kali Bayalangu dari ayah saya,” terang H. Sator.
Konon, dampak yang ditimbulkan bagi korban guna-guna tanah kuburan Panguragan bukan hanya mengalami kebangkrutan usaha, namun sepanjang malam mendapatkan teror gaib sangat mengerikan. Salah satunya seperti dialami Udi bin Ujang, warga Kelurahan Karangmalang, Kecamatan/Kabupaten Indramayu, Jabar. Dia bukan saja kehilangan kios kue kering miliknya di “Pasar Baru” Tanjungpura karena dijual dan menanggung hutang sekitar 20 jutaan namun, namun dia kini mesti mengais rezeki di Arab Saudi sebagai driver.
Berikut ini adalah kisah nyata yang dituturkan oleh Udin bin Ujang kepada Penulis.…
Sejak Jumat Kliwon hingga Sabtu Legi (18 – 19 Januari 2008), Ujang duduk termenung di teras gedung pertemuan kompleks “Kinasih” di Jalan Tapos, Kecamatan Cimanggis, Kabupaten Depok. Saat itu dia bersama tiga rekannya masing-masing Toto, Sutejo dan Hendi mengantar Drs. Khairuddin yang tengah mengikuti Rapat Kerja Nasional (Rakernas) dengan Presdir PT. Guswara Intertaint, Agus Winarko,MSc.
Pria yang usianya beranjak senja dan berbadan subur itu memisahkan diri dari hiruk-pikuk ratusan orang pengantar para peserta Rakernas. Wajah yang sudah dipenuhi kerutan itu tampak kuyu seakan menyimpan duka nestapa teramat berat.
Ujang duduk di atas tikar di bawah rindangnya pohon beringin hingga memasuki dinihari. Pemandangan semacam itu, tentu saja sangat kontras dan sangat tak lazim. Kepada Misteri, dia seperti berupaya memuntahkan kegalauan hatinya seputar perjalanan usaha putra sulungnya yang kini bangkrut dan gulung tikar.
Padahal, sejak “Pasar Lama” yang terletak di Jalan Ahmad Yani, Kelurahan Lemah Abang, Kecamatan/Kabupaten Indramayu itu terbakar pada Selasa (11 Juli 1995) pukul 09.00 WIB dan para pedagang direlokasi ke pasar baru yang terletak di Jalan Tanjungpura, Kelurahan Karanganyar, Kecamatan/Kabupaten Indramayu, secara bertahap kios kue kering milik Udi, anaknya, mengalami kemajuan. Setidaknya hingga 2005 silam, kios kue itu sangat populer dan setiap harinya selalu dijejali pembeli.
Menyaksikan kemajuan usaha Udi, sejumlah kios yang semula menjual dagangan lain diganti menjadi kios kue kering. Akibatnya, persaingan pun semakin ketat sehingga calon pembeli kue kering tersebar ke berbagai kios yang ada di Pasar Baru. Sejak saat itu, dari waktu ke waktu, jumlah pembeli ke kios Udi terus berkurang. Tetapi, bagi Udi hal itu dianggap sesuatu yang lumrah sesuai dengan hukum pasar.
Sekitar awal 2006, naluri Udi menangkap ada hal yang tidak wajar, terutama setelah mendapatkan kiosnya benar-benar sepi. Bayangkan, omzet dalam sehari hanya cukup buat menutupi kebutuhan dapur keluarga.
Tragisnya, puluhan orang pelanggan kabur sambil membawa utang dalam jumlah besar. Hal ini membuat Udi kalang kabut mencari dana pinjaman buat menambal modal yang berkurang akibat ulah para pelanggan yang nakal itu.
“Bukan itu saja, pada bulan ke tiga 2006, Udi anak saya dan keluarganya merasakan suatu gangguan gaib yang menciptakan rasa takut,” kisah Ujang dengan pandangan menerawang jauh.
Masih dalam bulan yang sama, sejumlah pedagang skoteng, bakso dan lainnya yang biasa mangkal malam hari di sekitar Pasar Baru Tanjungpura sempat menggunjingkan peristiwa gaib di sekitar kios kue milik Udi. Mereka kerap menyaksikan sosok pocong alias mayat hidup berkeliaran di teras kios kue milik Udi.
Gunjingan itupun akhirnya masuk ke telinga Udi. Untuk membuktikannya, pada dinihari sekitar pukul satuan, seorang diri Udi menyelinap ke lorong (los) Pasar Baru Tanjungpura yang berjarak sekitar satu kilometer dari rumahnya.
Karena sudah dinihari, suasana pasar sangat sepi. Kalau pun ada aktivitas hanya di sisi jalan alternatif penghubung Polsekta dengan Markas Polres Indramayu, dimana terdapat warung nasi yang buka 24 jam.
Malam itu, berselang dua kios dalam posisi berseberangan, Udi mengambil tempat pengintaian yang dirasa aman. Untuk bersembunyi, dia duduk di balik tumpukan bekas kotak gula yang sudah kosong.
Berkat losion anti nyamuk, dia terbebas dari serangan serangan haus darah itu. Lewat bantuan cahaya dari sudut kios, diliriknya jarum jam tangan, saat itu sudah menunjuk pukul 1.15 menit. Sepasang matanya menatap lurus ke arah kiosnya yang sengaja tidak diberi penerangan sehingga suasana temaram sisa lampu dari kios lain di sebelahnya.
Dia meragukan gunjingan para pedagang ketika merasakan pantatnya mulai penat akibat terlalu lama duduk di atas lembaran kardus bekas. Ketika terlintas niat untuk pulang, detak jantung Udi mendadak terpacu. Pandangannya lebih dipertajam. Ternyata benar, samar-samar dia menyaksikan sosok mayat terbungkus kafan muncul dari balik tumpukan kardus bekas snack yang disimpan di teras kios.
Pocong itu bergerak lembut dan makin lama makin jelas setelah terkena sisa cahaya lampu dari kios sebelah. Rasa takut pun mulai merasuk ketika pocong itu terlihat gelisah. Kepala pocong menoleh ke berbagai arah diikuti gerakan tubuhnya. Udi yakin, keberadaannya sudah diketahui mahluk alam gaib itu, sehingga sepasang sandal jepit pelan-pelan dia lepas.
Nalurinya memang tepat. Pocong itu melompat-lompat tertuju ke tumpukan bekas kotak gula di mana Udi bersembunyi. Ketika jaraknya tinggal beberapa meter lagi, sekuat tenaga Udi melompat dari balik tumpukan bekas kotak gula lantas lari menjauhi arah datangnya pocong.
Udi lari secepat yang dia mampu menuju ke arah warung nasi. Tanpa perduli terhadap tiga tukang becak yang duduk santai di bangku kayu, Udi menerobos memasuki warung dan disambut pekikan kaget pelayan yang tengah terkantuk-kantuk.
Keesokan paginya, peristiwa itu dia ceritakan kepada istrinya lalu kepada ayahnya. Ujang yang awam soal mahluk gaib, hanya memberi saran supaya anaknya lebih mendekatkan diri kepada Allah dan memperbanyak wirid.
Dari kios kue, teror itupun berpindah ke rumah Udi. Nyaris tiap malam, isteri dan dua anaknya diteror suara-suara aneh dari serambi rumah bahkan terkadang disertai bau busuk menerobos melalui celah daun jendela.
Atas desakan isteri dan anak-anaknya, Udi minta izin kepada ayahnya untuk numpang tidur sambil mencari jalan keluar. Ujang tidak bisa menolak permintaan putranya, sehingga merelakan kamar depan yang bersisian dengan ruang tamu ditempati Udi bersama keluarganya. Sedangkan siang harinya, Udi membawa keluarganya kembali ke rumahnya yang hanya beda gang dengan rumah orangtuanya itu.
Malam Selasa Kliwon bulan ke enam 2006, Ujang gelisah di tempat tidurnya. Udara awal musim kemarau membuat gerah tak tertahankan. Untuk mendapatkan udara segar, Ujang membuka daun pintu depan lalu duduk santai di kursi ruang tamu. Saat jarum jam menunjuk pada angka 2 dinihari, muncul Udi dari ruang kholwat (tempat solat) yang bersatu dengan kamar dapur.
Udi saat itu masih mengenakan sarung, peci dan baju koko serta tangan kanan masih memutar tasbih. Keringat membasahi kening. Rupanya Udi pun tak tahan kegerahan di ruang kholwat, sehingga memilih melanjutkan wiridnya di ruang tamu.
Angin malam lumayan sejuk menerobos memasuki celah daun pintu yang terbuka seperempat bagian. Di atas kursi busa yang mulai usang, Ujang menyandarkan punggung dan meletakkan tengkuknya.
Aroma kantuk mulai merasuk. Sambil terkantuk-kantuk, Ujang mengamati bagian ujung pintu pagar besi halaman rumah lewat celah daun pintu. Sedangkan di sampingnya, Udi masih melanjutkan bacaan wiridnya.
Dirasa tubuhnya mulai segar serta aroma kantuk mulai tak tertahankan, Ujang bermaksud menutup daun pintu dan akan membanting punggung di atas kasur melanjutkan tidur. Belum sempat mengangkat pantat, lewat celah daun pintu dia melihat ujung pintu pagar besi bergerak diiringi deritan lembut. Entah datang dari mana, ruang tamu dalam sekejap sudah dipenuhi bau busuk sangat ganjil.
Bau busuk semakin menyengat. Belum sempat menduga-duga siapa orang yang akan bertamu, daun pintu ditabrak dari luar hingga membentur tembok menimbulkan suara gaduh. Suara benturan daun pintu dengan tembok kontan mengejutkan Ujang dan Udi. Yang lebih mengejutkan, di ambang pintu sudah berdiri sesosok mayat hidup alias pocong.
Lewat cahaya lampu neon ruang tamu yang terang benderang, Ujang menyaksikan kafan yang masih lengkap dengan ikatannya itu sangat kusam penuh lumpur hitam. Kulit wajah mahluk itu tidak utuh lagi. Sangat rusak, penuh borok-borok serta belatung bergerak lembut pada sepasang rongga matanya. Dari lubang mulut dan hidungnya meluncur lenguhan seperti sedang menahan marah.
Mahluk itu bukan menatap Ujang melainkan menghadap lurus ke arah Udi. Diiringi lenguhan keras, mahluk itu menerjang ke arah Udi. Ujang tak mampu berbuat banyak selain berjuang mempertahankan kesadarannya supaya tidak pingsan.
Diserang mahluk seseram itu, secara refleks, sekuat tenaga Udi menjejakkan sepasang kakinya ke atas lantai. Akibatnya, kursi yang dia duduki terbalik dan tubuh Udi terjengkang ke belakang lantas jatuh terduduk. Udi hanya mampu membuka mulut, tapi lafadz ayat Qursy sama sekali tidak pernah mau keluar. Yang meluncur dari kerongkongannya hanya suara menyerupai orang gagu.
Air hangat sangat deras mengucur dari balik kain sarung. Akibatnya dia berkubang pada genangan air kencingnya sendiri. Sama halnya ayahnya, Udi pun hanya berjuang agar jangan sampai pingsan. Dia yakin, mahluk itu bukan semata menakut-nakuti melainkan mengancam jiwanya.
Saat jaraknya tersisa beberapa senti lagi, Udi ingat kalau tasbih di genggamannya itu pemberian dari seorang ustadz. Dia berharap benda itu bukan semata alat penghitung wirid. Tanpa berharap banyak, tangan kanan yang semula menyanggah tubuhnya yang jatuh terduduk dia angkat tinggi-tinggi menyongsong terjangan pocong sambil merapatkan kelopak mata.
Dia sudah benar-benar pasrah. Benaknya berkata, mungkin hanya dalam hitungan detik, lehernya akan digigit mahluk itu sehingga urat nadinya putus lalu mati. Tapi hingga belasan detik berlalu, tak ada sesuatu yang menyentuh lehernya. Ditunggu beberapa menit berikutnya tak ada serangan mematikan dari mahluk berwujud pocong itu. Udi menjerit ketika lengannya dibetot sangat keras. Ketika membuka mata, ayahnya tengah berjuang mengangkat tubuhnya.
“Pocong tadi terpental saat menyentuh tasbih di genggamanmu! Ayo. bangun!” Kata Ujang, setengah membentak.
Udi langsung bangkit dan melompat menuju ambang pintu. Tergopoh-gopoh daun pintu dibanting hingga tertutup rapat sekaligus menguncinya. Anak beranak itupun hanya mampu berpandangan. Udi baru sadar kalau sarungnya basah kuyup setelah diberitahu ayahnya, maka buru-buru dia ke kamar mandi.
Keesokan harinya, dengan diantar ayahnya, Udi menyambangi seorang ulama di Lohbener. Ujang menyerahkan sisa tanah bekas pocong yang tercecer di atas lantai ruang tamu. H. Abbas, sang ulama, menggenggam sisa tanah hitam itu sambil memejamkan mata dan bibir komat-kamit. Mendadak keningnya berkerut tajam lalu membuka kelopak matanya.
“Astaghfirullah, mahluk itu khodam guna-guna tanah kuburan Panguragan. Untung kalian tidak sampai pingsan… jika sampai pingsan, naudzubillah, hanya Allah yang tahu terhadap batas umur mahlukNya,” terang H. Abbas.
Sesaat berikutnya, H. Abbas minta izin masuk ke kamar kholwat. Belasan menit kemudian muncul lagi dengan wajah penuh keringat. Dengan suara serak, H. Abbas menyarankan agar kios kue itu secepatnya dijual. Menurut mata bathinnya, kios itu sudah ditanami tanah kuburan Panguragan sejak enam bulan lalu. Tapi, ulama khos itu tidak bersedia menyebutkan identitas orang yang telah mengguna-gunai kios Udi.
Atas saran H. Abbas, sebulan kemudian kios itu dijual murah kepada pemilik kios di sebelahnya. Uang hasil menjual kios itu digunakan oleh Udi untuk mengurangi utangnya. Dalam keadaan tak punya modal sesenpun, Udi terpaksa ikut kerja jadi kuli bangunan hanya sekadar untuk menutupi kebutuhan dapur, dan sejak awal 2007, Udi terbang ke Arab Saudi menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) bagian driver.

DITEROR JIN KEPALA MIRING

Penulis : DHANY


Konon, jin ini adalah penggemar kepala bekakak ayam yang dijadikan sesajen di kuburan. Siapa yang berani mengambil kepala bekakak ayam tersebut untuk jimat judi, maka dia akan menghadapi terornya. Berikut adalah kisah video uji nyali berkaitan dengan kepercayaan tersebut....

Jin kepala miring! Sesuai dengan namanya, sosok makhluk halus yang satu ini memang kelihatan cukup menyedihkan. Badannya sama seperti manusia biasa, hanya yang membedakannya dari posisi kepalanya. Tulang lehernya seperti patah, menyebabkan kepalanya terkulai miring.

Sesungguhnya jin kepala miring tidak membahayakan. Dia tidak seperti jin kemangmang, banaspati maupun jin cekik yang dapat menyerang bahkan menghabisi nyawa manusia.

Jin kepala miring kemunculannya tak lebih hanya sebatas teror semata, dan unjuk giginya pun hanya di depan orang yang telah menyinggung harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan.

Makanan kesukaan jin ini diantaranya adalah bekakak ayam buat sesaji di kuburan orang yang meninggal. Ayam yang dipanggang ini tidak seluruhnya disantap melainkan hanya diambil bagian kepalanya saja.

Maka, bagi siapapun yang dengan sengaja mencuri kepala bekakak ayam sesaji penguburan, niscaya bakal diteror habis-habisa. Jin kepala miring bakal menampakkan sosoknya dimanapun orang itu berada.

Wasda, 48 tahun, salah seorang "korban" teror jin kepala miring akibat tabiat iseng yang melekat pada pribadinya. Sepanjang malam, pria tamatan SD yang beranak tiga orang putera ini sama sekali tak dapat tidur.

Akibat kejadian yang dialaminya itu, pria beristerikan Ny.Tarinih, 40 tahun, ini mengucapkan ikrar dalam hatinya, tidak akan berlaku iseng lagi, sebab keisenganlah yang ternyata mendatangkan kesengsaraan.

Sewaktu ditemui Misteri di rumahnya, Desa Ujung Pendok, Wasda dengan gamblangnya menuturkan fenomena gaib yang benar-benar membuat jiwanya tersiksa itu.

"Sama sekali bukan bermaksud menantang makhluk gaib, tetapi hanya semata-mata memperturutkan keisengan saya saja," cetus Wasda.

Keisengannya itulah yang membuat ayah dari Masnun, Kasda dan Darma ini menyesal seumur hidup. Sampai kapanpun dia tidak akan mengulangi perbuatan itu lagi.

Bahkan bukan hanya dia seorang diri yang dihantui rasa takut bukan kepalang itu, tapi sanak keluarganya pun ikut-ikutan dibuat repot. Teror jin berwujud pemuda lajang tersebut akhirnya berhasil dihalau, setelah salah seorang adik iparnya sengaja mendatangkan kelompok pengajian.

Sebanyak 70 anggota pengajian, semalam suntuk membaca petikan ayat Qursyi di rumahnya. Berkat karomah ayat suci Al-Qur'an yang dibacakan secara berjamaah, makhluk gaib itupun berhasil dihalau dan tidak bisa lagi menampakkan wujudnya di depan Wasda.

Diceritakan peristiwa itu dengan mendetil....

Hari itu, bakda shalat Ashar, dari corong pengeras suara Masjid Al-Manfaat disampaikan kabar duka cita atas meninggalnya salah seorang warga, akibat jatuh dari atas pohon mangga.

Wasda dan puluhan warga lainnya langsung melakukan ta'ziah ke rumah orangtua Darno. Suasana berkabung pun menyungkupi penghuni Blok Pulo. Sebagian besar sanak famili menangis histeris atas meninggalnya pemuda lajang yang tiga bulan mendatang bakal menikahi kekasihnya itu.

Proses pemakaman, mulai penggalian liang lahat hingga penguburan berlangsung lancar dengan memakan waktu hingga menjelang Maghrib. Seusai petugas lebai membaca talkin, seluruh sanak famili maupun pengiring meninggalkan kompleks pemakaman umum. Yang tertinggal hanya bekakak ayam yang diletakkan di sisi gundukan tanah kuburan Darno. Hal ini memang sudah menjadi tradisi turun-temurun bagi sebagian warga pedesaan di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.

Malamnya, seusai shalat Isya, secara diam-diam, tanpa ditemani siapapun, Wasda menerobos pintu gerbang kompleks TPU. Dengan gerak-gerik penuh kewaspadaan, dia melangkah di antara sela-sela gundukan kuburan menuju ke bawah pohon Angsana Kawak, dimana Darno sore tadi dimakamkan.

Dalam suasana cukup gelap dan tanpa diterangi lampu senter, pandangannya dipentang lebar-lebar hingga berhasil menemukan nampan yang diatasnya teronggok bekakak ayam.

Dengan menggunakan kantong kresek, ayam panggang itupun digondol pulang ke rumahnya. Tanpa mengabari isteri dan tiga anaknya, bekakak ayam itupun disantapnya di dapur.

Saking laparnya, hanya dalam waktu sekejap saja, bekakak ayam itupun hanya menyisakan tulang belulang serta butiran kepalanya. Tulang belulang dimasukkan kantung kresek tadi untuk dibuang di kubangan sampah yang ada di belakang rumah. Sedangkan butiran kepala ayam dia bungkus kain putih lalu dimasukkan ke laci lemari pakaian. Konon, bagi para penjudi dadu, kepala bekakak ayam sesaji kuburan, diyakini sebagai jimat sangat ampuh.

Cerita dari mulut ke mulut menyebutkan, dengan mengantongi jimat kepala bekakak ayam, instingnya jadi tajam saat memilih dadu yang dipegang bandar.

"Selama ini, uang saya sering ludus di arena dadu judi. Untuk membalas kekalahan, sengaja saya manfaatkan jimat kepala bekakak ayam itu," dalih Wasda saat bercerita kepada Misteri.

Yang namanya jimat, sudah tentu ada semacam ritual khusus yang mesti dijalani. Dan malam itu, Wasda sengaja mengadakan ritual khusus di kamar paling belakang rumahnya.

Dalam ruangan penyimpangan gabah itulah, dia sengaja melakukan ritual gaib sesuai dengan petunjuk yang dia peroleh dari orang tua yang selama ini diandalkan untuk kelancaran usahanya.

Obsesinya mendapatkan uang banyak dari judi dadu, memotivasi semangat di dalam dadanya. Dengan semangat yang membara, serangan kantuk berhasil dimentahkan dan deretan pegellinu pada punggungnya akibat terus-menerus duduk bersila menghadapi butiran kepala bekakak ayam, sama sekali tidak dia rasakan.

Batas ritualpun akhirnya tiba. Dari corong pengeras suara masjid berkumandang pembacaan ayat suci dilanjutkan kumandang adzan Subuh. Wasda menarik nafas lega, sebab ritual gaibnya berhasil dilalui tanpa hambatan.

Kepala bekakak ayam dibungkus lagi dengan lembaran kain putih dan kembali diamankan dalam laci lemari yang dikunci rapat. Tanpa memperdulikan keadaannya yang acak-acakan dan kusut masai, Wasda meluruskan punggung di atas tikar ruang tamu.

Dia tidur laksana mati, baru terjaga dari tidurnya tepat pas kumandang adzan shalat Ashar. Ungkapan heran sang isteri tidak dia jawab, Wasda langsung kabur ke kamar dapur. Perutnya mulai berontak untuk secepatnya diisi.

Sambil menyantap nasi dan lalapan, yang terlintas dalam benaknya, acara hajatan familinya tiga hari mendatang. Sudah jadi tradisi, di sekitar pentas sandirawara bakal digelar judi dadu.

Saat itulah Wasda bakal membuat kejutan kepada bandar dadu. Dengan kekuatan jimat kepala bekakak ayam, dia bertekad menguras habis modal bandar judi dadu.

Keesokan malamnya, dia tidur sore-sore. Dia mesti punya bekal buat lek-lekan pada malam berikutnya di rumah familinya yang akan mengkhitan putera bungsungnya itu.

Malam lek-lekan pun tiba. Wasda sudah siap bergadang di rumah Mustafa, si bandar dadu, hingga Subuh. Sekitar pukur delapa malam, Wasda mengunci pintu depan rumahnya, sementara tiga anaknya maupun sang isteri siang tadi sudah sibuk membantu persiapan hajatan itu.

Untuk tiba di rumah Mustafa, mesti melewati kompleks TPU dilanjutkan menerobos jalan setapak di antara rapatnya rumpun bambu. Seperti ada sugesti, selangkah lagi melewati tiba depan pintu gerbang pemakaman, yang terbayang dalam ingatannya tak lain kuburan Darno. Sehingga tanpa dapat dicegah, ekor mata Wasda melirik ke ambang pintu gerbang. Bersama itu pula, aliran darahnya berdesir sangat cepat. Tepat di ambang pintu gerbang yang temaram, dia melihat seseorang berdiri tegap menghadap ke arahnya.

Secara reflek, Wasda menghentikan langkahnya. Di sisi lain, seseorang diambang pintu gerbang tadi mengayun langkah menghampirinya. Makin diperhatikan, ada perasaan aneh pada pandangan Wasda.

Wajar, jika dia merasa aneh, sebab orang yang menghampirinya itu tidak lain Darno yang dimakamkan beberapa sore silam. Makin diperhatikan, keanehan demi keanehan terus memenuhi benak Wasda. Terutama manakala dia menyaksikan kepala Darno terkulai ke sisi kiri nyaris rata dengan bahunya sendiri.

Wasda, yang semula terbengong takjub kontan terlonjak kaget. Terlebih ketika Darno menyebut namanya seraya menghiba-hiba supaya kepala bekakak ayamnya dikembalikan.

Rasa takjubnya tidak berlarut-larut, dan nalurinya langsung bekerja, bahwa orang didepannya bukan Darno melainkan jin kepala miring yang meniru wujud Darno. Apalagi secara kebetulan, saat meninggalnya, leher Darno pun patah akibat menimpa tanah kering dari cabang pohon mangga dalam ketinggian belasan meter.

Setelah nalurinya bekerja, Wasda langsung angkat kaki secepat-cepatnya meninggalkan jin kepala miring menuju rumah Mustafa.

Malam itu merupakan kemunculan perdana sosok jin kepala miring berwujud Darno. Keesokan malamnya, ketika Wasda sibuk mengamankan uang kertas dari bandar judi dadu, bahu sebelah kirinya ada yang menyentil. Sambil menyentil ada suara memanggil namanya. Tapi karena ingar-bingar gamelan pentas sandiwara, dia kurang paham suara siapa yang memanggilnya dari belakang itu.

Mulanya dia hanya menduga salah seorang pemasang judi yang minta pecingan. Selembar uang kertas seribuan dia sodorkan tanpa menoleh ke belakang. Tapi tak ada reaksi apapun dari orang di belakangnya.

Lantaran penasaran, Wasda menoleh ke belakang. Tak disengaja, wajahnya tepat berhadapa-hadapan dengan wajah yang terkulai di sisi bahu laki-laki di belakangnya.

Tahu orang itu sosok Darno dengan kepalanya yang terkulai miring, Wasda kontan bergidik. Dia mendorong para pemasang judi dadu di depannya, lalu dia pun lari tunggang-langgang menerobos rumah Mustafa.

Melihat tingkah Wasda, sebagian pemasang hanya terbengong aneh. Sebagian lainnya tertawa ngakak karena dianggapnya lucu. Sedangkan bandar judi dadu menunjukkan muka gondok lantaran sudah separuh modalnya berpindah ke saku celana Wasda.

Teror ketakutan kian menguasai jiwa Wasda. Akibatnya malam itu dia tidak berani pulang, selain terus diselimuti keresehan.

Keesokan malamnya, dan malam-malam berikutnya, merupakan saat-saat paling menegangkan bagi Wasda. Tiap detik selepas waktu Isya, suasana dirasakan sangat mencekam. Meskipun berada di antara ketiga anak laki-lakinya yang dua diantaranya mulai beranjak remaja.

Selama itu pula, dia belum menceritakannya kepada siapapun, tak terkeculai terhadap isterinya sendiri, tentang apa yang sedang dialaminya. Sementara, jangankan punya nyali pergi ke warung buat beli rokok, memasuki kamar mandi buat buang hajat pun dia sama sekali tak berani.

Meskipun tidak pernah cerita apapun, namun Masnun maupun Kasda sudah merasakan kejanggalan pada diri ayahnya. Kedua remaja tanggung itupun sudah bisa membaca jiwa ayahnya yang terguncang. Tak ada lagi ketenangan selain sosot mata yang gelisah dan penuh aroma ketakutan.

Dilandasi rasa prihatin yang mendalam, Masnun mengadukan keadaan ayahnya kepada pamannya yakni adik kandung Ibunya yang memang bertitel Ustadz. Atas inisiatif kedua remaja tanggung itulah, Ustadz Hamdan mengumpulkan seluruh anggota jamaah di rumah Wasda.

Sejak pukul delapan malam hingga dinihari, puluhan anggota jamaah membaca ayat-ayat suci Al Qura'an. terutama ayat Al-Qursyi yang sudah populer sebagai ayat suci mengusir syetan. Besar kemungkinan, berkat karomah ayat suci inilah jin kepala miring tak lagi mampu menghampiri dan meneror Wasda.

Dirasakannya sudah tenang, secara empat mata Wasda mengakui perbuatannya di depan Ustadz Hamdan. Atas saran Ustadz, kepala bekakak ayam yang dijadikan jimat judi diantarkan kembali ke kuburan Darno. Sedangkan uang sebesar lima ratus ribu rupiah hasil menang judi dadu disumbangkan seluruhnya kepada panitia pembangunan masjid di desa tetangga.

Saran terakhir dari sang Ustadz, Wasda disuruh memperbanyak Istighfar setiap selesai sholat farhdu. Hal ini untuk pengampunan dosa yang telah dilakukannya.

GANASNYA JIN KEMANGMANG

Penulis : DHANNY


Konon, jin jenis ini biasa menampakkan diri dalam wujud seekor katak raksasa, dengan tengkuk membawa api berkobar-kobar. Api inilah yang bisa membakar apa saja....

Istilah Kemangmang mungkin sudah tercetus sejak berabad-abad silam. Dia dipercaya sebagai makhluk yang berada dalam lingkup alam gaib. Termasuk bangsa jin.

Berbeda dengan jenis jin lain yang punya karakter dan bentuk penampakkannya menyerupai fisik manusia, Kemangmang wujud penampakkan fisiknya disebutkan berupa sosok katak air dalam ukuran jumbo. Setidaknya, kepercayaan semacam ini tumbuh subur di kalangan masyarakat Pantura, Jawa Barat, khususnya di daerah Indramayu dan sekitarnya.

Selain ukurannya ratusan kali lipat dari ukuran katak air atau Bangkong biasa yang hanya sekepalan tangan orang dewasa, pada bagian antara kepala dengan punggung, atau persisnya di sekitar tengkuk Kemangmang, akan muncul api yang berkobar-kobar.

Api pada tengkuk Kemangmang ini bukan halusinasi ataupun hanya api fatamorgana, melainkan api yang sanggup membakar kayu-kayu kering. Konon dengan sebab ini, di sejumlah lokasi rawa-rawa dan pertambakan di wilayah Pantai Utara Jawa Barat, kerap terjadi insiden kebakaran hutan mangrove (bakau) yang, Banyak yang menduga kebakaran ini akibat ulah Kemangmang.

Uniknya lagi, api pada tengkuk Kemangmang ini tidak akan padam walau terkena air sekalipun. Tiap kali muncul ke permukaan air rawa, scara spontanitas api pada tengkuknya akan berkobar-kobar.

Sama seperti makhluk gaib pada umumnya, jin berwujud katak raksasa ini tidak pernah berani muncul pada siang hari. Kemangmang hanya melakukan penampakkan pada malam hari, khusus di sekitar areal rawa yang jauh dari pemukiman.

Karena keganasannya yang dapat membinasakan manusia akibat kobaran apinya, tak heran bila berpuluh-puluh tahun silam, keberadaan Kemangmang menjadi momok di kalangan penggembala kerbau di kawasan Pantura, khusus di wilayah pedesaan Kabupaten Indramayu.

Para penggembala kerbau ketika itu selalu mencari lokasi yang subur rerumputannya, disertai genangan air melimpah. Pasalnya, kerbau termasuk binatang darat yang tidak tahan sengatan panas matahari sehingga harus sering berkubang.

Untuk memenuhi selera binatang ternaknya, para penggembala kerbau terpaksa tinggal berhari-hari di areal rawa-rawa. Mereka inilah yang kerap menyaksikan fenomena penampakkan Kemangmang, dengan api pada tengkuknya yang berkobar-kobar.

Dalam suasana gelap, penggembala kerap kali dikejutkan oleh munculnya kobaran api di tengah-tengah rawa yang tergenang air dalam radius puluhan hektare. Api ajaib ini berkobar-kobar sesaat di permukaan air lalu hilang. Tidak berapa lama, kobaran itupun muncul lagi di tempat yang berbeda. Fenomena mistik ini terus-menerus berlangsung selama beberapa belas menit.

Apa yang diburu Kemangmang dalam kemunculannya di tengah rawa, sampai hari ini belum ada jawaban yang pasti. Sebab jenis makanan apa yang disukainyapun masih misterius.

Jin Kemangmang ini konon hanya muncul dan bermain-main dengan kobaran apinya di permukaan rawa. Tapi, sesekali makhluk halus ini menebar malapataka bagi manusia.

Sebelum areal rawa diubah menjadi petakan empang bandeng dan tambak udang, masyarakat yang mukim di sekitar pantai utara Indramayu sudah cukup akrab dengan penampakkan jin Kemangmang. Bahkan, sampai saat inipun disebutkan jin dalam wujud katak raksasa dengan tengkuk menyala-nyala itu masih muncul sewaktu-waktu, terutama di lokasi yang jauh dari pemukiman penduduk.

Uniknya lagi, keberadaan kemangmang, di satu sisi kerap dinantikan, karena sebagai isyarah atau petunjuk kemakmuran pangan di desa setempat. Namun disisi lain, tidak ada seorang pun yang berharap akan bertemu dengannya, karena jika apes, bukan hanya cidera. Bahkan nyawapun jadi taruhannya.

Setidaknya, hal seperti itu dialami dua orang penggembala kerbau di areal rawa-rawa Blok Rawa Tengkele, Desa Krimun, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.

Carkiman, 23 tahun, warga Genteng, Kecamatan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu, bersama teman seprofesi Tarim (45 tahun), yang tinggal di desa tetangga dengan Carkiman, dapat dicatat sebagai saksi mata yang menyatakan kalau Kemangmang memang masih ada.

Peristiwanya terjadi waktu Carkiman bekerja sebagai buruh gembala kerbau pada juragan di desanya. Statusnya hanya pawongan atau buru gembala kerbau milik H. Ridwan. Carkiman mendapatkan tugas menggembalakan sepuluh ekor kerbau berbagai jenis kelamin dan usia.

Upah jasa sebagai buruh gembala kerbau bukan berupa uang cash, melainkan berupa gabah tiap usai panen musim rendeng. Untuk mendapatkan lokasi yang cocok bagi binatang gembalanya, Carkim memilih menetap di sekitar rawa-rawa Blok Rawa Tengkele, berlokasi di luar wilayah desa tempatnya tongga;.

Di tempat itu tidak hanya dia sendiri. Beberapa buruh gembala kerbau lainnya pun menetap di lokasi yang sama. Sehingga puluhan ekor kerbau memenuhi kawasan rawa-rawa tersebut.

Dari sejumlah buruh gemgala kerbau yang ada, Tarim merupakan penggembala yang paling ramah serta sangat akrab dengan Carkim. Sama seperti halnya Carkiman, pria paruh baya itupun hanya berstatus buruh gembala.

Malam itu di kawasan rawa masih gerimis sisa hujan tadi siang. Carkiman dan Tarim sepakat tidur bersama dalam gubuk milik H. Ridwan. Sore menjelang Maghrib, Tarim baru kembali dari rumah majikannya buat mengambil perbekalan. Dalam kantung kresek warna hitam yang dibawanya terisi penuh gula, kopi, rokok dan makanan kering.

Carkiman yang sudah kehabisan perbekalan, merasa bersyukur lantaran temannya selalu membuka tangan untuk saling menolong dalam hal akomodasi.

Tanpa mengenal jam dan waktu, dua teman karib yang beda usia itupun duduk bersila di atas tikar pandan di lantai gubuk yang lembab. Dua cangkir kopi masih mengepulkan asap dengan baunya yang gurih. Ditingkahi kepulan asap rokok keretek murahan dari lubang mulut keduanya.

Untuk mengisi malam, Tarim paling banyak bicara. Dia dengan bangganya menceritakan setumpuk pengalaman sepanjang kariernya sebagai penggembala kerbau.

Selain pengalaman manis dan pengalaman pahit dalam hal ekonomi, sebagian di antaranya berkaitan dengan pengalaman video uji nyali yang sangat mencekam.

Selama puluhan tahun menggembala kerbau dan bermukim dari rawa yang satu ke rawa yang lainnya, sudah tidak terhitung dia menemukan pengalaman video uji nyali.

Menurut Tarim, ada beberapa jenis makhluk halus yang biasa bermukim di sekitar rawa. Namun dari sekian jenis makhluk halus penghuni rawa, Kemangmang-lah yang paling ganas dan berbahaya.

Di saat menjelaskan sepak terjang Kemangmang yang mengerikan dan berbahaya itu, di kejauhan tiba-tiba terdengar suara anjing dalam jumlah banyak. Bukan hanya menyalak dan mengeram, bahkan ada juga yang melolong panjang seakan tengah mengundang makhluk halus agar datang di tempat itu.

Saat itulah, sekitar seratus meter di depan gubuk, tepatnya di tengah genangan air rawa, tiba-tiba terlihat api berkobar. Kobaran api itu muncul sesaat, lalu kembali menghilang.

"Masya Allah, kita bakal celaka, Car!" Pekik Tarim, risau. Wajahnya yang semua ceria mendadak berubah tegang.

"Celaka? Apa maksud Mang Tarim?" Carkiman terbengong.

"Barusan kamu melihat kobaran api di tengah air rawa kan?" Tarim balik bertanya.

"Ya, saya melihatnya. Memangnya itu api apaan sih, Mang?"

Tubuh Tarim bergetar hebat. Bibirnyapun bergetar. Begitu pun suara yang keluar dari celah bibirnya bergetar dan terbata-bata, "I...i...itulah...itulah yang barusan saya ceritakan. Itu...itu api kemangmang, Car!" Urai Tarim.

Jantung Carkiman nyaris saja copot setelah mendengar penjelasan Tarim. Ternyata Kemangmang itu wujudnya kobaran api yang tidak padam terkena air.

Lalu Tarim membenamkan rokoknya ke dalam lantai gubuk yang lembab, sekaligus meminta Carkiman untuk mematikan rokoknya. Konon, Kemangmang sangat sensitif terhadap cahaya walau sekecil apapun. Diceritakan, jika sudah melihat cata, makhluk itu langsung mengejar ke sumber cahaya tersebut.

Tanpa diminta dua kali, Carkiman kontan melumatkan bara rokoknya ke atas lantai hingga padam seketika.

Tidak berapa lama pula, kobaran api aneh itu muncul di permukaan air rawa, bahkan hanya berjarak beberapa meter di depan gubuk. Rupanya makhluk itu sudah melihat cahaya rokok dalam radius ratusan meter tadi.

Baik Carkiman maupun Tarim langsung memanjatkan doa kepada Tuhan supaya makhluk itu tidak menyerang. Tapi, belum selesai memanjatkan doa-doanya, kobaran api berikut sosok katak sebesar kambing gibas secara cepat melompat dari dalam air dan menerjang ke arah Carkiman dan Tarim.

Menyadri datangnya bahaya, Tarim menyeret lengan Carkiman sekaligus menerobos ke samping gubuk. Baru saja keduanya bergulingan di atas tanah becek, Kemangmang sudah menggempur ke dalam gubuk.

Gubuk yang terbuat dari anyaman bambu itupun secara cepat terbakar, menciptakan sinar merah kekuningan. Dari dalam kobaran api gubuk melesatlah Kemangmang tertuju ke arah keduanya.

Sekuat tenaga, baik Carkiman maupun Tarim mempercepat larinya. Hanya mengandalkan cahaya bulan yang remang-remang, keduanya lari pontang-panting di antara rumpun belukar.

Setelah jatuh puluhan kali, baru keduanya menarik nafas lega. Keduanya bersyukur karena tidak sampai dibakar oleh Kemangmang. Malam itu keduanya tidur di tempat lain yang jauh dari rawa.

Keesokan paginya, barulah keduanya mendatangi tempatnya kejadian semalam. Ternyata, di gubuk yang tersisa hanyalah puing-puing hitam sisa arang gubuk.

Demikianlah sekilas cerita mengenai keganasan Kemangmang. Hantu jenis ini, di tempat lain bisa jadi juga ada. Hanya, namanya yang pasti berbeda.

AKIBAT SANTET RUMPUT RAWA NANAH KENTAL KELUAR DARI VAGINA

Penulis : DHANY


Di wilayah Kec. Sumber, Kab. Cirebon, beberapa waktu lalu sempat gempar. Penduduk di pantai utara Jawa Barat itu gempar lantaran ada salah seorang warga disana yang mengalami peristiwa sangat video uji nyali....

Selain aneh, peristiwa tersebut sangat menyedihkan sekaligus menyakitkan. Siapapun yang menyaksikannya, pasti menitikkan air mata, dan tak sanggup membayangkan betapa beratnya penderitaan yang dijalaninya.
Seorang isteri juraga rotan, kedapatan mengalami penyakit yang susah untuk dideteksi secara medis. Dokter yang didatangkan bukan saja dari Cirebon, bahkan ada yang sengaja didatangkan dari Bandung maupun Jakarta. Namun, hasilnya sangat tidak memuaskan. Alat vital wanita paruh baya itu tetap mengeluarkan nanah kental tiap tengah malam hingga siang bolong.
Akibatnya, alat vital yang mestinya jadi mahkota kebanggan wanita dan digandrungi pria itu, terpaksa tidak berharga sama sekali. Bau yang keluar benar-benar busuk. Bahkan baunya menyebar dalam radius belasan meter.
Terdorong rasa penasaran yang teramat kuat, suatu malam Penulis secara diam-diam menyambangi rumah megah yang mulai tak terurus itu. Rumah yang berada tidak jauh dari jalan raya itu memang terlihat muram kehilangan nilai artistiknya. Selain cat temboknya sudah mengelupas disana-sini, plafon yang terbuat dari kenwoods juga sudah jebol di beberapa bagian. Di halaman depan maupun halaman serambi, rumput sudah membelukar.
Begitu pula sebagian ranting pohon belimbing bangkok sudah menerobos ke lubang ventilasi jendela. Pernak-perniknya juga sudah terpatah-patah dan banyak yang rontok, juga tidak ada lagi perabotan luks di dalamnya.
Ternyata, selain dikarenakan bangkrutnya bisnis rotan sebagai imbas peraturan pemerintah tentang syarat-syarat ekspor rontan ke luar negeri, sisa modal yang ada tersedot juga buat ikhtiar pengobatan sang isteri. Kini, suami-isteri tanpa keturunan itu hidup dari utang disana-sini, sehingga tak mampu lagi untuk beli cat tembok.
Ketika Penulis tiba di rumah megah namun kumuh itu, si wanita malang sudah dalam proses pemulihan. Nanah kentalnya sudah tidak keluar lagi dan tak tercium bau busuk dari balik pakaian yang dikenakan.
Namun, tubuh Ny. Ratinah, 45 tahun, sangat menyedihkan. Tubuh yang dulu padat berisi itu kini layaknya sosok jerangkong hidup. Ya, hanya menyisakan tulang terbungkus kulit. Kecantikan wajahnya seperti yang tampak pada foto di figura samping buffet, sudah tak tersisa sama sekali. Tulang-tulang pipinya bertonjolan dengan tatapan mata sangat menyedihkan. Wajah itu masih menyimpan sisa-sisa penderitaan teramat pahit selama hampir dua tahun. Sebuah rentang waktu sangat menjemukan serta membuat alas berubah gelap.
Yang patut untuk dijadikan pelajaran, di tengah situasi sulit yang berlarut-larut, Ratinah tetap tabah bahkan sangat pasrah. Tak pernah terlintas sekalipun dalam benaknya untuk menempuh jalan pintas yang sesat.
Sebagai mantan santri dari salah sebuah pesantren puteri terkemuka di Kabupaten Cirebon, Ratinah yakin sekali kalau penderitaan yang dialaminya itu bakal mendapatkan pahala dari Allah SWT yang bakal dipetik di akherat kelak. Sehingga, ketika diminta menceritakan kembali kesengsaraannya sebagai korban santet, Ratinah berkali-kali menolak. Tapi, setelah dipastikan bakal dijaga kerahasiaan identitas diri dan keluarganya serta identigas orang yang berbuat jahat padatnya, Ratinah maupun Imron, 47 tahun, sang suami, berangsur-angsur memahaminya dan bersedia untuk mem-flashback sampai kepada hal-hal kecil yang pernah dialaminya.
"Sedikitpun tak menyangka, di era yang serba modern ini, ternyata masih ada orang yang menggunakan santet untuk mencelakai sesama manusia," Ratinah memulai kisahnya.
Penderitaan yang dialaminya selama hampir dua tahun ini, sangat sulit untuk digambarkan. Dia yakin, semenjak terlahir di alam fana ini sampai umurnya yang sudah kepala empat, belum pernah mengalami penderitaan seberat itu.
Penyakit aneh yang disebabkan serangan santet itu, berawal dari usaha rotan yang dilakoni Imron. Memang, wilayah kecamatan Sumber, Kabupaten Cirebon, sudah lebih dari dua dasawarsa dinobatkan sebagai sentra bisnis rotan terbesar di Jawa Barat. Dan Imron adalah salah seorang pengusaha rotan yang cukup diperhitungkan.
Sejak era tahun 1990-an, perusahaan rotan milik Imron sudah merekrut lima karyawan tetap, dan sepuluh karyawan magang. Mereka bekerja mulai pagi hingga menjelang waktu Isya. Modal awal dia peroleh dari perbankan, dan secara bertahap, mengurangi pinjaman modal perbankan itu sampai akhirnya tinggal landas sekitar tahun 1995.
Dengan seratus persen modal sendiri, secara otomatis, laba bersih yang diraup per bulannya jauh lebih besar, karena tidak ada kewajiban buat bayar bunga bank. Seiring itu pula, jumlah karyawan tetap bertambah setiap periodiknya.
Mekanisme usaha yang diterapkan Imron sangat sederhana. Menetapkan status karyawan pun sangat ringkas, dimulai dari karyawan lepas dan karyawan tetap. Karyawan magang yang sudah bekerja dalam rentang waktu tertentu, dianggap punya dedikasi tinggi serta loyalitasnya terhadap perusahaan sangat kental, maka secara otomatis direkrut menjadi karyawan tetap.
Karyawan tetap itupun, bagi yang berdedikasi tinggi dan loyalitasnya kental, akan dinaikan statusnya ke bagian pemasaran. Tiap-tiap kenaikkan status ini berkaitan sekali dengan nilai upah dan tunjangan serta fasilitas lainnya.
Sam, 40 tahun, di mata Imron punya nilai lebih dibanding karyawan tetap lainnya. Pria beranak dua asal Jatibarang, Indramaya ini tercatat sebagai karyawan tetap yang punya masa kerja paling lama.
Disamping itu, Sam punya dedikasi tinggi serta sangat loyal, ditambah pendidikan formalnya yang lumayan bagus yaitu diploma tiga. Dikarenakan sudah memenuhi seluruh komponen yang disyaratkan, sejak 1995, Sam dinaikkan statusnya menjadi karyawan bagian pemasaran bersama-sama dua karyawan bagian pemasaran yang sudah lebih dulu ada yaitu Iwan, 46 tahun, dan Jajang, 42 tahun.
Mulai triwulan pertama, Sam kebagian tugas mengawal pengiriman rotan hingga ke pengepul besar atau perusahaan eksportir di Jakarta. Tugas tersebut terus dirolling secara periodik. Iwan bertugas mengurus surat-surat berkaitan proses ekspor ke Eropa, sedangkan Jajang bertugas juru tagih ke pihak perusahaan eksportir.
"Sampai tahun kedua, saya merasa sangat puas dengan cara kerja Sam dan dua karyawan pemasaran lainnya. Tapi bertepatan dengan meletusnya reformasi dalam upaya menurunkan Soeharto sebagai presiden, sedikit demi sedikit ada suara-suara sumbang yang masuk ke telinga. Suara sumbang itu tertuju kepada kinerja Sam," kenang Imron.
Pada awalnya, suara-suara sumbang itu hanya dianggap sentimen biasa di lingkungan sesama karyawan. Apalagi suara sumbang yang paling santer justru ditiupkan Jajang yang notabene rival Sam.
Jajang mengaku kepada Imron, suatu waktu pernah "menjebak" Imron. Dalam perjalanan ke Jakarta, setibanya di Jatibarang secara disengaja Jajang membelokkan Toyota Kijang yang dikemudikannya memasuki sebuah gang dan berhenti di depan rumah besar yang baru selesai dibangun.
Sambil tetap duduk dibalik kemudi dan hanya sedikit menurunkan kaca jendela kemudi di sampingnya, Jajang menjelaskan kepada Imron kalau rumah besar itu milik Sam. Padahal rumahnya yang dulu berada di pinggir tanggul sungai Cimanuk.
Meski sudah menyaksikan dengan mata sendiri, namun Imron berusaha untuk tetap berbaik sangka. Dalam pikirannya, mungkin Sam mampu membangun rumah sebesar itu berkat kemampuannya mengatur gaji yang diterima dari perusahaan. Atau mungkin, uangnya sebagian didapat dari menjual tanah warisan. Imron tidak pernah tahu apakah Sam punya warisan atau tidak, yang dia tahu Sam adalah karyawan bagian pemasaran yang ulet dan lincah.
Pada saat yang lain, pagi-pagi sekali Iwan sudah mengetuk pintu rumah Imron. Dengan tingkah yang gelisah dan tegang, Iwam menyampaikan laporan kepada bosnya. Sudah dua kali pengiriman, Sam melaporkan kepada Iwan kalau kendaraannya dijarah massa di Jakarta.
Secara kebetulan, dari tahun 1997 hingga 1998, pemberitaan media audiovisual dilaporkan aksi kerusuhan disertai penjarahan oleh ribuan massa di Jakarta. Atas dasar itulah Imron tidak terlalu memikirkan laporan Iwan mengenai Sam. Di mata Imron, sampai saat itu Sam masih dianggap bersih.
Bukan itu saja, setiap saat Iwan mengeluhkan terjadinya ketidak-cocokan antara faktur penerimaan dari petugas checker di perusahaan eksportir di Jakarta dengan data tonase yang tertera dalam surat jalan dari karyawan bagian produksi di perusahaan Imron.
Laporan Iwan kali ini cukup menyita perhatian Imron. Apalagi karyawan bagian produksi yang melakukan penimbangan sebelum dinaikkan ke atas truk bersikeras mencantumkan angka pada surat jalan sesuai dengan tonasenya.
Namun muncul dalam pemikiran Imron, tentang adanya konspirasi atau tepatnya persengkongkolan antara karyawan bagian produksi dengan Iwan dalam upaya menggulingkan Sam.
Kali inipun Sam masih tetap bersih di mata Imron. Tapi ibarat pepatah kuno, sepandai-pandainya tupai melompat suatu saat pasti jatuh juga. Demikianlah yang terjadi pada diri Sam.
"Di akhir tahun 1999, tanpa diduga, datang seorang tamu mengaku karyawan perusahaan eksportir rotan dari Jakarta," kata Imron.
Karyawan yang namanya dirahasiakan itu, tanpa basa-basi lagi mengajak Imron untuk kerjasama usaha rotan untuk tujuan Amerika Serikat. Harga yang ditawarkannya sedikit lebih tinggi dari harga yang sudah disepakati dalam kontrak kerja sama atau MoU dengan perusahaan eksportir rotan yang sudah bermitra.
Bagi Imron harga yang lebih tinggi bukan sesuatu yang mengejutkan. Sesuai strategi bisnis, hal itu sangat layak dilakukan. Tapi, setelah kerjasama berlangsung, harga yang ditetapkan bisa saja lebih rendah dari harga yang ditetapkan eksportir yang dulu.
Tetapi ketika mendengar ucapan karyawan itu berikutnya, seperti ada tamparan keras pada wajah Imron. Sebab, orang itu menyatakan sudah ada kecocokan dengan kualitas rotan dari perusahaan Imron.
"Dari mana dia tahu kualitas rotan saya, kenal saja belum," kenang Imron.
Berusaha tidak menunjukkan sikap curiga, Imron terus mengorek informasi dari tamunya itu. Ternyata, sudah dua tahun lebih Sam mengirim rotan ke perusahaan ekspotir tersebut, biarpun jumlahnya sangat terbatas. Kecuali pernah dua kali mengirim secara penuh masing-masing satu truk. Penjelasan itu sudah lebih dari cukup bagi Imron untuk menilai Sam.
Setelah tamunya pulang ke Jakarta dengan sangat kecewa, Imron memanggil sopir perusahaan beserta Iwan. Kedua karyawan itu diminta datang ke ruang serambi rumah Imron yang megah itu.
Pada awalnya sopir itu bersikeras menolak tuduhan itu. Tapi, setelah Imron menyebutkan nama perusahaan eksportir berikut alamat gudangnya, sang sopir mengakuinya dengan wajah lemas. Dia merasa telah diperalat oleh Sam dan memohon agar tidak dipecat dari pekerjaannya sebagai sopir perusahaan.
Imron memang tidak memecat sang sopir, dan yang dipecat dengan tidak hormat tidak lain adalah Sam. Tanpa banyak komentar, Sam menerima surat pemecatan berikut uang pesangon yang lumayan besar dari bossnya.
Tahun berikutnya, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang tentang Pengaturan Ekspor Rotan ke luar negeri. Yang intinya melarang ekspor rotan berupa bahan mentah. Dengan keluarnya peraturan itu, satu demi satu perusahaan rotan di Kabupaten Cirebon maupun di Kota Cirebon bertumbangan, termasuk perusahaan rotan milik Imron.
Hanya berselang satu tahun setelah resmi perusahaan rotan Imaron mengalami kelesuan, Ratinah juga mengalami serangan penyakit yang sangat aneh. Pada awalnya dipastikan hanya penyakit turun bero atau peranakan turun. Namun upaya melalui sistem pijat oleh beberapa paraji (dukun beranak) tidak membuahkan hasil.
Selanjutnya timbul rasa gatal di sekitar mulut vagina. Selama seminggu, rasa gatal itu terus menyiksa. Serangan gatal itu datang dan pergi mirip hantu.
Terkadang, serangan gatal itu datang di saat dia berada di pasar atau di tengah-tengah pertemuaan dengan anggota keluarganya. Akibatnya Ratinah sering dibuat malu, lantaran dia mesti tergesa-gesa menerobos pintu kamar mandi untuk menggaruk bagian sensitif pada organ kewanitaannya itu.
Serangan gatal itupun sempat hilang selama satu bulan lebih. Hal itu membuat lega batin Ratinah. Namun, satu bulan berikutnya, datang serangan sakit yang sangat ganjil. Bagian dalam alat vitalnya serasa seperti ditusuki ribuan jarum kecil.
Makin lama kondisinya makin memburuk. Bahkan dari alat vital Ratinah mulai keluar nanah kental disertai menyebarnya bau busuk. Setelah itu, setiap hari yang dikerjakan Ratinah hanya berbaring di atas kasur. Nafsu makannya turun secara dratis. Akibatnya, tubuh yang semula montok dan sintal, secara cepat berubah kurus sampai akhirnya tidak ubahnya kerangka yang terbungkus kulit.
Selama sakit aneh itu, sanak keluarga maupun bekas karyawan yang merasa simpati, sangat jarang yang berani memasuki kamar tidurnya. Mereka memilih duduk di ruang tamu, lantaran tak tahan dengan bau busuk dari alat vital Ratinah. Dari ruang tamu pun, bau busuk itu sudah tercium bahkan hingga ke serambi luar rumah.
Hanya seorang diri Ratinah merasakan deraan sakit luar biasa di kamar tidurnya. Berbagai upaya penyembuhan selalu nihil. Baik melalui jalur medis maupun jalur alternatif memanfaatkan kalangan supranaturalis.
Sejumlah paranormal sudah didatangkan. Terapi yang dilakukan paranormal sudah dijalani, namun pada ujungnya menyerah sambil menyarankan supaya mengundang dokter kandungan karena penyakit itu termasuk penyakit dhohir.
Saran para paranormal itu hanya dijawab dengan anggukan kepala. Pasalnya, sebelum paranormal memberi saran, sudah lebih dari lima dokter ahli kandungan lokal maupun dari kota besar yang didatangkan, tapi tidak membuahkan hasil.
Untuk ikhtiar pengobatan yang tanpa hasil itu, ternyata telah meludeskan segalanya. Dua hektare sawah berikut ladang telah dijual. Menyusul perabotan di dalam rumah berikut perhiasan serta tabungan di bank. Ketika sudah tak punya apa-apa lagi, Ratinah maupun Imron memilih untuk berpasrah diri kepada Allah SWT.
Memasuki duapuluh bulan kemudian, ketika Ratinah sudah berada antara hidup dan mati, serta kondisi bangunan rumah yang kumuh tidak terurus, Imron dalam mimpinya bertemu seorang laki-laki renta mengenakan pakaian ala para sunan di era Wali Songo.
Laki-laki dengan raut muka memancarkan aura putih itu, menyarankan untuk laku tirakat di salah sebuah tempat keramat di wilayah Kecamatan Gegesik, Kabupaten Cirebon.
Tanpa banyak pertimbangan, saran laki-laki yang berpenampilan ala sunan dari mimpinya itu langsung dijalani. Tempat yang dituju itu, ternyata salah sebuah petilasan Ki Kuwu Sangkan sewaktu menjalankan laku tirakat beberapa abad silam.
Satu minggu sudah berlalu, dan Imron belum mendapatkan petunjuk apapun dalam tirakatnya. Tanpa pernah merasa putus asa, laku tirakatnya terus dilanjutkan hingga memasuki hari keempat puluh.
Pada malam keempat puluh satu, antara sadar dan tidak, di depan lutut Imron yang sedang berzikir seperti tersaji adegan drama yang teramat mencekam. Laki-laki yang pernah hadir dalam mimpinya itu, sedang menginjak dada laki-laki berpenampilan jawara. Laki-laki dengan mengenakan blangkon, baju kampret dan celana komprang warna hitam, dalam keadaan terlentang tak berdaya.
Menyaksikan adegan klimaks sebuah pertarungan itu, membuat Imron ternganga tanpa suara. Lantas, laki-laki ala sunan itu menanyakan identitas dan berbagai hal terhadap laki-laki jawara di bawah telapak kaki kanannya itu.
Dengan nada sangat ketakutan serta menderita, laki-laki itu menyebutkan jatidirinya. Ternyata dia makhluk alam gaib dengan digelari Pangeran Santet. Pangeran Santet itupun mengaku kalau selama duapuluh bulan ini terus menyiksa Ratinah dengan menggunakan ilmu Santet Rumput Rawa andalannya.
Pangeran Santet menuturkan proses serangan ilmu santetnya. Dimana rumput berlugut dari tengah rawa di sekitar pesisir Kecamatan Kapetakan, Kabupaten Cirebon secara rutin dimasukkan secara gaib ke dalam rahim Ratinah. Karena itulah, dari alat vital Ratinah keluar nanah kental diiringi bau sangat busuk.
Atas desakan laki-laki ala sunan, sang Pangeran Santet bersedia menarik kembali ilmu santetnya dari raga Ratinah hingga sembuh seperti sediakala. Yang sangat mengejutkan, makhluk halus aliran hitam itu menyebutkan identitas orang yang telah memperalatnya untuk menyiksa Ratinah. Siapa lagi kalau bukan Sam.
Mendengar nama Sam disebut-sebut, tanpa sadar emosi Imron langsung memuncak. Sebelum Imron kalap dan histeris, laki-laki ala sunan itu mengangkat kakinya dari dada Pangeran Santet sekaligus menyuruh makhluk aliran hitam itu supaya pulang kembali ke asalnya.
Sepeninggalnya Pangeran Santet, laki-laki ala sunan itupun menyampaikan petuah bahwa apapun yang dia dengar tidak boleh dijadikan alat untuk membalas dendam.
Siapapun yang menanam pasti dia yang bakal memetik buahnya. Karena petuah itulah, Imron memilih pasrah. Terlebih lagi, secara menakjubkan, penyakit menjijikan itu sudah meninggalkan alat vital isterinya.
 
Support :