Tampilkan postingan dengan label EDDRAMAN HORMANSYAH. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label EDDRAMAN HORMANSYAH. Tampilkan semua postingan

TERJEBAK DI DUNIA LAIN KETIKA BEKERJA DI HUTAN


Bagaimana bisa seorang yang menyetubuhi jin lalu memiliki keturunan? Kisah berikut merupakan kesaksian dari salah seorang yang pernah bekerja di sebuah perusahaan penebangan kayu. Saat bertugas dia terjebak ke dunia lain milik para jin….

Adelin Lis, Direktur Keuangan PT Keang Nam Deveploment Indonesia (KNDI), adalah salah seorang sosok yang kontroversial dalam kacamata hokum pidana. Setelah Jaksa menuntutnya sepuluh tahun kurungan, ternyata dibebaskan tanpa syarat oleh Majelis Hakim Pengadilan Negara Medan. Ini suatu perkara yang dianggap sangat menyakitkan nurani keadilan, mengingat kasus korupsi Adelin Lis dengan nilai yang sangat besar.
Tulisan berikut ini memang bukanlah kisah tentang Adelin Lis. Tetapi aku pernah bekerja di perusahaan miliknya. Hampir tiga tahun aku menjadi karyawan pada PT KNDI, yakni sebuah perusahaan pengolahan kayu berskala besar yang cukup bonafid di daerah Mandailing Natal (Madina), Sumut.
Kalau Adelin Lis, orang yang misterius dalam bidang penegakan hukum, sementara aku sendiri mengalami kejadian misterius ketika bekerja di perusahaan tersebut.

Pertama kali masuk kerja, aku ditempatkan diunit Tely, yakni melakukan tugas mencatat dan mengadakan kelompok-kelompok kayu yang sudah diolah menjadi bahan bangunan ke dalam masing-masing jenis dan tipe serta ukuran yang sama.
Jumlah karyawan kurang lebih 500 orang. Mereka punya tugas di bidang masing-masing. Meskipun demikian, di antara mereka ada yang punya tugas rangkap. Dan aku sendiri sering ditugaskan rangkap pula terutama kalau ada karyawan yang berhalangan karena sakit.
Tugas yang kurasa cukup berat dan punya resiko tinggi adalah kalau diperintahkan mengadakan survey di lapangan guna meneliti pohon-pohon kayu di areal hutan yang sesuai dengan HPH dari Menteri Kehutanan. Menandai pohon yang akan ditebang di tengah hutan belantara yang masih perawan.
Hari itu, dengan ditemani oleh rekan seprofesi yang akrab kupanggil Bang Ucok Regar, aku ditugaskan melakukan penelitian ke sebuah areal hutan. Tanpa bisa menolak, Bang Ucok berangkat duluan ke sana. Aku sendiri janji akan menyusul sejam kemudian. Soalnya, masih ada urusan yang akan kukerjakan di lokasi pabrik.
Setelah urusan tersebut selesai, dengan mengendarai sepeda motor perusahaan, aku segera menyusul rekanku itu. Lokasi hutan yang akan kutuju sekitar 75 km dari pabrik. Tepatnya berbatasan dengan sebuah desa bernama Umang-Umang. Desa itu pernah kukunjungi dengan tugas yang sama. Jalan kesana merupakan jalan darurat yang dirintis oleh pihak perusahaan. Dari desa terpencil tersebut, kayu tebangan diangkut menggunakan truk khusus atau lengging.
Hari itu, cuaca cerah dan cukup panas. Dengan kecepatan sedang, kupacu sepeda motor menyusul Bang Ucok. Mendekati sebuah tikungan, tiba-tiba mesin mati dan sepeda motor berhenti tepat di bawah sebatang pohon yang berdaun rindang. Segera kuperiksa apa penyebabnya.
Hampir setengah jam aku mengutak-atik mesin, namun tidak kutemukan juga. Mesin sepeda motor tetap saja tak mau dihidupkan.
“Dasar sepeda motor sialan!” Makiku dalam hati sambil kemudian duduk istirahat di bawah pohon rindang itu.
Aku mulai berpikir untuk mengadakan kontak dengan pihak manajemen atasanku, ketika dihadapanku melintas seorang pria tua mengenakan pakaian agak aneh. Tampangnya terlihat sangat kumuh seperti gelandangan.
“Cucu mau kemana?” Sapanya sambil berhenti melangkah. Dia menatapku.
“Ke desa Umang-Umang, Kek!” Sahutku sambil bangkit berdiri.
“Lalu kenapa berhenti di sini?”
“Mesin motorku ngadat, Kek!” Jawabku sambil mendekati sepeda motor.
“Apanya yang rusak?” Si kakek datang mendekat. Dia bahkan turut jongkok di dekatku.
“Entah apa yang membuatnya mogok. Saya sudah menelitinya, tapi saya tidak bisa menemukan kerusakan mesin motor ini.”
“Coba kulihat!” Si kakek bergeser ke depan sambil menyentuh busi dengan ujung telunjuk jarinya.
Sekejap aku terkejut, sebab ujung jari si kaki yang ringkih itu seperti memancarkan sinar kebiru-biruan. Anehnya, dalam hitungan detik, mesin hidup tanpa distater sama sekali.
Belum habis rasa heranku, terdengar si Kakek berkata, “Kalau cucu ingin ke desa Umang-Umang, kakek ingin menumpang. Apakah boleh, Cu?”
“Tentu saja aku tak keberatan, apalagi Kakek telah membantu menghidupkan mesin sepeda motorku,” jawabku sambil berusaha menekan perasaan heran dan aneh di dalam dadaku.
Ringkas cerita, pria tua itu kusilhakan duduk di jok belakang. Mungkin karena tubuhnya yang kurus, maka sepertinya aku tidak merasa membawa beban di boncengan belakang. Begitu lewat tikungan di depan, di sebelah kiri jalan nampak pohon yang lumayan tinggi dan akar-akarnya ada yang menyembul kepermukaan, bahkan melingkar-;ingkar merangkul batang pohon itu sendiri. Begitu melintas di depan pohon ini, tiba-tiba mesin sepeda motor mati lagi. Anehnya, sepeda motor membelok sendiri menuju ke arah pohon tanpa dapat kukendalikan. Tubuhku terdorong ke depan lalu membentur pohon raksasa tersebut. Setelah itu, aku tidak ingat apa-apa lagi.
Apa yang terjadi kemudian? Setelah siuman, sepertinya aku sedang berada di sebuah kawasan perkotaan dan tubuhku terbaring di tempat tidur dalam ruangan yang lumayan besar digedung yang megah dan indah. Waktu itu, laiknya aku sedang bermimpi. Tapi kali ini bukan mimpi, karena ketika kucubit terasa sakit di kulitku.
“Aneh, di mana aku sekarang? Mengapa aku bisa berada di tempat ini?” Tanyaku dalam hati. Mendadak aku ingin bangkit dari tidur. Namun, pada saat bersamaan, aura video uji nyali mulai kurasakan. Hal inilah menyebabkan bulu kuduk meremang, sebagai isyarat bahwa aku saat itu berada dan terjebak di dunia lain. Mungkin dihuni oleh makhluk gaib yang sulit ditebak.
Aku masih dalam kondisi kebingungan ketika muncul di hadapanku sesosok makhluk berwujud manusia. Dia mengenakan pakaian mirip serdadu kerajaan tempo dulu dan ditangan kanannya memegang sebatang tombak yang ujungnya bercabang tiga. Dengan menggunakan bahasa isyarat, laki-laki berwajah sangar dan menakutkan ini, meminta agar aku segera mengikutinya.
Aku tak bisa membantah ajakannya, sebab kesadaranku memang sepertinya kembali terhipnotis. Akhirnya, aku berjalan beriringan dengan lelaki penjemputku. Dia membawaku masuk ke ruangan lain yang bersebelahan dengan ruang tempatku terbaring tadi. Ruangan ini lebih megah dan lebih menakjubkan lagi. Perabotannya serba antic, seperti koleksi berabad-abad yang lalu. Kursi-kursinya penuh ukiran klasik, berpasangan dengan meja batu giok beralaskan lantai marmer mengkilat, berwarna-warni.
Di sepanjang ruangan, tergantung aneka lampu kristal yang memancarkan sinar beragam aneka warna. Bersamaan dengan itu, aroma wewangian sering hinggap di hidungku. Harum sekali.
Aku masih tertegun dan terpana, berdiri mematung, ketika ruangan yang super megah tersebut dipenuhi oleh perempuan ayu dan cantik. Perangai dan perilakunya sangat kontras dengan fenomena keindahan serta kesakralan suasana di sana. Pakaian mereka sangat merangsang, nyaris telanjang. Binal dan genit ketika berpelukan dengan teman laki-lakinya.
Keberadaanku di tempat itu seperti tidak diketahui mereka. Bahkan, laki-laki seradu yang tadi menjemputku tidak kulihat batang hidungnya. Dan aku hanya melongo saja berdiri mematung. Menyaksikan seks bebas yang berlangsung di hadapan mata. Persis seperti nonton film blue.
Belum habis rasa heran dan bingungku, di hadapanku telah berdiri seorang perempuan agak tua, bertubuh gendut dengan rias wajah yang sangat mencolok. Di sebelahnya turut pula berdiri seorang perempuan muda yang cantik dan ayu.
Cukup lama perempuan gendut ini menatap wajahku. Seperti ingin menaksir wajah dan penampilanku saja. Dengan bahasa isyarat, dia ingin tahu siapa namaku. Lalu aku jawab pula dengan bahasa isyarat.
Entah mengerti atau tidak, dia kemudian bertanya, “Anak muda, mengapa kau sampai berada di tempat hunian kami ini?”
Laiknya orang tunarungu, aku menjelaskan dengan bahsa isyarat bahwa aku tak sengaja berada di tempat mereka. Alasannya, karena sepeda motorku menabrak sebatang pohon di pinggir jalan. Dan kuungkapkan juga, bahwa sepeda motorku mogok. Lalu dibantu oleh seorang kakek, dan bersama pria tua itu menuju desa Umang-Umang.
Nampaknya si nenek paham, dan mengatakan, pria tua itu adalah ayahnya yang ingin mencari suami untuk cucuknya. Dan dia menunjuk perempuan di sebelahnya sebagai cucu si kakek.
Komunikasi menggunakan bahasa isyarat berlangsung dengan lancar tanpa menemui kendala yang berarti. Aneh, memang! Saat itu, aku juga sempat memastikan bahwa mereka berasal dari komunitas makhluk dari dunia lain, yang tidak bisa bicara. Kalaupun mereka berbicara, maka aku tidak akan mengerti dan memahaminya.
Ketika perempuan gendut mengisyaratkan bahwa pria tua yang menolongku menghidupkan mesin motorku itu adalah kakeknya, maka aku mulai curiga. Entah apa yang akan mereka lakukan terhadao diriku.
“Apakah kau bersedia kukawinkan dengan putri tunggalku ini?” Tanya perempuan gendut itu dalam bahasa isyarat yang mendadak saja bisa kumengerti dan kupahami.
Secepatnya aku memberi isyarat bahwa aku telah punya isteri. Bahkan, aku juga memberi isyarat bahwa sangat mustahil makhluk Tuhan berbeda alam untuk menyatu dalam sebuah perkawinan.
“Siapa bilang?” Tanya si perempuan gendut. Kali ini bukan lagi dengan bahasa isyarat, melainkan dengan kata-kata dalam bahasa Melayu.
Hal ini membuatku terperangah. Ternyata dia mampu berbicara dengan bahasa Melayu, dengan logat dan gaya Mandailing Klasik.
Aku makin terheran-heran ketika dia mengatakan bahwa perkawinan makhluk dari kalangan jin dan manusia sudah sering terjadi sejak era kenabian tempo dulu. Dia mengambil contoh dengan peristiwa Nabi Sulaiman yang menikahi Ratu Balqis, yang dipercaya berasal dari komunitas bangsa jin.
Aku bingung, karena aku tak tahu persis apakah Ratu Balgis memang berasal dari bangsa jin. Entahlah apakah perempuan gendut ini hanya mengarang-ngarang untuk meyakinkan diriku, bahwa perkainan manusia dengan jin bukan mustahil adanya.
“Kami memang dari bangsa jin yang tidak alim!” Ungkap perempuan gendut itu. “Asal kau tahu saja…kami memang selalu mengadakan perkawinan silang dengan manusia. Hal ini guna memperoleh keturunan yang lebih bermutu dan berkwalitas. Karena kami dari bangsa jin di kawasan ini ingin mensejajarkan diri dengan makhluk manusia yang kami anggap lebih tinggi derajatnya dari bangsa jin,” tambahnya menjelaskan dengan panjang lebar.
Cukup lama aku termenung dan tertegun. Aku menjadi sangat bodoh, sebab tak mampu berkomentar. Aku hanya bisa manggut-manggut, seolah-olah memahami apa yang dijelaskannya barusan.
“Bagaimana? Apakah kamu bersedia membantu kami?” Perempuan itu menatapku dalam-dalam.
“Gimana ya…?” Aku masih bingung. “Soalnya, tadi telah saya katakan, bahwa saya telah berumah tangga,” kataku menjelaskan sejujurnya.
“Itu tidak bisa dijadikan dalih. Karena di bumi, manusia banyak yang punya isteri lebih dari satu!” Kata si perempuan gendut sambil nyengir sinis.
Aku terbungkam. Ternyata dia cukup banyak mengetahui tentang ulah manusia selama ini. Tapi, aku sungguh tak sudi menikah dengan makhluk halis, meski putrid si gendut itu sangatlah cantik jelita.
Karena aku masih tetap menolak tawarannya, akhirnya aku diamankan di sebuah ruangan khusus dalam kondisi tertutup dan terkunci. Di dalam ruangan itu fasilitasnya sangat lengkap sekali, sehingga aku merasa berada dalam tahanan rumah. Namun, sewaktu berada kesendirian, aku mulai teringat isteriku di rumah yang kutitipkan pada ibu di Medan.
Aku masih coba membayangkan wajah Rini, isteriku, ketika pintu terbuka dan wajah perempuan cantik dan ayu yang tadi menemani perempuan gendut itu muncul sambil mengulum senyum. Gadis yang katanya cucu dari pria tua yang menolongku tersebut berjalan dengan langkah terukur bagai seorang pragawati. Dia datang menghampiriku yang sedang duduk dibibir tempat tidur. Kini dia mengenakan gaun terusan yang agak tipis tanpa BH dan celana dalam, sehingga apa yang berada dibaliknya menjadi terlihat sekali. Lekuk-lekuk tubuh yang sensual dan padat, serta bukit kembar di dadanya nampak jelas menonjol.
Sejenak ruangan kamar dengan aroma semerbak wewangian itu berubah sangat sunyi. Begitu sunyinya sehingga suara helaan nafasku yang tergetar oleh keindahan wanita di hadapnku seaakan-akan terdengar gemanya. Aku tidak ingin dikatakan munafik. Aaat itu gairah birahiku melonjak tajam. Disamping melihat ada perempuan cantik sekamar denganku, ini juga karena aku sudah cukup lama bekerja di tengah hutan belantara jauh dari godaan seks terhadap wanita cantik. Apalagi perempuan muda di hadapanku kini mulai melucuti pakaiannya, sehingga tubuhnya bugil tanpa sehelai benangpun.
Singkat cerita, saat itu aku tak mampu membendung gejolak libidoku. Dan apa yang terjadi selanjutnya, tak perlu kuceritakan secara rinci. Aku seperti anjing kelaparan yang begitu bergairah menikmati mangsanya. Bahkan, hubungan terlarang tersebut terjadi berulang kali, hingga aku pingsan alias tak sadarkan diri. Mungkin akibat kecapekan atau karena pengaruh lainnya.
Begitu siuman, aku merasa malu dalam keadaan tubuhku yang telanjang, sebab di dihadapanku ada beberapa orang pria. Mereka adalah pekerja yang melintas di tempat itu, mengangkut kayu gelondongan dengan truk. Katanya, aku ditemui dipinggir jalan di bawah pohon beringin. Ketika itu aku terkapar di sana dalam keadaan setengah sadar.
Tidak jauh dari situ, mereka juga menemukan sepeda motorku dalam kondisi berantakan. Karena itulah, untuk sementara aku dinyatakan mengalami kecelakaan, menabrak pohon di pinggir jalan. Namun satu hal yang membuat mereka bingung, kenapa aku bisa terbaring dalam keadaan telanjang bulat.
Rupanya, aku telah dikerjai oleh penunggu pohon beringin tua yang dipercayai sangat angker itu. Menurut cerita, kejadian serupa seperti yang kualami pernah juga dialami oleh para pekerja penebangan pohon di tempat itu. Bahkan, suatu ketika ada yang tewas meregang nyawa dalam kondisi alat vital membengkak seukuran biji kelapa.
Karena merasa trauma atas kejadian serupa, maka akhirnya aku memutuskan untuk hengkang dari perusahaan tersebut. Aku memilih kembali ke kota Medan, dan ingin mencari pekerjaan yang lebih laik.
Setelah peristiwa itu, aku juga mengalami suatu keanehan. Cukup lama aku tak mampu memberi nafkah batin ke isteriku. Lebih aneh lagi, kurang sembilan bulan kemudian,. aku dan isteriku sering mendengar tangisan bayi dekat tempat tidur kami. Kami sibuk mencarinya hingga ke bawah kolong ranjang ranjang.
Menduga rumah itu telah dihuni oleh setan, aku memutuskan cari kontrakan lain. Di tempat yang baru, tangisan bayi itu masih terdengar. Artinya dia terus mengikuti kemana aku pindah.
Karena keanehan ini, akhirnya mempertanyakannya kepada Pak Suparlan, orang pintar di lingkungan tempat tinggalku.
“Itu darah dagingmu…!” Jawab Pak Suparlan yang menguasai ilmu gaib.
Tentu saja aku bingung dan heran. Apa mungkin persetubuhan gaibku dengan sosok perempuan jin bisa membuat kehamilan? Untuk menjaga ketenangan dalam rumah tangga, aku minta pada sang paranormal agar memberikan solusi menghilangkan suara tangisan bayi tersebut, sehingga tidak terdengar lari.
“Kalau sekedar meredam suara tangisnya mungkin bisa, tapi kalau untuk mengusirnya tidak mungkin. Karena dia adalah darah dagingmu yang akan terus membayangi langkahmu kapan dan di mana saja.” Ungkap Pak Suparlan.
Aku semakin tak mengerti. Tapi kuserahkan semua ini hanya kepada Allah SWT.

GANASNYA SIHIR ULAR-ULAR RAMBUT

Konon, sihir ini merupakan peninggalan nenek moyang Bangsa India. Seseorang yang akan mewarisi sihir ular rambut, wajib melakukan sebentuk ritual pemujaan di rumah nenek moyangnya. Biasanya yang menjadi pewaris adalah keturunan yang berkelamin perempuan yang sudah bersuami….

Konon sihir sering ditumpangi atau dibantu oleh energi setan, sebagaimana yang diamalkan oleh mereka yang menguasai ilmu sihir warisan nenek moyang tempo dulu. Korban sihir dapat disembuhkan dengan ruqyah, doa, serta ramuan obat dari berjenis tumbuh-tumbuhan.

Kisah berikut ini masih ada hubungannya dengan kekuatan sihir. Karena alasan tertentu, si penutur kisah meminta agar jatidirinya disembunyikan. Berikut kisah lengkapnya…:
Saat itu, aku telah menikah dengan seorang gadis desa dari suku Mandaliling, dan menempati sebuah rumah sebagai hadiah perkawinan dari ayah mertua. Lokasi tempat kediaman kami ini letaknya agak terpencil dari rumah tetangga. Namun, rumah yang kami tempati cukup besar, asri dan bersih serta laik huni.
Air sungai yang letaknya tak jauh dari rumah kami sangat jernih, sehingga selain untuk mandi dan mencuci pakaian, airnya cukup laik untuk diminum. Perlu kuungkapkan bahwa desa tempat kami berdomisili dikenal sebagai daerah yang sudah kondang keangkerannya.
Si Piso Dainang, demikian nama desa itu. Letaknya lebih kurang 20 km dari kota Sipirok. Di perkampungan ini masih banyak ditemukan fenomena yang aneh-aneh. bahkan hingga kini dikenal merupakan daerah terlarang bagi siapa saja yang datang atau berkunjung dengan membawa niat yang tidak baik. Jika ketentuan ini dilanggar, maka nasibnya tidak akan beruntung.
Selain itu, ada sebuah pantangan yang dipegang teguh oleh warganya: Jangan sekali-kali berani mencoba mengambil barang orang tanpa hak, atau mencuri di kampung ini. Akibatnya cukup fatal. Bisa-bisa si pelaku akan tersesat, tidak tahu jalan pulang dan akan mengalami hal-hal yang sangat menakutkan.
Pantangan lainnnya yang perlu diketahui bagi pendatang, adalah tidak boleh bersiul pada malam hari, juga dilarang meludah di sembarang tempat, dan mengorek-ngorek kerak nasi. Yang paling pantang adalah menjemur celana dalam perempuan yang sedang haid di luar rumah atau dibiarkan tercampak di kamar mandi.
Demikianlah sekilas tentang berbagai pantangan di desan tempat aku dan isteriku tinggal. Walau kelihatannya main-main, namun tak seorang pun berani melanggar pantangan-pantangan tersebut.
Entah berhubungan atau tidak dengan berbagai pantangan tersebut, kisah menyeramkan ini akhirnya kualami….
Masih kuingat, hari itu bertepatan dengan Selasa Kliwon. Isteriku, sebut saja namanya Boru Lubis, baru pulang dari rumah sakit di kota Sipirok. Wanita yang sangat kucintai ini sempat dirawat inap akibat keguguran pada kelahirannya yang ketiga. Karena masih mengalami pendarahan, dia kulihat sering keluar masuk kamar mandi yang terletak di pinggir sungai samping rumah kami. Kamar mandi ini berdinding bilik bambu tanpa atap di atasnya.
Beberapa hari setelah kepulangan isteriku dari rumah sakit, malamnya aku mendapat giliran ronda. Aku sedang asyik ngobrol dengan beberapa petugas jaga lainnya, ketika malam itu terlihat dari arah puncak bukit segumpal cahaya merah seukuran ikatan sapu lidi. Aku tertarik melihat penampakan ini karena cahaya aneh itu meluncur deras ke arah rumahku. Sepertinya, cahaya itu turun dan masuk ke dalam sumur.
Melihat keanehan ini, menyebabkan hatiku tidak tenang dan agak cemas. Jantungku terdegup kencang sebab rasa khawatir menyelinap dalam dada begitu menyadari bahwa saat itu aku meninggalkan isteriku yang belum pulih kesehatannya di rumah bersama dua orang anak-anak kami yang masih kecil.
Untuk menyelidiki fenomena aneh tersebut, aku bersama dua orang petugas ronda bergegas menuju cahaya tadi menghilang. Begitu tiba di sana, alangkah kagetnya kami menyaksikan ramainya ular-ular seukuran belut sawah. Yang membuat kami bnyaris terkencing-kencing, ternyata gerombolan ular ini bertaut pada sepotong kepala perempuan. Ular-ular yang panjangnya kurang lebih 70 cm kemudian berkeliaran di seputar sumur. Mereka saling berebut merubungi celana dalam isteriku yang siang tadi mungkin lupa dicci akibat keletihan.
Cukup lama aku dan dua rekanku melihat keanehan ini. Kami terkesima seperti laiknya orang terkena sihir. Hawa video uji nyali memang menyungkup suasana malam itu. Kami masih terpana ketika ular-ular itu lenyap begitu saja meninggalkan celana dalam isteriku yang penuh dengan lubang bekas gigitan mereka.
Aku baru sadar dari ketersimaanku, ketika terdengar suara isteriku menjerit-jerit seperti orang menahan kesakitan. Bersamaan dengan itu, para tetangga menjadi terbangun dan mereka segera berhamburan menuju rumah kami.
Saat kulihat, isteriku pingsan. Namun yang membikin seram, pada bagian sekitar perutnya yang terbuka, tumbuh rambut-rambut aneh dan menjijikan dalam bentuk jalinan berwujud ular-ular kecil sebesar kepala lidi yang kepalanya bergerak kian kemari. Pemandangan ini amat mirip seperti yang kulihat di dekat sumur.
Tak ayal lagi, para tetangga yang hadir tampak ketakutan menyaksikannya. Seorang demi seorang, mereka kemudia mundur meninggalkan rumah kami. Yang bertahan, hanya dua lelaki tua, namun mereka nampak kebingungan juga menyaksikan fenomena aneh sekaligus menyeramkan ini.
Sementara itu, ular-ular rambut itu semakin banyak bermunculan, sementara isteriku terus merintih-rintih kesakitan. Ngeri aku memandangnya, dan tidak tahu harus berbuat apa.
Sayup-sayup kudengan adzan Subuh. Anehnya, bersamaan dengan itu, ular-ular mini di perut isteriku, kemudian menghilang dengan meninggalkan guratan-guratan kemerahan seperti bilur. Perempuan yang sangat kucintai itu pun tertidur karena lelah menahan sakit.
Ketika matahari menampakkan wajahnya di ufuk timur, isteriku mulai tersadar. Namun, dia nampaknya seperti orang bodoh dan tidak bisa di ajak bicara. Seharian perempuan yang bernama Boru Lubis ini hanya duduk termenung saja. Ketika kucoba menegurnya, dia hanya diam. Paling-paling memandangku dengan sorot mata kosong. Entah apa yang terjadi dengannya?
Malam berikutnya, menjelang tengah malam, Boru Lubis kembali mengerang kesakitan sambil memegangi perutnya. Kucoba menenangkannya ketika kulihat ular-ular rambut itu muncul lagi dari dalam perutnya. Dengan keberanian yang kupaksakan, nekad aku mencabut ular-ular seekor demi seekor. Isteriku menjerit menahan sakit, bersamaan dengan tercabutnya ular-ular itu dari perutnya.
Tetapi…usaha yang nekad ini percuma. Aneh sekali! Begitu tercabut, maka ular-ular itu muncul lagi, seolah berurat akan di dalam perut isteriku.
Tetangga yang datang hanya melongo, tanpa mampu berbuat apa-apa. Mereka hanya merasa prihatin.
Penyakit yang dialami isteriku benar-benar aneh dan mengerikan. Datang pada malam telah larut, tapi segera menghilang ketika pagi tiba. Namun, pada siang hari isteriku tidak bisa diajak ngomong sepatah pun, seperti orang bisu.
Melihat keanehan ini, terbersit dalam benakku, tidak mustahil ibu dari anak-anakku ini telah terkena guna-guna atau sihir. Untuk mastikan dugaan ini, aku segera melaporkan kasus ini ke ayah mertuaku di kota Sipirok. Ayah rupanya sependapat dengan diriku, bahwa anak perempuannya telah terserang ilmu gaib sejenis sihir. Beliau kemudian berusaha mendatangi orang pintar yang menguasai ilmu, bahkan hingga ke Tapanuli Utara. Namun, tidak seorangpun yang mampu menyembuhkan isteriku.
Sementara itu, hampir sebulan setiap malam Boru Lubis mengerang kesakitan pada saat ular-ular itu bermunculan. Tubuhnya mulai kurus, karena sejak kejadian pertama, dia sudah tidak berselera makan dan minum.
Upaya terakhir, kuputuskan memboyongnya ke rumah sakit di kota Sipirok. Dan hari itu aku sudah bersiap-siap berangkat mencari kendaraan, ketika pintu rumahku terdengar diketuk seseorang dari luar.
Aku bergegas membukanya. Di ambang pintu kulihat berdiri seorang lelaki tua berwajah hitam legam mengenakan jubah putih yang kontras sekali dengan rona wajah dan kulitnya.
Lelaki tua yang tidak kukenal ini, sesat mengumbar senyumnya sambil memperkenalkan dirinya. Dia mengaku seorang pengembara yang aslinya berasal dari daerah Benggali, India.
“Nama saya Mahipal Ranjit Singh!” ujarnya sembari mengulurkan tangan kea rahku, untuk mengajak bersalaman. Dia juga mengatakan, bahwa dirinya merasa terpanggil singgah, karena mengetahui di rumah kami ada orang yang sedang sakit.
“Tahu dari mana kalau isteri saya sedang sakit, Tuan?” tanyaku sedikit curiga.
Lelaki tua yang mengaku bernama Mahipal Ranjit Singh ini hanya mengulum senyum tanpa menjawab. Namun, sebagai tuan rumah yang baik, aku masih ingin bersikap santun. Aku menyilahkannya masuk dan duduk di kursi tamu.
Setelah duduk, degera saja dia bercerita tentang berbagai penyakit yang disebabkan oleh sihir. Dia juga memastikan bahwa penyakit isteriku datang dari sihir ular rambut yang ganas.
Aku hanya heran, karena tamu ini belum melihat kondisi isteriku yang masih terbaring lemah dalam kamar tidur, namun sepertinya sudah mengetahui bagaimana keadaannya.
“Boleh saya menjenguk si sakit?” tanyanya dengan nada santun. “Kalau memungkinkan, saya ingin membantu kesembuhannya.”
Melihat aku mengangguk-angguk, dia langsung berdiri dan kuantar masuk ke kamar tidur kami. Hanya sebentar saja dia memperhatikan isteriku, kemudian mengajakku keluar kembali dan duduk di kursi tamu.
“Dugaan saya benar. Isterimu terkena sihir ular rambut yang ganas. Dan kalau tidak ditolong dengan cepat akan menyebabkan kematian,” tuturnya pula.
Untuk meyakinkan diriku, tamua yang sering kupanggil “Tuan” ini kemudian berkisah tentang sejarah keberadaan sihir ular rambut. Konon, sihir itu merupakan peninggalan nenek moyang bangsa India. Agaknya, saudara-saudara dari negeri Hindustan yang datang ke Indonesia sempat mewariskan kepada warga setempat setelah dimodifikasi sedemikian rupa, sesuai dengan situasi dan kondisinya.
Menurutnya, sihir ular rambut yang asli, dikenal sebagai pusaka keturunan keluarga. Seseorang yang akan mewarisi sihir ular rambut, wajib melakukan sebentuk ritual pemujaan di rumah nenek moyangnya yang berusia lanjut. Biasanya yang menjadi pewaris adalah keturunan yang berkelamin perempuan yang sudah bersuami.
Rumah nenek moyang biasanya terbuat dari dinding yang dilumuri lumpur dan tanpa jendela, kecuali sebuah pintu yang tidak boleh dibuka lama-lama ketika matahari bersinar terang. Saat itu, sebuah lampu minyak segera dinyalakan dekat pedupaan termasuk mengisi air minum dalam tempayan.
Manakala mereka yang akan mewarisi pusaka kuno ini memasuki rumah nenek moyang tersebut maka harus merangkak menggunakan kedua lutut dan siku-siku tangan. Tak bleh ngomong sepatah katapun. Semua dilakukan melalui isyarat. Begitu berada di dalamnya, mereka yang akan mewarisi sihir ular, harus melepaskan semua pakaian yang melekat di tubuhnya, lalu duduk bersila.
Setelah itu, maju ke depan sambil terus melakukan ritual pemujaan tanpa berbicara apapun, kecuali desah nafas belaka. Melalui pedupaan, kemudian menyeruak asap setanggi. Dan di depan mereka terletak lampu minyak yang menerangi ruangan secara samar-samar. Kemudian ritual pemujaan dilanjutkan dengan lebih khusyuk lagi sambil tegak berdiri dan tubuh mereka yang polos tanpa busana kemudian diarahkan menghadap lampu minyak tanpa bergerak-gerak.
Entah dari mana datangnya, seorang bertelanjang dada muncul dan mengangkat pedupaan. Sosok yang ini kemudian menghirup asap pedupaan dan menghembuskan asap setanggi itu keseluruh tubuh mereka yang mengikuti ritual.
Setelah itu, mereka diperintahkan duduk kembali di depan sosok telanjang dada. Para pelaku ritual kemudian bersedekap tangan di dada masing-masing. Mata mereka konsentrasi memandang ujung jari yang didekapkan di dada tadi.
Pemujaan dengan cara bersedekap tangan ini, dilakukan terus-menerus tanpa melakukan gerakan berupa apapun. Maka, tidak lama kemudian, nampak percikan api menimbulkan kilatan-kilatan sinar terlontar dari lampu minyak yang menyinari tubuh-tubuh mereka. Dan pada saat bersamaan, seluruh helai rambut di kepala mereka akan berdiri. Rambut yang berdiri tersebut kemudian bergerak dan memilin secara otomatis sehingga membentuk wujud ular mini.
Ritual ini harus dilakukan tujuh malam berturut-turut. Pada malam ketujuh, pelaku ritual harus menyediakan seekor hewan ternak, biasanya yang dipilih kambing untuk dijadikan korban sihir ular rambut. Kambing itu diikatkan didepan lampu minyak. Jarak antara kambing itu dengan pelaku yang melakukan pemujaan kira-kira 5 meter.
Tapi, khusus pada pemujaan malam terakhir itu, sosok telanjang dada meniupkan nafiri kedalam tubuh pelaku ritual melalui lobang tubuh mereka, seperti lobang telinga, pusar, aurat dan naus. Begitu energi nafiri beraktivitas dalam diri pelaku ritual, seluruh rambut mereka berdiri dan terayun-ayun pada saat berjalin-jalin berwujud ular-ular mini.
Fenomena itu yang terjadi pada malam ke tujuh, ketika ular-ular rambut yang berasal dari jalinan rambut dikepala pelaku ritual, tiba-tiba melesat bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya. Menikam atau menusuk tubuh kambing yang sengaja dijadikan sebagai uji coba. Kambing yang dikorbankan, sebelumnya nampak gelisah ingin dilepaskan dari tali yang mengikatnya, menjadi terdiam tak bergerak.
Dan dalam hitungan detik, kemudian mati oleh bisa ular rambut dalam kondisi kaku.
“Demikian dahsyatnya pusaka karuhun sihir ular rambut yang asli tersebut,” kata Mahipal Ranjit Singh menutup kisahnya.
Aku yang sedari tadi menyimak cerita tamuku ini hanya diam, tidak mampu berkomentar sepatah katapun selain manggut-manggut saja.
“Seperti saya ungkapkan tadi, bahwa sihir ular rambut yang mendatangkan penyakit pada isterimu, bukan yang asli dari Hindustan, melainkan sudah dimodifikasi,” tambah Mahipal Ranjit Singh. “Jadi, masih ada harapan untuk disembuhkan. Meskipun sudah tiba pada puncak krisis,” tandasnya pula.
Tanpa banyak tanya, aku segera menyiapkan apa yang dimintanya. Baskom yang berisi air bersih diletakkan lelaki tua itu didekat isteriku. Kudengar mulutnya melafadzkan beberapa ayat Al-Qur’an, kemudian dilanjutkan dengan mantera-mantera kuno yang sulit kumengerti.
Usai itu, Mahipal Ranjit Singh mengambil sesuatu dari balik jubah putihnya. Rupanya sebentuk piring porselin kecil antik yang kemudian dicelupkannya ke dalam air di baskom.
“Sebaiknya kamu buka baju isterimu,” pintanya kemudian dengan nada sopan dan berwibawa. Meski agak ragu-ragu, aku mematuhi arahannya demi kesembuhan isteri tercinta.
Begitu pakaian Boru Lubis tersingkap, Mahipal Ranjit Singh segera menelungkupkan piring antik tadi di dada isteriku. Apa yang terjadi?
Piring porselin ini langsung lengket ke dada isteriku. Bagaikan terhisap oleh energi magnet yang teramat kuat. Sejurus kemudian terdengar bunyi dentingan piring bersamaan mengendurnya tarikan magnet gaib tadi.
“Kekuatan sihir ular rambut ini, cukup lumayan juga. Meskipun sudah dimodifikasi oleh mereka yang mewariskannya,” desah Mahipal Ranjit Singh sambil membalikkan piring itu.
Aneh, dibalik piring itu nampak lengekt ular-ular rambut. Puluhan ekor jumlahnya, berwarna hitam legam dan wujudnya mirip cacing-cacing tanah. Sementara besarnya tak lebih dari kepala lidi dengan panjang sekitar 30 sentimeter.
Tak lama kemudian isteriku terbangun dari tidurnya. Aneh, dia sudah mampu berkomunikasi dengan baik meskipun dengan suara masih terbata-bata.
“Apa yang telah terjadi denganku, Bang?” tanyanya, kebingungan. Aku tersenyum haru.
“Sudah hampir sebulan kamu mengalami penyakit aneh,” jelasku sambil menahan air mata.
Boru Lubis tertegun cukup lama sambil memperhatikan tubuhnya yang kurus kering. Mungkin ingin memastikan apa yang kukatakan barusan. Kami saling berpelukan dan bertangisan, sehingga aku sendiri lupa pada Mahipal Ranjit Singh, tamu sekaligus dewa penolong kesembuhan isteriku itu.
Kemana perginya lelaki itu? Dia seperti menghilang tanpa jejak. Setelah kususul keluar rumah, aku kecewa dan menyesal karena belum sempat mengucapkan terima kasih padanya.
Namun, di ruang tamu kutemukan selembar kertas yang bertuliskan: “Maaf, saya berlalu tanpa pamit. Jadi saya tidak perlu diberi apapun, bahkan ucapan terima kasih sekalipun. Bersyukurlah dan berterima kasihlah kalian pada Allah SWT. Karena telah menggerakkan saya untuk singgah di rumah kalian yang memang butuh pertolongan. Yang perlu kalian ketahui, bahwa penyakit yang ditimbulkan oleh sihir ular rambut tersebut, dilakukan oleh orang iseng yang ingin mengadakan uji coba keampuhan ilmu yang dimilikinya. Jadi bukan karena ada unsur dendam. Selamat tinggal, dari saya sang pengembara.”
Cukup lama aku tertegun setelah membaca kalimat itu. Siapa sebenarnya lelaki tua yang mengaku sebagai pengembara itu? Apakah lelaki tua yang mengaku bernama Mahipal Ranjit Singh itu merupakan sosok malaikat atau jin muslim yang menyamar? Pertanyaan tersebut hingga kini belum pernah kuperoleh jawabannya.
 
Support :