Tampilkan postingan dengan label Eko Hartono. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Eko Hartono. Tampilkan semua postingan

DISIKSA JIN PESUGIHAN

Penulis : EKO HARTONO



Karena lalai memberikan sesaji dan melanggar pantangan, jin pesugihan itu akhirnya berbalik menyiksanya....

Seorang laki-laki tua kurus berpakaian compang-camping dan bertampang dekil terlihat senyum-seyum sendiri di sudut pasar dekat tempat pembuangan sampah. Setiap orang yang melihatnya pasti sudah tidak menduga kalau lelaki itu orang gila alias tidak waras.

Dugaan itu memang tidak salah. Tapi, siapa sangka bahwa laki-laki yang berpenampilan kotor dan lusuh itu dulunya bekas orang kaya dan pejabat kepala desa di daerah setempat. Penulis baru mengetahui hal itu setelah mendengarkan cerita dari pemilik warung makan tempat Misteri kebetulan mampir.

Dari penuturan Pak Diman, si pemilik warung, terkuaklah kisah tragedi memilukan yang dialami oleh Suryo, nama lelaki tak waras itu. Ternyata penyebab Suryo mengalami sakit jiwa tak lain adalah ulahnya sendiri. Disebutkan, dia bersekutu dengan iblis untuk mendapatkan kekayaan dan jabatan.

"Suryo sangat serakah dan tamak. Dia tidak puas dengan apa yang sudah didapatkannya. Dia ingin mendapatkan yang lebih dan lebih banyak lagi. Akhirnya, dia termakan oleh ambisinya sendiri. Kehidupannya menjadi hancur, menderita, miskin, dan akhirnya...gila. Begitulah keadaannya sekarang," Pak Diman menuturkan.

"Bagaimana ceritanya sampai dia bisa bersekutur dengan Iblis, Pak?" tanya Penulis, ingin tahu lebih jauh lagi.

"Ceritanya panjang. Tepatnya dimulai sejak dia masih muda. Kira-kira tiga puluh lima tahun silam...."

Selanjutnya Pak Diman menceritakan riwayat hidup Suryo yang kelam itu. Berikut ini kisah lengkapnya...:

Saat itu usia Suryo masih sekitar duapuluh tahunan. Sebagai pemuda desa yang hidup miskin, Suryo diliputi keminderan. Dia jadi kurang pede dalam pergaulan. Apalagi wajahnya tergolong tidak tampan. Hanya pas-pasan.

Namun, cinta memang tak pandang bulu. Cinta memang tak pernah mengenal kasta. Tanpa sepengetahuan siapapun, diam-diam Suryo menyimpan perasaan itu pada Yati, gadis cantik yang tinggal satu kampung dengannya.

Tak tahan memendam perasaan, Suryo nekad menyampaikan hasrat hatinya kepada si gadis idaman. Sayangnya, cinta Suryo ditolak mentah-mentah oleh Yati. Bahkan dengan terang-terangan Yati mencemooh dan mengejek Suryo.

"Cah edan! Tidak mau berkaca. Siapa yang mau sama sampeyan. Muka kayak monyet gitu," demikian ujar Yati menghina.

Hati Suryo jadi terluka karenanya. Dengan menyimpan perasaan dendam, dia lalu pergi ke seorang dukun untuk meminta bantuan gaib. Dia meminta ajian pengasihan dari sang dukun agar bisa memelet Yati. Si dukun rupanya tak keberatan membantunya.

Singkat cerita, dengan hanya bermodalkan selembar rambut milik Yati yang diambil Suryo secara diam-diam sebagai media pelet, akhirnya Yati berhasil ditaklukkan. Gadis yang pernah menghinanya itu datang ke rumahnya dan merengek-rengek minta dinikahi.

Yati sungguh jatuh cinta setengah mati pada Suryo. Kejadian yang sangat aneh ini sempat membuat keluarga Yati sedih. Meski mereka tahu Yati seperti terkena guna-guna, namun mereka tak bisa berbuat apa-apa, karena aji pelet yang dilancarkan Suryo tergolong tingkat tinggi. Meski mereka sudah mencari orang pintar untuk mengobati Yati, namuh selalu saja gagal. Untuk memendung aib yang lebih besar lagi, keluarga Yati akhirnya merestui perkawinan Yati dengan Suryo.

Namun, meski menginjinkan Suryo menikahi anaknya, orang tua Yati memberikah sebuah syarat yang harus dipenuhi Suryo. Syarat itu adalah Suryo harus bisa memberikan kehidupan yang lebih baik. Mereka tidak mau Yati hidup miskin dan menderita seperti keluarga Suryo.

"Kalau sampai anakku ditelantarkan dan hidup dalam kemiskinan, maka aku tak segan menceraikan kalian. Aku akan ambil anakku kembali!" demikianlah ancam ayah Yati.

Suryo menyanggupi permintaan mertuanya. Walau sebenarnya cukup berat untuk dipenuhinya. Bagaimana tidak berat, dengan status pengangguran dan orang tua yang miskin, mungkinkah dia bisa memberikan kehidupan yang layak bagi isterinya? Untuk makan sehari-hari saja Suryo masih tergantung pada orangtuanya yang hanya bermata pencaharian petani.

Akhirnya tak ada jalan lain yang bisa ditempuh kecuali mendatangi dukun. Ya, setelah sukses memelet Yati, tampaknya Suryo ketagihan ingin mengatasi kesulitan hidupnya dengan jalan mistik.

Kali ini dia ingin mendapatkan kekayaan dalam waktu relatif singkat. Dia sering mendengar tentang ritual pesugihan yang bisa membuat orang kaya mendadak, walau harus menempuh resiko tidak ringan. Suryo akan menempuh jalan itu.

Dia kembali mendatangi dukun yang pernah menolongnya. Tapi tidak seperti saat pertama datang dulu, kali ini sang dukun sempat memperingatkannya.

"Maaf. Nak Suryo. Bukannya aku tidak ingin membantumu, tapi hal ini mengandung resiko yang berat. Kamu harus mempersembahkan tumbal dari keluargamu sendiri sehingga bisa tercapai keinginanmu itu. Selain itu kamu juga harus bisa merawat dengan telaten kekuatan gaib yang akan membantumu mencarikan harta kekayaan. Apakah kamu sanggup menghadapinya?" kata sang dukun.

"Saya sanggup, Ki. Saya capek hidup jadi orang miskin. Saya siap menghadapi resiko apa pun juga!" sahut Suryo dengan mantap.

"Tapi, Nak Suryo. Kekuatan gaib yang membantu mencarikan kekayaan ini tergolong ganas dan tingkat tinggi. Jika sampai engkau membuatnya kecewa, semisal tidak memberikan sesaji tepat waktu atau melanggar pantangan yang harus dijalani, bisa-bisa makhluk gain itu akan mengamuk dan berbalik menyakitimu."

"Saya siap menjalaninya dengan baik, Ki!" tegas Suryo.

Sang dukun termenung sejenak. Karena Suryo tampaknya sudah sangat mantap, akhirnya sang dukun mengabulkan permintaannya.

"Baiklah. Nanti saya akan tuntun Nak Suryo mendapatkan aji pesugihan itu," katanya setelah diam untuk beberapa saat lamanya.

Begitulah. Dengan tuntunan sang dukun, Suryo mulai melakukan beberapa ritual untuk memanggil kekuatan gaib yang bisa membantu mendatangkan kekayaan dalam waktu singkat.

Salah satu ritual yang harus ditempuh Suryo adalah keharusan menjalani lelaku di tengah hutan yang sangat wingit. Namun, karena tekadnya yang sudah bulat dia tidak merasa gentar walau sedikitpun.

Setelah menjalankan ritual pesugihan itu, Suryo kembali ke kampug halamannya. Sesampainya di rumah, Suryo mendapat kabar buruk, ayahnya meninggal dunia. Kematian ayahnya yang terkesan wajar, disadari Suryo sebagai bentuk tumbal pertama yang telah dipersembahkannya. Hatinya sedih juga. Namun segera disingkirkan perasaan itu.

Selanjutnya, Suryo menjalani hidup seperti biasa, seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Walau sekarang dia sudah memiliki ilmu pesugihan, bukan berarti uang akan datang begitu saja. Dia tetap harus bekerja sebagai jalan untuk mendatangkan kekayaan. Pekerjaan yang dijalaninya adalah berdagang. Mula-mula dia berdagang bakso keliling.

Tapi tidak seperti kebanyakan pedagang bakso lain yang begitu susah mengais rejeki, Suryo sebaliknya. Dagangannya selalu laris. Bahkan kemudian berkembang menjadi besar. Jika tadinya berdagang memakai gerobak, kini sudah membuka warung sendiri.

Kehidupan Suryo pun berubah menjadi lebih berada. Banyak orang yang kagum dan takjub dengan perkembangan hidup Suryo yang begitu pesat. Dalam waktu relatif tidak lama, Suryo bisa merubah hidupnya sebagai orang kaya. Dia bisa membeli tanah, membangun toko, membangun rumah, membeli perabotan mewah, dan membeli kendaraan.

Namun perubahan hidup Suryo itu bukan tanpa kecurigaan orang-orang di sekitarnya. Mereka mencurigai kekayaan yang didapat Suryo dilakukan dengan cara tidak wajar. Hal ini dibuktikan dengan beberapa kejadian aneh yang melingkupi hidup Suryo. Setiap kali isterinya, Yati melahirkan anak, selalu bayinya mengalami kematian. Hanya satu orang anak Suryo yang hidup, tapi anak itu mengalami cacat mental. Para warga menduga, anak-anak Suryo yang mati itu digantikan sebagai tumbal. Untuk

menghilangkan kecurigaan orang-orang, Suryo kemudian mengambil anak orang lain untuk dijadikan anak angkat. Biasanya bayi orang miskin yang tidak kuat membayar biaya persalinan. Anak-anak itu ditampung di rumahnya. Dia menjanjikan akan merawat dan menyekolahkan mereka hingga dewasa.

Ada tiga orang anak angkat yang diasuh oleh Suryo. Karena mereka tidak mengalami nasib naas seperti anak kandung Suryo, dugaan menumbalkan anak pun akhirnya sirna.

Namun kecurigaan masyarakat tidak hilang. Beberapa dari mereka ada yang memergoki Suryo melarung sesaji di sebuah sungai. Ada juga yang memergoki makhluk halus besar hitam di belakang rumah Suryo. Mereka mengira makhluk halus itu sebagai peliharaan Suryo. Sayangnya, tidak ada seorang pun yang berani mengusiknya.

Sementara itu Suryo yang telah hidup mapan, dengan memiliki banyak usaha mulai dari pertokoaan, armada angkutan, perdagangan hasil bumi, dan tanah perkebunan yang cukup luas, merasa tidak puas dengan apa yang sudah dimilikinya.

Setelah kekayaan didapat, kini ada lahan lain yang ingin dinikmatinya, yakni kedudukan sebagai pejabat. Kebetulan di desa tempat tinggalnya ada pencalonan kepala desa, Suryo ikut mencalonkan diri.

Dengan mengandalkan kekayaannya sebenarnya dia bisa membeli suara warga, namun Suryo masih kurang percaya diri. Dia tidak ingin kalah dari calon lain, apalagi dia menyadari hanya berpendidikan SMP. Dia takut kalah dari calon-calon lain yang berpendidikan tinggi.

Akhirnya dia kembali mencari jalan pintas dengan menemui dukun andalannya. Tapi sekali lagi sang dukun sempat menghalangi keinginannya itu.

"Buat apa lagi kamu menjagokan diri jadi kepala desa, Nak Suryo. Bukankah dengan kehidupan sekarang kamu sudah cukup mapan dan senang. Gaji kepala desa tidak ada seujung kukunya dari penghasilanmu sebagai pengusaha?" cetus sang dukun.

"Aku bukan mengejar kekayaan lagi, Ki. Aku menginginkan kedudukan terhormat di tengah masyarakat. Dengan menjadi kepala desa, aku akan semakin disegani dan dihormati. Jadi tolonglah aku, Ki?" desak Suryo.

"Tapi aku khawatir kamu tidak bisa merawatnya dengan baik, Nak. Untuk merawat kekuatan gaib ilmu pesugihan saja kamu sudah cukup repot, bagaimana nanti kalau ditambah kekuatan gaib lain yang digunakan untuk mengangkat derajatmu sebagai pejabat kepala desa? Apakah kamu sanggup?"

"Aku sanggup, Ki!" jawab Suryo mantap.

Karena Suryo terus memaksa, akhirnya sang dukun mengabulkan.

Memang, tampaknya Suryo sudah dikuasai ambisinya. Dia sangat tamak dan rakus. Dia ingin mendapatkan semuanya. Setelah mendapatkan isteri yang cantik, kekayaan, kini giliran..jabatan.

Setelah melakukan ritual dan laku untuk beberapa saat, akhirnya Suryo berhasil mendapatkan apa yang diimpikan. Tidak seperti kekuatan gaib untuk mendatangkan kekayaan, kekuatan gaib yang membantu meraih jabatan ini tidak membutuhkan tumbal apa-apa. Hanya saja Suryo harus rajin memberi sesaji dan merawatnya, karena kekuatan gaib ini juga cukup kuat dan ganas.

Saat dilangsungkan Pilkades, Suryo berhasil menang dengan angka mutlak. Kini dia bisa menduduki tempat terhormat sebagai orang nomor satu di desanya. Suryo bisa menikmati kejayaan sebagai orang kaya, terhormat, dan memiliki jabatan bergengsi. Tidak ada orang seberuntung Suryo.

Namun kehidupan tidak selamanya berlangsung lancar. Kehidupan yang dijalani Suryo akhirnya berbalik seratus delapanpuluh derajat. Mungkin karena terlalu terlena dibuai kenikmatan duniawi, Suryo menjadi lalai. Dia tak lagi memperhatikan kekuatan gaib yang menjadi beking utamanya. Dia lupa melakukan ritual memberi sesaji, bahkan ada beberapa pantangan yang sempat dilanggarnya.

Suatu hari Suryo mendadak jatuh sakit. Tapi anehnya, sakit yang dideritanya tidak bisa terdeteksi oleh diagnosa dokter. Obat-obatan yang diberikan pun tidak mampu meredam sakit luar biasa yang mendera tubuhnya.

Suryo merasakan badannya seolah panas dibakar api dan perih seperti ditusuk duri-duri tajam. Mungkin itulah bentuk siksaan dari kekuatan gaib yang marah padanya. Sementara di sisi lain, kedok Suryo yang telah menggunakan ilmu pesugihan diketahui masyarakat. Hal ini bermula ketika salah satu anak angkatnya kedapatan mati secara tidak wajar. Orang-orang mendapati di dalam salah satu ruang di rumah Suryo terdapat aneka macam ubo rampe yang biasa digunakan untuk acara sesembahan roh halus.

Tak pelak lagi, hal ini menimbulkan kemarahan masyarakat. Mereka merusak rumah Suryo. Sementara Suryo sendiri mengungsi ke tempat lain.

Kejatuhan Suryo tinggal menunggu waktu. Satu persatu usahanya bangkrut dan hartanya habis karena digunakan untuk mengobati penyakitnya. Malangnya, Yati, isterinya yang tiba-tiba tersadar dari pengaruh pelet kembali kepada orang tuannya dan menuntut cerai. Sementara ana-anak angkat Suryo kembali kepada keluarganya masing-masing. Mereka ngeri setelah mengetahui Suryo bersekutu dengan setan untuk mendapatkan kekayaan.

Akhirnya, Suryo jatuh miskin dan hidup terlunta-lunta. Dia kehilangan jabatannya sebagai kepala desa, karena sudah tidak bisa melaksanakan tugasnya dengan baik. Dia juga kehilangan seluruh harta kekayaannya.

Untunglah, ada seorang Kyai berilmu yang menolongnya melepaskan siksaan jin peliharaannya. Tapi sayang, kesembuhan Suryo tidak berlangsung seratus persen. Dia berubah tidak waras alias edan. Mungkin itu sebagai karma atau balasan atas perbuatannya bersekutu dengan setan....

Begitulah kisah yang dialami Suryo. Semoga kejadian nyata ini dapat memberikan pelajaran berharga pada kita semua, bahwasanya kita jangan sekali-kali berhubungan dengan Iblis maupun pengikutnya seperti jin dan bangsa halus lainnya. Sebab, sudah jelas bahwa Iblis menyesatkan hidup manusia. Wallahu'alam bissawab!

BERCINTA DENGAN ROH NENEK PEWARIS ILMU SUSUK WIJAYAKUSUMA

Penulis : EKO HARTONO


Namanya Susuk Aji Wijayakusuma. Konon, ilmu ini bisa menjadikan pemakainya menjadi awet muda dan mampu memikat laki-laki. Seperti halnya kembang Wijayakusuma yang senantiasa mekar di kala bulan purnama tiba....

Setiap kali tiba bulan purnama, hati Pardi serasa disiram air bunga. Aroma keharumannya begitu memabukan jiwa, membuat Pardi serasa menemukan gairah muda yang menggelora. Pada saat seperti itulah dia bisa bertemu dan bercinta dengan gadis muda nan cantik bernama Yani.
Tapi anehnya, gadis yang dikencaninya itu tak pernah dikenal sebelumnya dan tidak diketahui asal-usulnya. Baru beberapa waktu kemudian dia mengetahui kalau ternyata wanita yang bercinta dengannya itu tak lain adalah penjelmaan roh gaib. Lebih gilanya lagi, wanita gaib itu tak lain adalah arwah neneknya sendiri.
Bagaimana hal itu bisa terjadi? Ikuti kisah video uji nyali berikut ini:
Waktu itu Pardi baru pulang dari kondangan di tempat saudaranya di desa tetangga. Dengan berjalan kaki, Pardi sendirian menyusuri jalan desa tak beraspal yang sepi dan senyap. Untung malam itu bulan purnama bertengger di atas langit. Sehingga Pardi tidak perlu membawa senter untuk menerangi perjalanannya.
Saat melintas di sebuah bukit kecil dekat persawahan, tiba-tiba Pardi melihat sosok seorang perempuan berambut panjang duduk di atas sebuah batu besar. Tadinya Pardi mengira perempuan itu peri atau kuntilanak. Tapi setelah dilihatnya kaki perempuan itu menginjak tanah, hati Pardi jadi tenang.
Dia lalu mendekati perempuan itu. Ketika sudah sampai di hadapannya tampaklah dengan jelas wajah perempuan itu diterpa cahaya rembulan. Ternyata, dia masih muda dan cantik. Pardi menelan air liurnya, merasa takjub melihat kecantikan si wanita. Dasar Pardi mata keranjang, dia jadi penasaran dan ingin berkenalan dengan gadis itu.
"Siapa namamu? Kenapa malam-malam berada di tempat ini sendirian? Apa kamu tidak takut?" pertanyaan ini meluncur deras dari mulut Pardi.
"Namaku Yani. Aku sedang menikmati indahnya bulan purnama. Aku tidak takut berada di sini sendirian, karena aku sudah sering berada di sini setiap bulan purnama," jawab gadis itu dengan nada menggemaskan.
"Aku belum pernah melihatmu sebelumnya. Sepertinya kamu bukan warga kampung ini. Kamu tinggal dimana?"
"Aku memang bukan warga sini. Aku tinggal di pinggiran hutan bersama si Mboku, namanya Mbok Marijem. Beliau suka mencari tanaman dan akar hutan untuk dijadikan bahan jamu. Sampenyan pasti pernah mendengar namanya."
Pardi diam dan merenung sejenak. Rasanya dia belum pernah mendengar nama Mbok Marijem yang tinggal di pinggiran hutan itu. Tapi biar tidak mengecewakan gadis itu, dia pun mengangguk-angguk. Bagi Pardi tak peduli apakah dirinya kenal atau tidak dengan Mbok Mariyem, yang penting dia bisa berkenalan dan dekat dengan Yani.
"Ya...ya...aku mengenalnya!" jawab Pardi dengan mantap. "Oh ya, boleh aku ikut duduk di sini menemanimu?" katanya lagi.
"Silahkan, Mas. Aku malah senang ada yang menemani. Nama Mas sendiri siapa sih ?" sahut Yani sambil tersenyum penuh arti.
"Namaku Pardi. Omong-omong, nanti kekasih Dik Yani marah melihat aku duduk berdua denganmu?"
"Aku belum punya kekasih kok, Mas."
"Ah, masak gadis secantik kamu belum punya pacar?"
"Sungguh, Mas! Gadis kampung macam aku mana ada yang mau?"
"Ah, siapa bilang? Aku mau kok jadi kekasih Dik Yani!" rayuan gombal Pardi mulai keluar.
"Jangan ah! Nanti isteri Mas Pardi marah?" sahut Yani.
"Aku belum punya isteri kok !" ujar Pardi dengan mantap.
Rupanya Yani percaya dengan ucapan Pardi. Atau pada dasarnya dia gadis yang masih polos dan lugu. Ketika Pardi mencoba duduk merapat, Yani tidak menolak. Hal ini membuat Pardi semakin berani. Dia lalu memegang tangan Yani dan membelai rambutnya. Seperti dua insan remaja yang sedang dimabuk asmara keduanya bercengkerama dan bercanda ria.
Pertemuan pertama pada malam itu sangat berkesan dalam hati Pardi. Dia lalu ingin melanjutkan kembali pertemuannya dengan Yani. Tapi sayangnya, Yani menolak Pardi datang ke rumahnya. Soalnya Yani mengaku nanti akan dimarahi oleh si Mboknya. Yani hanya mau bertemu dengan Pardi di bukit itu pada malam hari.
Pardi pun menuruti permintaan Yani. Lagi pula dia sendiri juga tak mau pertemuannya dengan Yani diketahui orang lain, terlebih ketahuan isterinya.
Maka, pada malam kedua Pardi dan Yani kembali bertemu di bukit ujung desa. Mereka bercengkerama di bawah sorot sinar bulan purnama. Hubungan keduanya yang begitu dekat seperti sepasang kekasih. Bahkan Pardi yang sudah tak kuasa menahan hasratnya mulai berani menggerayangi bagian tubuh Yani yang sensitif.
Pardi membisikan ajakan untuk bermain cinta. Pucuk dicinta ulam tiba, Yani mengiyakan ajakan Pardi. Dia menurut saja ketika tangannya dituntun memasuki gubuk kecil di pinggiran bukit. Keduanya lalu tenggelam dalam permainan cinta yang dahsyat dan bergelora.
Pardi tak menyangka kalau Yani memiliki gairah seks yang menggebu-gebu. Rasanya seluruh persendian Pardi seperti mau copot dan tenaganya seperti terkuras habis saat bercinta dengan Yani. Hampir semalam suntuk mereka mereguk nikmatnya bercinta.
Ketika malam sudah mendekati waktu subuh, Pardi dan Yani cepat-cepat bergegas pulang. Pardi tak ingin hubungan gelapnya dengan Yani diketahui orang.
Yani sendiri tidak bisa setiap malam melakukan kencan rahasia dengan Pardi. Dia hanya mau bertemu dan bercinta dengan Pardi setiap kali bulan purnama tiba, yakni sekitar antara tanggal 14, 15, 16, 17, dan 18 menurut Kalender Jawa.
Meski hanya singkat saja, Pardi merasa cukup puas. Yang penting dia bisa berkencan dan bercinta dengan Yani. Dia seakan mendapatkan sensasi luar biasa saat bercinta dengan Yani, bahkan lebih dari yang dia dapatkan saat bercinta dengan isterinya sendiri. Pardi jadi merindukan dan tak sabar menanti bulan purnama tiba.
Perselingkuhan Pardi dengan Yani ini memang tidak pernah dipergoki oleh siapa pun. Tapi Minah, isterinya, merasa curiga dengan gelagat suaminya yang aneh. Setiap malam suaminya pergi dan pulang ketika hari sudah Subuh. Jika ditanya kemana semalam dan tidur dimana, Pardi menjawab dengan enteng saja kalau dia semalam tidur di rumah teman atau diajak teman mencari kodok.
Minah sebenarnya tak percaya dengan jawaban suaminya. Dia curiga Pardi telah berselingkuh dengan perempuan lain. Sayangnya, Minah tak punya bukti kalau suaminya berhubungan gelap dengan seorang perempuan. Sehingga dia pun tak bisa menuduh sembarangan. Minah hanya bisa menumpahkan kekesalan dan kejengkelannya pada suaminya. Kejengkelan Minah bukan lantaran dia ditinggal tidur sendirian di rumah, tapi karena dia sedang repot mengurus neneknya yang sakit.
Minah merasakan kepergiaan suaminya setiap malam seolah untuk menghindari kewajiban mengurus orang tua itu. Minah kesal karena suaminya tak peduli pada keadaan neneknya.
Sudah hampir setahun ini Minah mengurus Mbok Ijah, neneknya yang tua dan sakit. Tiap kali dia merawat dan menjaga wanita yang sudah berusia di atas delapan puluh tahun itu. Kondisi Mbok Ijah terbilang sudah sekarat. Dia sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi dan hanya terbaring di atas ranjang. Makan, minum, kencing, dan berak di tempat. Tubuhnya sudah tinggal kulit pembalut tulang.
Untuk ukuran orang biasa, mungkin sudah jauh hari dia meninggal. Dokter yang pernah memeriksanya pun menyatakan kalau Mbok Ijah sudah tak mungkin disembuhkan. Kondisi organ dalam tubuhnya sudah rusak total. Dia hanya tinggal menunggu takdir menjemputnya.
Tapi anehnya, nafasnya masih terus mengalir dan bertahan hidup untuk beberapa lama. Konon, ini terjadi karena Mbok Ijah memiliki ilmu kesaktian yang belum dilepas dari tubuhnya. Dia menyimpan semacam jimat atau susuk yang pernah berdaya guna di masa mudanya. Simpanan ilmu kesaktian itu yang tampaknya menghalangi perjalanannya kembali ke alam baka.
Dengan kondisi Mbok Ijah yang demikian, tentu saja membuat susah Minah. Hanya dirinya satu-satunya keluarga dekat Mbok Ijah. Sudah berbagai cara dilakukan Minah untuk mengobati neneknya. Mulai dari dokter, dukun, sinshe, sampai tabib. Bahkan Minah meminta bantuan paranormal atau dukun yang bisa membantu melapaskan simpanan ajian neneknya.
Tapi, tak ada satu pun dari mereka yang sanggup mengeluarkan jimat yang tersimpan dalam tubuh nenek itu. Jimat itu tergolong ilmu kesaktian tingkat tinggi. Namanya Susuk Aji Wijayakusuma. Konon, ajian ini bisa menjadikan pemakainya menjadi awet muda dan mampu memikat laki-laki. Seperti halnya kembang Wijayakusuma atau bunga sedap malam yang senantiasa mekar di kala bulan purnama tiba.
Begitu pula dengan Ajian Wijayakusuma yang akan mengalami pembaharuan setiap tiba bulan purnama. Ajian Wijayakusuma akan menampakkan kekuatan aura dan kesempurnaannya pada pertengahan bulan purnama. Pada saat itu Ajian Wijayakusuma akan bekerja dan menjadikan pemakainya terlihat lebih muda.
Seorang peranormal menyarankan agar setiap tiba bulan purnama, Mbok Ijah dijauhkan dari kaum laki-laki, aroma kembang, suara gamelan, dan terpaan cahaya lampu atau bulan. Sebab, semua itu berhubungan erat dengan kehidupan Mbok Ijah di masa lalu sebagai penari Tayub atau Tledek. Dia akan bisa menemukan kembali energi yang membuatnya tetap bertahan hidup bila bersentuhan dengan salah satu dari yang disebutkan itu. Karenanya Mbok Ijah harus dikurung atau diisolasi dalam sebuah ruang kosong dan gelap sebagai simbol kematian untuk memudahkan arwahnya kembali kepadaNya.
Minah menuruti saran itu. Namun ternyata hal itu tak juga berhasil membuat neneknya mati. Bahkan setelah melewati bulan purnama kondisinya kembali segar bugar. Sepertinya si nenek mendapatkan nafas baru yang memperpanjang kehidupannya. Tubuhnya yang sudah lemah, pucat, dan matanya yang cekung mengatup berubah berbinar dan bercahaya. Kelopak matanya kembali membuka dan ada sinar di dalam bola matanya, seolah menyiratkan kehidupan di sana.
Minah pun dibuat bingung dan pusing. Bukannya dia tak senang neneknya masih hidup, tapi Minah merasa kasihan pada keadaannya. Andai saja membunuh tidak berdosa, sudah dicekiknya leher wanita tua itu!
Untuk kesekian kali Minah kembali meminta bantuan orang pintar. Kali ini seorang Kyai yang berilmu agama tinggi, namanya Kyai Anshari. Oleh sang Kyai, Mbok Ijah dibacakan surat Yasin dan doa-doa dari ayat suci Al-Qur'an.
Hampir setiap malam Kyai Anshari beserta murid-muridnya melakukan pembacaan doa di hadapan Mbok Ijah yang dibaringkan di tengah ruangan. Semua keluarganya diminta ikut membaca ayat-ayat suci untuk memudahkan jalan kematian Mbok Ijah.
Dan tampaknya konsisi Mbok Ijah memang sudah sangat kritis dan menjelang dekatnya ajal. Hal itu semakin terlihat saat menjelang tibanya bulan purnama. Kyai Anshari dan murid-muridnya semakin mengintensifkan bacaan do'anya.
Sementara itu Pardi mulai gelisah. Dia sudah tak sabar lagi ingin segera menemui Yani. Malam ini gadis itu tentu sudah menunggunya di dalam gubuk di atas bukit ujung desa. Mereka bisa kembali bercinta seperti bulan purnama lalu.
Dengan dalih mau kencing, Pardi minta diri keluar dari ruangan tempat dilakukannya ritual pembacaan do'a. Dia pura-pura menuju ke sumur. Ketika tak ada orang melihatnya, dia langsung menyelinap pergi. Tapi rupanya dia tidak sadar kalau diam-diam Kyai Anshari mengintainya dari belakang.
Pardi sudah sampai tiba di bukit tempat dia biasa berkencan dengan Yani. Tapi dia tidak melihat Yani berada di sana. Biasanya Yani suka duduk di atas sebuah batu. Pardi sudah mencoba mencarinya dengan mengelilingi bukit, tapi batang hidung Yani tak juga ditemukan.
"Yaniii...Yaniii...!?" serunya memanggil ke segala penjuru arah. Tak ada sahutan, kecuali suaranya sendiri yang menggema di udara.
Tiba-tiba dari balik sebuah pohon muncul Kyai Anshari. Kontan saja Pardi kaget dan heran.
"Pak Kyai? Bagaimana Bapak bisa sampai disini?" tanya Pardi gugup.
"Aku curiga dengan perilakumu, karena itu aku mengikutimu. Aku tahu, kamu sedang mencari seorang gadis bernama Yani. Tapi malam ini dia tidak mungkin bisa datang," jawab Kyai Anshari kalem.
"Bagaimana Pak Kyai bisa tahu hal itu?" protes Pardi.
"Karena sebenarnya yang kamu temui itu bukan manusia. Dia penjelmaan roh Mbok Ijah. Itulah kenapa Mbok Ijah selama ini mampu bertahan hidup. Sebab, dia selalu mendapatkan energi setiap kali berhubungan intim denganmu. Dia menyedot sebagian inti kehidupan yang ada dalam tubuhmu. Tapi sekarang dia tidak akan bisa keluar lagi dari raganya, karena kami telah memagarinya dengan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Dia telah kami kurung dalam pagar gaib!" tutur Kyai menerangkan.
"Bapak jangan mengada-ada! Mana mungkin Mbok Ijah bisa berubah muda dan cantik. Dia kan sudah tua dan sekarat. Ini mustahil!" bantah Pardi, tak percaya mendengar keterangan Kyai Anshari.
"Kalau kamu tak percaya, ayo ikut aku!" sang Kyai lalu menyeret tangan Pardi mengajaknya pulang ke rumah.
Sesampai di rumah masih terlihat orang-orang duduk di ruang tengah sedang membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an. Tubuh Mbok Ijah juga masih tergolek di atas bale-bale bambu. Kyai Anshari mengajak Pardi mendekati tubuh Mbok Ijah. Dia mengangkat tangannya dan mengusap wajah Mbok Ijah yang keriput.
Ajaib, wajah itu seketika berubah muda dan cantik. Pardi pun terperangah kaget. Walau hanya sekilas perubahan itu terlihat, namun sudah dapat dipastikan bahwa itu adalah wajah Yani, gadis yang selama ini dikencani dan diajaknya bercinta di atas bukit. Karena tak kuat menahan goncangan dalam jiwanya, Pardi jatuh pingsan.
Keesokan harinya, Mbok Ijah menghembuskan nafas yang terakhir. Sementara Pardi masih terbaring lemah dan sakit. Tampaknya dia masih sangat shock dan belum bisa menerima kejadian yang dialaminya. Dia tak pernah menyangka bila yang diajaknya bercinta adalah nenek mertuanya sendiri.
Bila tidak segera mendapat pertolongan, sakit Pardi bisa bertambah parah. Karena dia telah kehilangan banyak energi dalam tubuhnya dan mengalami gangguan psikis. Tapi untunglah, berkat pengobatan dan terapi yang dilakukan Kyai Anshari perlahan namun pasti, Pardi kembali bisa normal dan sehat. Pardi kini telah berubah menjadi orang alim. Dia tak mudah lagi tergoda oleh perempuan.

ARWAH GENTAYANGAN YANG MINTA PULANG

Penulis : EKO HARTONO


Gara-gara salah menguburkan mayat korban kecelakaan, warga kampung itu dihebohkan dengan peristiwa video uji nyali. Hampir setiap malam arwah itu mengetuk-ngetuk pintu rumah penduduk. Dia minta dipulangkan....

Peristiwa video uji nyali yang sangat menghebohkan ini terjadi di sebuah desa di wilayah Kabupaten Wonogiri, beberapa waktu yang lalu. Meski sudah cukup lama kejadiannya, namun jika mengingatnya orang-orang di desa itu jadi ngeri. Mungkin juga bagi para Pembaca yang mengikuti kisahnya berikut ini.
Ketika itu, warga desa dimaksud diteror oleh kehadiran arwah gentayangan. Sang arwah hampir setiap malam mengetuk pintu-pintu rumah penduduk. Namun dari kejadian ini akhirnya warga menjadi tahu, telah terjadi kesalahan dalam menguburkan jenazah dimaksud.
Kejadian ini bermula ketika Masroni (nama samaran), hendak berangkat merantau ke Jakarta. Sebagaimana pemuda-pemuda lainnya di desa itu, Masroni ingin mengadu nasib di Ibu Kota. Hanya dengan berbekal ijazah SMP, Masroni berangkat ke Jakarta menggunakan angkutan bus. Sebelum berangkat, kedua orangtuanya memberikan banyak wejangan.
"Hati-hati ya, Le. Di kota itu keadaannya tidak sama dengan di desa. Jangan mudah terpedaya dan tertipu oleh bujuk rayu orang. Cari pekerjaan yang halal, jangan jadi pencuri atau maling!" demikian ujar Saroji, ayahnya.
"Kalau bawa uang juga hati-hati. Di kota banyak copet dan jambret!" sambung emaknya.
Masroni hanya mengangguk-angguk mendengar semua nasehat orangtuanya. Dia pun akhir berangkat dengan dilepas oleh kedua orangtuanya dengan deraian air mata. Maklumlah, baru kali ini Masroni pergi jauh dari orangtua. Namun begitu, Saroji dan isterinya berusaha tetap tabah. Mereka mendoakan anaknya agar diberi keselamatan.
Malangnya, baru sehari Masroni pergi, tiba-tiba keesokan harinya datang kabar bahwa Masroni meninggal karena kecelakaan. Dia tewas terlindas truk di daerah Semarang. Berita ini disampaikan langsung oleh petugas kepolisan yang menangani kasus kecelakaan itu. Mereka mengetahui alamat Masroni dari dompet yang ada di saku celananya. Di dalam dompet itu terdapat KTP dan tanda pengenal Masroni lainnya. Bahkan uang yang dibawanya dari rumah masih utuh.
Mendengar kabar tragis ini, kontan saja kedua orang tua Masroni shock bukan main. Emaknya menjerit histeris dan langsung jatuh pingsan. Sementara Saroji terduduk lemas, tak mampu lagi berdiri. Anak laki-laki yang menjadi tumpuan harapan mereka telah tiada.
Karena jenazah Maroni masih berada di rumah sakit yang ada di Semarang, maka polisi mengajak salah seorang keluarga Masroni untuk mengambilnya sekaligus untuk proses administrasi. Sarijan, adik Saroji, diutus oleh keluarga besar untuk mengambil jenazah Masroni. Ketika sampai di rumah sakit bersangkutan, Sarijan dibawa ke kamar mayat. Dia diberi kesempatan menengok jenazah Masroni yang sudah dimandikan dan ditutupi kain kafan.
Berhubung kondisi mayat Masroni yang terluka cukup parah, kepalanya remuk tak berbentuk, membuat Sarijan tidak bisa mengenalinya lagi. Sarijan pun tak bisa melihatnya lama-lama, karena hatinya miris, ditambah rasa takut. Tapi dia meyakini mayat laki-laki itu adalah keponakannya. Lagipula, dari bukti dompet yang ditemukan polisi sudah jelas bahwa mayat itu adalah jenazah Masroni.
Setelah menyelesaikan administrasi, jenazah Masroni dibawa ke kampung halamannya dengan menggunakan mobil ambulans. Sesampai di rumah jenazah Masroni yang sudah dimandikan, dikafani dan dimasukkan dalam peti mati di rumah sakit langsung diletakkan di tengah ruangan. Mengingat kondisi jenazah yang sangat parah, tidak seorang pun diperkenankan melihatnya. Bahkan orang tua Masroni hanya diberikan kesempatan melihat sekilas saja melalui celah peti mati. Karena dikhawatirkan akan menimbulkan shock berat. Mereka hanya tinggal mensholatinya saja.
Tanpa menunggu waktu lama, jenazah Maroni kemudian dikuburkan di pemakaman desa. Satu persatu pelayat yang mengantar kepergian Masroni kembali ke rumah masing-masing. Tapi pembicaraan tentang kematian Masroni akibat kecelakaan masih berlangsung di tengah warga kampung. Mereka tampaknya masih dibuat kaget dan tak percaya bila Masroni begitu cepat pergi.
Mulai malam sejak kematian Masroni hingga malam ke tujuh, di rumah Saroji diadakan acara tahlilan. Warga kampung banyak yang datang untuk mengikuti tahlilan. Mereka tidak takut dan tidak diliputi perasaan apa-apa, karena bagi mereka sudah hal biasa menghadapi acara kematian.
Tapi ketika menginjak malam ketiga sejak kematian Masroni, terjadi sebuah peristiwa yang sangat menghebohkan. Beberapa warga di kampung itu mengaku ditemui arwah Masroni. Bahkan, Saroji mengalami kejadian yang amat menyeramkan. Dia didatangi arwah anaknya.
Malam itu, setelah usai tahlilan, beberapa warga sudah pada pulang. Saroji lalu menutup pintu dan jendela. Isteri dan dua anaknya yang lain sudah berangkat tidur di kamar.
Tidak seperti biasanya perasaan Saroji malam itu tidak enak. Dia tidak bisa memajamkan matanya untuk tidur. Dia lalu duduk-duduk di ruang tengah sambil mengisap rokok lintingan.
Tiba-tiba, terdengar suara ketukan pintu depan. Saroji pun kaget. Dia merasa aneh, karena tengah malam begini ada yang datang bertamu. Tapi mungkin itu orang yang tadi ikut tahlilan dan barangnya ketinggalan, pikirnya.
Tanpa menaruh prasangka apa-apa, Saroji lalu beranjak ke depan untuk membukakan pintu. Sebelum membuka pintu, Saroji sempat menanyai orang yang di luar.
"Sampeyan siapa?"
"Aku, Pak. Aku mau pulang...!" jawab satu suara.
Saroji mengerutkan alisnya. Dia merasakan ada yang aneh dari nada suara orang di luar. Karena penasaran, dia segera membuka pintu. Betapa kagetnya dia, melihat sosok pocongan yang hanya memperlihatkan separo raut wajahnya. Akibatnya, dia tak mampu berkata-kata, karena lidahnya terasa kelu. Seluruh sendri tulangnya seakan mau copot. Sebelum dia jatuh pingsan, sempat terdengar ucapan pocongan itu, "Tolong pak. Antarkan aku pulang. Aku tidak mau disini...."
Ketika Saroji siuman, dia sudah mendapati dirinya berada di atas pembaringan dikerubuti isteri dan anaknya. Mereka terlihat sangat cemas. Mereka bertanya padanya, apa yang sebenarnya terjadi sampai dirinya pingsan di depan pintu.
Saroji enggan menceritakan apa yang telah menimpa dirinya, karena dia khawatir isterinya bakal tambah shock bila tahu dirinya semalam di datangi arwah Masroni. Demi menjaga perasaan keluarganya, Saroji tidak menceritakan hal sebenarnya. Dia mengaku kelelahan karena tidak pernah istirahat.
Tapi rupanya kejadian seperti malam itu bukan dirinya sendiri yang mengalaminya. Beberapa warga lainnya yang tinggal di kampung itu juga mengaku telah didatangi arwah Masroni.
Modus yang digunakan oleh arwah Masroni hampir sama, yakni mengetuk pintu-pintu rumah warga. Dalam keadaan masih memakai kain kafan yang membungkus tubuhnya, Masroni merintih dan meratap. Dia meminta dirinya dipulangkan.
Kontan saja peristiwa ini membuat seisi desa jadi heboh. Kabar tentang arwah penasaran Masroni tersebar kemana-mana. Warga desa jadi takut untuk keluar rumah pada malam hari. Mereka tidak berani membukakan pintu bila ada yang mengetuk. Mereka benar-benar dicekam kengerian dan ketakutan.
Kondisi ini tentu saja membuat sedih keluarga Saroji. Mereka tak mengerti, kenapa arwah Masroni jadi penasaran dan mengganggu warga desa. Padahal seumur hidupnya Masroni tidak pernah berbuat cacat cela. Dia juga anak yang rajin bekerja.
Apakah karena dia mati dalam keadaan tragis, terlindas ban truk, sehingga arwahnya menjadi tidak tenang, demikian pikir Saroji. Suasana menegangkan dan mencekam yang menyelimuti warga desa mencapai puncaknya tatkala pagi yang masih berselimut kabut, Masroni muncul di jalan desa. Dia berjalan sambil menenteng tas ransel menuju ke rumahnya. Banyak warga yang tercengang dan lari ketakutan. Mereka bersembunyi di dalam rumah masing-masing.
Sikap para tetangga yang tampak ketakutan melihat kehadirannya itu membuat Masroni jadi heran. Sesampai di rumah, Masroni juga menghadapi hal sama. Orang tua dan saudara-saudaranya tampak ketakutan. Mereka berteriak-teriak memintanya pergi.
"Ayo, pergi! Jangan gangguan kami!" seru Saroji, ketakutan
"Lho, Pak, Bu! Ada ada apa ini sebenarnya? Kenapa semua orang jadi ketakutan melihat saya? Saya ini Masroni, Pak. Saya baru datang dari Jakarta," tegas anak muda itu.
"Kamu bukan Masroni, kamu arwah gentayangan! Maroni anakkua sudah mati," kata Saroji.
"Astaghfirullah, Pak! Omongan macam apa ini? Saya benar-benar Masroni, anak Bapak. Coba Bapak perhatikan baik-baik, aku masih menginjak tanah. Lagi pula mana ada hantu gentayangan di hari yang sudah terang begini?"
Karena ucapan Masroni begitu meyakinkan, kedua orang tua itu baru sadar. Orang yang berdiri dihadapan mereka benar-benar Masroni. Mereka lalu menghambur memeluk Masroni dan menangis sejadi-jadinya. Mereka senang, karena Masroni ternyata belum mati.
Masroni merasa bingung dengan kejadian ini. Setelah tangis kedua orang tuanya reda, mereka baru bisa menceritakan apa yang telah terjadi. Masroni mendengarkan dengan seksama cerita orang tuanya sambil sesekali tampak terperangah.
"Wah, pantas semua orang takut melihat saya. Rupanya saya dikira sudah mati. Padahal semua itu tidak benar!" cetus Masroni agak geli.
"Kalau begitu, siapa mayat yang pernah kami kuburkan itu?" tanya Saroji, seperti menggumam.
"Yah, mungkin ini ada kaitannya dengan kejadian yang saya alami, Pak. hari itu, sewaktu saya berangkat ke Jakarta menggunakan bus dan berhenti di daerah Semarang, saya turun sebentar untuk mencari makanan. Tiba-tiba ada orang yang menyenggol saya. Waktu itu saya tidak sadar. Baru ketika saya naik kembali ke dalam bus dan melanjutkan perjalanan saya baru tahu dompet saya kecopetan. Saya yakin dompet itu dicopet orang yang menyenggol saya waktu berhenti di Semarang. Kemungkinan korban kecelakaan yang dikira mayat saya, ya si pencopet itu," jelas Maroni sambil mengingat-ingat.
"Kenapa kamu tidak memberitahukan kepada kami kalau kamu masih hidup? Setidaknya kamu kan bisa kirim kabar kalau sudah sampai di Jakarta?"
"Ya, saya mana tahu dengan kejadian di sini, Pak. Begitu sampai di Jakarta saya langsung ke rumah Pakle Hadi. Saya lalu menceritakan kejadian yang saya alami. Oleh Pakle saya disuruh tinggal sementara di rumahnya. Tapi entah kenapa, saya merasakan ada firasat aneh. Sepertinya ada yang membisikan saya untuk segera kembali ke kampung lagi. Soalnya semua uang yang saya bawa benar-benar ludes diambil oleh si pencopet. Saya tidak mau membebani Pakle kalau hanya hidup menumpang. Saya lalu nekad pinjam uang sama Pakle dan membeli tiket pulang ke kampung. Niat saya mau minta sangu lagi sama Bapak. E....tidak tahunya di sini telah terjadi kehebohan!"
Mendengar penuturan Masroni, hati Saroji dan isterinya merasa lega. Mereka bersyukur karena Masroni masih hidup. Tapi sejurus kemudian perasaan mereka jadi kecut karena masih menyimpan persolan dengan mayat asing yang telah mereka kuburkan.
"Lalu, bagaimana dengan mayat tak dikenal yang kita kuburkan itu? Kalau tidak segera diatasi, nanti arwahnya akan terus gentayangan mengganggu warga desa?" cetus Saroji cemas.
"Begini saja, Pak. Kita minta saran pada orang pintar yang mengetahui masalah seperti ini," usul Masroni.
Semua setuju. Mereka lalu menemui seorang Kyai di daerah itu yang sangat dihormati. Oleh Kyai disarankan untuk mengadakan prosesi ulng dalam menguburkan jenazah orang tak dikenal itu. Ini harus dilakukan karena sebelumnya mayat itu diatasnamakan orang yang masih hidup.
Disamping itu, harus dicari keluarga si mayat untuk mendapatkan keridhoan. Jika dimungkinkan, jenazah orang yang tak dikenal itu bisa dipindahkan ke tempat yang dikehendaki keluarganya. Kalau keluarga ikhlas jenazahnya tetap dikubur ditempat itu, pemindahan tak perlu dilakukan.
Soal mencari keluarga mayat tak dikenal itu diserahkan kepada polisi. Dan tampaknya tak begitu sulit bagi polisi mencari keluarga mayat tak dikenal itu. Seperti pengakuan Masroni bahwa dompetnya dicopet, polisi lalu menelusuri jejak sang pencopet. Mereka punya data tentang para pelaku kriminal di setiap daerah. Akhirnya, keluarga si pencopet ditemukan. Nama pencopet malang itu adalah Juned. Keluarga Juned mengaku sudah lebih seminggu Juned tidak pulang ke rumah.
Setelah dicocokan dengan data forensik di laboraturium, diketahui bahwa mayat tak dikenal itu adalah Juned. Atas keinginan pihak keluarga kuburan juned lalu dipindahkan ke kampung halamannya.
Begitulah. Sejak makam Juned dipindahkan, arwah gentayangan itu tidak pernah lagi muncul dan mengganggu warga desa. Tapi Masroni yang pernah dikabarkan meninggal masih tetap gentayangan sampai saat ini. Ya, dia memang masih berumur panjang!

AKHIR RIWAYAT PENGAMAL ILMU KEBAL

Penulis : EKO HARTONO


Karena miskin dan sering dihina, dia akhirnya menghamba kepada setan untuk mendapatkan kesaktian. Setelah tubuhnya kebal dari terjangan senjata apapun, dia berubah menjadi seorang yang sangat jahat. Bagaimana akhir kisah video uji nyali hidupnya...?

Arogansi dan kesewenang-wenangan akan membawa kehancuran. Itulah pelajaran penting dalam kehidupan yang sering dilupakan manusia. Sudah sering terjadi dalam sejarah, orang yang sombong, merasa lebih tinggi derajatnya atau kedudukannya dari orang lain, pada akhirnya justru akan jatuh dalam kehinaan yang paling rendah. Bahkan bisa lebih fatal dari itu, yakni kematian yang sia-sia.
Kenyataan ini pula yang menimpa Margono (bukan nama sebenarnya). Riwayat hidupnya mungkin bisa menjadi cermin bagi kita semua, khususnya mereka yang mendalami ilmu kesaktian dengan dalih perlindungan diri agar terhindar dari tindak kejahatan. Karena apa yang tadinya diniatkan untuk kebaikan bila tidak diiringi dengan sikap perilaku benar justru akan menjerumuskan atau menyesatkan.
Misteri memperoleh cerita tentang riwayat hidup Margono dari salah seorang kerabat dekatnya. Kebetulan Misteri sedang berkunjung ke rumah famili di sebuah pelosok desa di luar kota Solo, Jawa Tengah. Ketika itu, Misteri menemukan seorang laki-laki cukup tua dikurung dalam ruangan mirip sel tahanan dengan kedua tangan dan kaki dirantai. Dia menghabiskan sisa hidupnya di kurungan itu. Makan, minum, dan buang air besar di tempat itu. Lelaki renta yang tak berdaya itu tak lain adalah Margono!
Kenapa dia sampai menjalani hidup seperti binatang atau manusia tak berharga begitu?
"Dia sudah tidak waras, suka merusak, dan mengganggu warga setempat. Padahal dulunya dia orang yang sakti. Tubuhnya kebal dari senjata tajam dan mampu membengkokkan sebatang besi!" Ujar Sasmito, kerabat Margono.
"Kalau dia bisa membengkokkan besi, kenapa dia tidak bisa melarikan diri?" Tanya Misteri.
"Karena dia sudah tidak bisa apa-apa. Semua kesaktian yang dimilikinya telah musnah, bahkan otak warasnya ikut musnah pula!"
"Masya Allah! Bagaimana bisa begitu, Pak?"
"Ceritanya panjang...."
Selanjutnya sang kerabat meriwayatkan perjalanan hidup Margono.
Dia dilahirkan dalam keadaan yatim piatu dan di lingkungan keluarga miskin. Margono tumbuh menjadi anak yang minder dan tertutup. Ayahnya sudah meninggal saat dia masih bayi. Sementara ibunya yang janda kemudian kawin lagi.
Margono yang waktu itu masih berusia lima tahun kemudian diasuh oleh kakek dan neneknya. Margono hanya bisa bersekolah hingga SD karena orangtuanya sudah tidak mampu membiayai.
Sehari-harinya, dia membantu kakeknya menggembala ternak dan menggarap ladang. Dalam pergaulan, Margono sering diejek, dilecehkan, dan direndahkan oleh teman-temannya. Maklumlah, karena tubuhnya paling kurus dan hidupnya miskin.
Dia pun tak melawan jika dipukul oleh temannya. Dia sering dijadikan kacung atau suruhan oleh mereka. Margono menyadari dirinya punya kekurangan dan kelemahan.
Suatu hari Margono mendengar informasi dari temannya tentang orang pintar yang berilmu tinggi. Konon, orang pintar itu mengajarkan ilmu kebal, pengasihan, ilmu tenaga dalam, dan lain sebagainya.
Dia jadi tertarik untuk berguru padanya. Dia lalu meminta ijin pada kakeknya untuk pergi menemui orang pintar itu dan belajar ilmu padanya.
"Untuk apa kamu belajar ilmu seperti itu, Mar?" Ujar kakeknya ingin tahun.
"Untuk membekali diri, Mbah. Biar aku tidak terus direndahkan dan diremehkan orang!" Jawab Margono.
"Ingat, Lek, kalau kamu tidak kuat, kamu nanti bisa gila. Ilmu kesaktian mesti dipelajari dengan laku yang berat. Lagi pula kamu belum tahu, apakah ilmu yang diajarkan orang itu tergolong ilmu hitam atau ilmu putih. Kalau ilmu hitam, sebaiknya kamu urungkan niatmu itu. Nanti justru akan merusak dirimu sendiri!"
Margono tak bergeming. Dia tetap pada niatnya. Meski tanpa restu dari kakeknya, Margono pergi menemui orang pintar yang tinggal di daerah lereng pegunungan. Rumah orang pintar yang bernama Mbah Joyo itu hanya berupa gubuk bambu dan agak terpencil.
Dia hidup sederhana, seperti ingin menjauhi dunia ramai. Namun demikian, ternyata tak sedikit orang yang datang menyambanginya. Terutama pada malam Selasa dan Jum'at Kliwon.
Mbah Joyo sering menjadi perantara bagi orang-orang yang ingin menjalankan laku tirakat pesugihan atau semedi di salah satu goa keramat di lereng pegunugnan itu.
Ketika Margono yang masih muda itu datang mengutarakan maksud kedatangannya, Mbah Joyo malah tertawa terkekeh-kekeh.
"Buat apa kamu ingin punya ilmu kesaktian, bocah ingusan?" Tanyanya.
"Biar saya tidak direndahkan dan diremehkan orang, Mbah. Saya ingin kaya dan punya kedudukan, biar dihormati orang lain!" Jawab Margono.
"Syaratnya berat! Aku yakin, kamu tak sanggup!"
"Saya sanggup, Mbah. Apapun resikonya!"
Karena terus memaksa dan ngotot, akhirnya Mbah Joyo menyanggupinya. Dia lalu meminta Margono tinggal beberapa waktu di tempatnya. Margono harus menjalani beberapa laku dan tirakat untuk memasukkan ilmu gaib itu ke dalam tubuhnya.
Sebelum memasukkan unsur gaib itu ke dalam tubuhnya, Mbah Joyo sempat memberikan keterangan pada Margono, "Aku akan memasukkan kekuatan jin kafir dalam tubuhmu yang akan membuat kamu kebal, tidak mampan senjata tajam, dan mampu membengkokkan sebatang besi. Dengan kelebihan ini kamu bisa mewujudkan keinginanmu. Tapi ingat, ilmu ini harus kamu rawat. Setiap malam Jum'at Kliwon diberi sesaji dan tumbal. Apakah kamu bersedia?"
"Bersedia, Mbah!" Jawab Margono, tegas. Dia merasa tak perlu berpikir ulang lagi untuk menyanggupi persyaratan yang diberikan Mbah Joyo, atau berusaha tahu apa efek samping ilmu itu nantinya.
Begitulah. Setelah menjalankan laku tirakat, ritual, dan merapalkan mantera-mantera, akhirnya Margono dinyatakan berhasil menguasai ilmu yang diberikan Mbah Joyo.
Sebelum keluar dari tempat pengemblengannya dan kembali ke dunia ramai, Margono melakukan ritual menyembelih ayam cemani yang seluruh bulu dan tubuhnya berwarna hitam.Penyembelihan itu mungkin mengandung makna sebagai bentuk pengorbanan atau persembahan.
Margono lalu pulang ke kampung halamannya. Tapi betapa kaget ketika sampai di rumah, dia mendapati kenyataan pahit, kakek yang dicintainya meninggal dunia. Kematian kakeknya pun terkesan misterius dan mendadak. Menurut cerita, orangtua itu diketahui sedang menyabit rumput di tegalan. Entah bagaimana kejadiannya orang-orang sudah menemukan dia dalam keadaan tergeletak di bawah pohon dengan sabit masih menancap di lehernya. Ada kemungkinan dia naik ke atas pohon dan jatuh. Saat terjatuh itu tanpa sengaja sabit yang dipegangnya menancap di leher.
Tapi bagi Margono yang melihatnya seolah tak ada yang aneh. Dia teringat dengan ayam cemani yang disembelih dan diminum darahnya pagi tadi. Sepertinya kematian ayam cemani itu menyerupai kematian kakeknya. Mungkin ini isyarat tumbal seperti yang dikatakan Mbah Joyo. Kematian kakeknya tak lain merupakan tumbal yang menjadi persembahannya.
Hati Margono seperti tercabik-cabik rasanya, tapi dia berusaha menekannya. Dia menepis rasa bersalah. Toh, kakeknya sudah cukup tua dan pantas mati, batinnya menenangkan diri.
Selanjutnya Margono menjalani hidupnya yang baru. Kini dia bukan lagi Margono yang lemah, tak berdaya, dan cengeng. Dia berubah menjadi Margono yang pemberani dan tangguh. Jika ada orang yang meremehkan dan merendahkannya, dia tidak akan tinggal diam. Dia akan menantang orang itu berkelahi, bahkan memintanya untuk memakai senjata tajam sementara dirinya hanya tangan kosong.
Suatu ketika, terjadi perselihan antara Margono dengan sekelompok pemuda desa. Margono langsung menantang perang tanding. Tantangan ini langsung ditanggapi oleg gerombolan pemuda itu. Namun, saat mereka menyerangnya dengan pukulan, tendangan, dan sabetan clurit, Margono diam saja. Dia membiarkan tubuhnya jadi bulan-bulanan. Tapi ajaib, kulit Margono tidak tergores atau terluka sedikitpun. Malah tangan orang-orang yang memukulnya menjadi kesakitan.
Melihat Margono tak mempan dibacok dan ditembus senjata tajam, kontan para pemuda itu merendahkan diri di depan Margono dan memohon ampunan. Margono tertawa penuh kemenangan.
Merasa di atas angin, Margono meminta mereka mencium kakinya dan menjilatinya. Jika tidak mau, dia mengancam akan membunuh mereka. Bak anjing yang setia pada majikannya, mereka pun menurut saja menciumi dan menjilati kaki Margono.
Puas telah berhasil merendahkan orang-orang yang pernah merendahkan dan mengejeknya, Margono lalu memeras dan memanfaatkan mereka. Dia merekrut para pemuda berandalan untuk dijadikan anak buahnya. Mereka dipaksa mencuri, merampok, dan merampas harta benda orang lain.
Sepak terjang Margono sebagai bandit sekaligus pemimpin preman langsung mencuat. Dia sering menebar teror di tengah masyarakat. Bersama dengan para anak buahnya, Margono melakukan berbagai tindak kejahatan.
Uang hasil kejahatan digunakan untuk berfoya-foya, minum-minuman keras, dan main perempuan. Margono sendiri seperti tidak takut dengan perilaku kejahatannya yang bisa membawanya berurusan dengan hukum. Bahkan dengan terang-terangan dia pernah menantang petugas keamanan.
"Aku tidak takut sama polisi! Ayo, mana polisi yang berani menangkap ku? Mana polisi yang berani menembakku?!" Ujarnya dengan nada penuh kesombongan.
Suatu ketika ada petugas polisi sektor setempat yang mendengar ucapan Margono dan merasa tertantang. Dia pun diam-diam ingin meringkus Margono. Kebetulan dia mengetahui tempat Margono dan teman-temannya sering bermain judi serta minum-minuman keras.
Dengan penuh rasa percaya diri, petugas itu menggerebek Margono Cs. sambil menodongkan pistolnya. Tapi Margono tampak tenang saja.
"Ayo, tembak aku kalau berani!" Tantangnya.
Terpancing emosi, polisi itu pun langsung menembak kaki Margono sesuai prosedur. Tapi apa yang terjadi? Bukannya merintih kesakitan atau terjatuh, Margono malah tertawa geli. Dia lalu memperlihatkan bekas tembakan peluru yang ternyata hanya merobek kain celana tanpa menggores kulitnya.
Wajah polilsi itu jadi pucat pasi dan gemetar. Selanjutnya kejadian berbalik, polisi itu yang kemudian dihajar beramai-ramai oleh Margono dan anak buahnya. Dia diancam jika sampai mengganggu geng Margono akan dibunuh.
Begitulah. Para petugas pun ngeri berhadapan dengan gerombolan Margono. Mereka tidak pernah punya bukti untuk mengungkap kejahatan Margono agar bisa menangkapnya. Karena dalam menjalankan aksi kejahatannya, Margono begitu licin dan tak terdeksi.
Meski semua orang tahu bahwa pekerjaan Margono suka merampok dan mencuri, dan semua kekayaan dan rumah mewah yang dimilikinya adalah hasil kejahatan, tapi tak ada yang bisa membuktikan dan menangkap basah perbuatannya. Konon, dalam menjalankan aksinya, Margono menggunakan ajian atau ilmu gaib yang tidak memungkinkan terlihat oleh orang biasa.
Telah banyak orang atau kelompok masyarakat yang menjadi korban kesewenang-wenangan dan kejahatan Margono. Hal ini kemudian memunculkan inisiatif dari seorang tokoh masyarakat untuk meminta bantuan orang pintar. Dia menemui seorang Kyai di luar daerah yang berilmu tinggi. Menurutnya, kejahatan Margono yang dilakukan dengan menggunakan kekuatan ilmu hitam hanya bisa dihentikan dengan kekuatan ilmu putih. Hanya saja, yang menjadi masalah bagaimana melawan kemampuan ilmu kebal yang dimiliki Margono.
"Setiap orang punya kelemahan dan kekurangan pada dirinya. Tidak ada orang yang paling sakti dan ampuh di dunia ini. Yang paling tinggi ilmunya hanyalah Allah SWT. Yang dilakukan orang-orang seperti Margono hanyalah mengandalkan salah satu kemampuannya untuk mengesankan bahwa dirinya sangat kuat dan tak terkalahkan!" Demikian keterangan Pak Kyai.
"Jadi apa yang harus kami lakukan, Pak Kyai?"
"Beri saya waktu untuk meneropong secara batin kekuatan tersembunyi yang dimiliki Margono sekaligus titik kelemahannya!"
Pak Kyai itu lalu melakukan ritual khusus di ruang sembahyangnya. Untuk beberapa lama Pak Kyai bertafakur tanpa ada seorang pun boleh mengganggunya. Setelah selesai dengan ritualnya, beliau kembali keluar menemui tamunya.
"Insya Allah, saya tahu kelemahan dari saudara Margono. Ilmu kebal yang dimilikinya akan sirna bila dipukul dengan daun kelor sambil membacakan doa-doa tertentu!" Ujar Pak Kyai.
"Kami pernah mencoba memukul dengan daun kelor, tapi tak mempan?"
"Dipukul pada tengkuknya, karena disanalah letak simpul syaraf yang menghubungkan antara syaraf otak dan syaraf bagian tubuh!"
"Kalau begitu cepat kita lakukan saja, Pak Kyai, sebelum kejahatan Margono semakin merajela!"
"Sebentar! Kita tidak boleh gegabah dalam mengambil tindakan. Saya tahu, Margono orang jahat dan sesat. Tapi sebelum mengambil tindakan keras padanya, kita perlu mengajaknya secara baik-baik untuk kembali pada jalan lurus. Mudah-mudahan, dengan cara halus kita bisa membawanya kembali pada jalan kebenaran!"
Apa yang dikatakan Pak Kyai benar. Kejahatan tidak harus dilawan dengan kekarasan. Maka, diantar oleh tamunya itu Pak Kyai tersebut menemui Margono. Dengan terus terang Pak Kyai mengutarakan maksud kedatangannya.
"Ingat, Nak Margono. Yang namanya perbuatan jahat kelak akan dihisab oleh Allah SWT dan akan mendapatkan ganjarannya. Sebelum segalanya terlambat, lebih baik Nak Margono tertobat dan kembali ke jalan benar. Insya Allah, jika Nak Margono bertobat nasuha segala dosa-dosa yang lalu akan diampuni Allah. Percayalah!" Demikian ajakan Pak Kyai.
Tapi ajakan kebaikan itu ditampik keras oleh Margono. Bahkan dengan kasar dia mengusir Pak Kyai. Dia mendorong tubuh Pak Kyai agar keluar dari rumahnya. Pak Kyai tak melawan. Hal ini membuat Margono semakin beringas. Dia menghajar Pak Kyai di hadapan orang-orang. Pada saat mendapat kesempatan, Pak Kyai tidak tinggal diam. Dia mengambil ranting daun kelor yang telah dipersiapkan dan membacakan doa-doa.
Sambil mengucapkan Astagfirullah dia lalu menyabetkan ranting daun kelor itu ke tengkuk Margono. Laki-laki bejat itu sempat menjerit kesaktian sebelum kemudian ambruk tak sadarkan diri.
Hampir selama dua hari Margono pingsan. Ketika siuman, keadaannya sudah berubah sertaus delapan puluh derajat. Dia menjadi lupa ingatan dan hilang seluruh kekuatan ilmu kesaktian pada dirinya.
Pak Kyai sudah berusaha meruqiahnya agar bisa dikembalikan dalam keadaan normal, tapi beliau tak sanggup. Jiwa Margono sudah terlanjur rusak oleh perbuatan jin kafir.
Begitulah. Margono akhirnya berubah menjadi tidak waras. Oleh kerabatnya dia diperlihara dan dirawat. Tapi karena sering membahayakan orang lain, dia dikurung seperti binatang. Kabar terakhir yang di dengar, dia sudah meninggal dalam keaadaan gantung diri! Naudzubillahi minzalik !
 
Support :