Tampilkan postingan dengan label Itong R Hariadi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Itong R Hariadi. Tampilkan semua postingan

AKIBAT ILMU TRAWANGAN AKU JADI IMPOTEN

Kisah video uji nyali ini diceritakan secara lengkap oleh Embong Slamet. Gara-gara ilmu trawangan senjatanya menjadi loyo, akibat seringnya melihat wanita cantik berbugil ria....

Pada mulanya aku hanya coba-coba. Aku sering membayangkan, betapa enaknya bisa tembus pandang, meskipun dalam jarak jauh dengan radius ratusan meter. Tentu saja bisa dibayangkan, betapa nikmatnya bisa melihat tubuh wanita yang mulus di depan mata. Apalagi bila berdekatan dengan artis top ibu kota, bisa kelihatan luar dalamnya. Belum lagi orang-orang yang sedang mandi di kamar-kamar hotel. Tentu sebuah pemandangan yang benar-benar langka dan tak bisa dibayangkan. Bisa dikata, itu adalah sebuah perjalanan surgawi tersendiri yang tiada bandingnya.
Dari banyak keinginan yang aneh-aneh itulah akhirnya aku berani menanyakannya pada Mbah Warso. Sebab di kampungku, hanya dialah yang dikenal memiliki ilmu langka tersebut. Meski usianya masih muda, namun orang-orang kampungku sudah memanggilnya dengan sebutan Mbah, sebab ilmunya dikenal sebagai ilmu tua. Selain itu penampilannya juga seperti seorang Mbah. Memelihara jenggot dan kumis panjangnya, plus rambut panjang dikuncir ke belakang. Gaya ngomongnya pun tak ubahnya seperti seorang Mbah, pelan dan sangat hati-hati.

Karena dikenal memiliki ilmu trawangan, Mbah Warso semakin dijauhi wanita. Kabar yang beredar, mereka tidak berani datang ke tempat Mbah Warso karena malu tubuhnya bisa dilihat secara jelas, meski mengenakan pakaian lengkap sekalipun. Padahal sebenarnya banyak wanita yang menaruh hati padanya. Namun karena perasaan malu lebih besar, mereka suka menjauhi. Oleh karena itulah Mbah Warso tetap membujang meski usianya sudah menginjak kepala empat.
Nasib baik rupanya berpihak kepadaku. Beberapa orang yang meminta diajari ilmu tersebut tak pernah diberi. Meski dengan berbagai dalih dan sedikit ngeyel, namun Mbah Warso lebih memilih diam. Bahkan bila dipaksa sekalipun, dia akan lebih memilih ribut daripada harus mengajarkan ilmunya pada orang yang tidak dikehendaki. Seakan ada tanda tersendiri pada calon murid yang bisa diajarkan ilmu tersebut.
Tapi lain halnya dengan aku. Ketika aku minta diajari, dia langsung legowo (menerima-Red). Bahkan langsung menanyakan kesiapanku untuk mempelajarinya. Jawaban itulah yang sempat membuatku setengah tak percaya. Kok begitu mudah bagiku? Padahal yang lain sulitnya setengah mati. Bahkan sampai mati sekalipun, belum bisa mendapatkannya. Kata orang, garis tanganku menakdirkan akulah salah seorang yang akan mampu menerima ilmu trawangan tersebut. Syukurlah kalau memang begitu. Ini memang rejekiku, pikirku saat itu.
Dalam waktu tidak begitu lama aku sudah berhasil menguasainya. Ternyata ritualnya tidak sesulit yang aku bayangkan sebelumnya. Hanya dengan berpuasa patigeni beberapa hari saja, plus lelaku yang tak seberapa berat, keinginanku sudah tercapai. Dalam hitungan jari tangan, aku sudah bisa menerawang ke beberapa tempat, meski terhalang tembok tebal. Benar-benar gila! Betapa mulusnya tubuh, Dian, Sari, Hilda dan Siska. Padahal sejak dulu aku mau mengintip waktu mandi saja susah minta ampun. Takut kepergok orang kampung.
Sejak mulai menguasai ilmu trawangan, aku memilih hobi baru. Setiap hari selalu kusempatkan diri untuk menjajal ilmuku. Hampir seluruh wanita di kampungku, semuanya sudah pernah kulihat tubuhnya, meski dengan kelebihan ilmu yang diberikan kepadaku. Bahkan isteri kepala desaku yang bekas foto model, sudah puas aku memandanginya.
Tak puas hanya dengan memandangi seluruh gadis-gadis, ibu dan janda di kampungku jadi sasaran. Akhirnya, aku mengembangkan ‘bakat alamku’ ke kota. Setiap memasuki terminal bus, aku selalu menyempatkan untuk merapal ilmuku lebih dulu. Jadinya, mereka yang ada di sekitar tempat itu seperti tak mengenakan pakaian sedikit pun. Luar biasa! Enak benar. Terasa seperti hidup di alam lain saja.
Tidak hanya tubuh wanita yang mulus saja yang bisa kulihat, tapi juga orang-orang yang sedang melakukan hubungan intim di kamarnya. Lewat ilmu trawangan, aku bisa melihatnya dengan jelas setiap gerakan mereka. Beberapa temanku yang sempat kuceritakan detik demi detik permainan seorang tetangga hanya bisa ngiler mendengarnya.
“Ayo dong, ajari aku!” itulah ujungnya setiap aku menceritakan sesuatu pada mereka.
Akibat ilmu tersebut, aku tak suka lagi nonton vcd porno. Bagiku, melihat langsung akan lebih bagus ketimbang hanya melihat di layar televisi. Lagian, dengan ilmu warisan leluhur itu aku tak usah mengeluarkan biaya sedikitpun. Hanya dengan modal konsentrasi dan sedikit waktu untuk merapal mantra, aku sudah bisa menikmatinya dengan leluasa. Aku benar-benar leluasa untuk bisa melihat apapun yang berada di balik pakaian seseorang. Termasuk untuk mengukur besar, kecil, kencang dan kendur milik seseorang. Aku hapal benar “barang-barang” mereka.
Namun ada satu dampak yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Padahal dampak itu amat fatal bagiku. Mbah Warso juga tak pernah memberitahu aku sebelumnya. Ternyata, sejak aku menguasai ilmu pemberian Mbah Warso, senjataku tak pernah lagi berdiri tegak. Padahal secara nyata, pancingan yang diberikan mataku sudah benar-benar maksimal. Apapun yang kuinginkan, aku bisa melihatnya dengan jelas. Tapi anehnya, meski kedua mataku bisa melihat segala sesuatu dengan leluasa, namun aku tak pernah bernafsu. Semuanya terasa biasa. Tak ada yang istimewa dan perlu dihayati.
Yang juga amat kusesali, ternyata aku sudah terlambat mengetahuinya. Ketika aku sudah puas dengan melihat segala macam wanita yang kuinginkan, dan aku mulai ingin menikah dan hidup normal. Saat itulah aku baru tahu, ternyata senjataku tak berfungsi lagi. Beberapa kali aku mencoba untuk mereparasi ke beberapa tukang obat kuat, namun belum juga membuahkan hasil yang maksimal. Bahkan saking gusarnya sempat aku datangi kios pengobatan India khusus lemah syahwat, namun belum juga berhasil. Padahal saat itu, si pengobatnya wanita India yang benar-benar cantik plus bahenol. Berpakaian minim lagi. Sebagai seorang lelaki normal, melihat saja (tanpa menyentuh), bisa membuat lelaki yang lemah syahwat langsung bergairah. Jantan kembali. Tapi aku benar-benar lain. Disentuh beberapa kali pun tak juga mau bergerak.
Aku mulai panik. Kudatangi Mbah Warso, lalu kusampaikan keluhanku kepadanya. Pikirku, hanya dialah yang tahu penawarnya karena dia juga yang memberikan ilmu itu padaku. Namun apa yang terjadi kemudian, sungguh di luar dugaanku. Orang itu malah tertawa terbahak-bahak.
“Bukan cuma kamu yang merasakan hal itu, aku sendiri juga sangat menyesal,” jawabnya dengan enteng.
Saat itu darah mudaku langsung naik ke ubun-ubun. Tanpa terkendali, kupegang krah bajunya lalu kuangkat.
“Dasar guru bajingan!” bentakku, diiringi bogem mentah yang langsung mendarat di bibirnya. Lelaki itu terjerembab ke tanah sambil meratap minta ampun.
Tetapi secara diam-diam, aku merasa kasihan juga kepadanya. Tak kuat dengan batinku yang semakin memberontak, kutinggalkan Mbah Warso sendirian. Tak lupa aku memohon maaf atas kekasaranku. Namun tetap dengan jawaban semula, ia mengaku belum tahu penangkalnya. Ia sendiri sebenarnya juga kepingin bisa memiliki senjata normal layaknya seorang lelaki biasa.
Setiap menjelang tidur aku selalu merenungi dosa-dosa yang telah kuperbuat. Bukankah mengamalkan ilmu semacam itu dilarang Tuhan karena bisa mempermalukan orang? Kenapa aku melakukannya? Bukan salah Mbah Warso kalau aku sekarang dihukum. Toh, kesalahan sudah aku lakukan dalam beberapa lama. Beruntung aku masih diberi kesempatan untuk bertobat. Jika tidak, maka aku akan menyesali lebih lama lagi nantinya.
Setelah merenung untuk beberapa lama, aku mulai menemukan jalan keluarnya. Aku semakin senang dengan puasa Senin-Kamis, lalu membaca syahadat sebanyak 41 kali setiap usai sahalat Maghrib. Sementara mantra ilmu trawangan kusingkirkan jauh-jauh. Tak pernah lagi kuamalkan. Bahkan kulupakan sebisa mungkin. Beberapa pantangannya malah sengaja kulanggar.
Rupanya usahaku tak sia-sia. Beberapa kali aku merasakan aliran hangat merambat dari pusarku menuju alat vitalku. Saat itu pula aku merasa optimis untuk bisa hidup normal seperti dulu lagi. Namun semuanya tetap kuserahkan kepada-Mu, Tuhanku yang Maha Pengampun.

TERBEBAS DARI CENGKRAMAN JIN KAFIR

Penulis : ITONG R. HARIADI


Pengalaman video uji nyali dan menyeramkan ini dialami langsung oleh seorang dai di daerah, yang berkenan disamarkan namanya sebagai Nok Tiyah....

Malam itu Nok Tiyah yang baru pulang mengaji. Ia sedikit merinding ketika melewati pohon waru di pinggir kali. Sembari membaca beberapa ayat suci Al-Qur’an, Nok Tiyah berusaha menenangkan hatinya. Tapi selang beberapa langkah, tiba-tiba di hadapannya ada sebuah asap, yang semakin lama semakin menebal. Dan saat itulah, telah berdiri di hadapan Nok Tiyah, sesosok makhluk yang mengerikan.
Melihat pemandangan tak lazim di hadapannya, Nok Tiyah berusaha menenangkan dirinya dengan kembali membaca ayat suci. Tapi mulut mungilnya seolah terkunci, tak bisa berbuat apa-apa.
“Tenang saja, gadis ayu, aku tidak akan mengganggumu. Aku hanya ingin kenalan denganmu,” ujar makhluk itu sembari tertawa.
Di tengah kebingungan yang melanda, tanpa disadari Nok Tiyah, wajah seram itu berubah wujud menjadi seorang kakek berjenggot panjang. Lelaki tua itu mengenakan jubah panjang berwarna putih. Dia mengatakan bahwa Nok Tiyah bisa memanggilnya dengan sebutan Ki Warudinata, jika gadis itu membutuhkan sesuatu. Setelah mengucapkan kata-kata, kakek berjubah putih tadi menghilang.
Nok Tiyah yang terpaku, kemudian langsung ambruk ke tanah.
Aneh, ejak mengalami peristiwa di pinggir kali itu, Nok Tiyah sering terlihat melamun. Karena itulah ia memutuskan untuk sementara waktu menghentikan kegiatan mengajinya.
Pada suatu hari Nok Tiyah sedang asyik duduk di teras rumahnya. Ia melihat Sarwanti, gadis tetangganya yang lumpuh akibat tertabrak sebuah angkot. Gadis itu sedang berjemur di depan rumahnya. Melihat keadaan tetangganya yang memelas, timbul rasa iba di hati Nok Tiyah. Saat itulah Nok Tiyah teringat akan ucapan mahkluk halus penunggu pohon waru yang siap membantunya kapan saja. Nok Tiyah ingin membuktikan ucapan kakek tua yang mengaku bernama Ki Warudinata.
Nok Tiyah berniat menyembuhkannya. Sambil berkomat-kamit dia memanggil Ki Warudinata untuk membantunya menyembuhkan penyakit yang diderita Sarwanti.
Ketika Nok Tiyah memejamkan mata, Sarwanti merasakan ada sebuah kekuatan aneh seperti sengatan listrik yang mengaliri seluruh tubuhnya. Dengan sigap, Nok Tiyah menempelkan telapak tangannya pada kedua kaki Sarwanti. Setelah setengah jam menempelkan tangannya, Nok Tiyah mengatakan bahwa Sarwanti sudah bisa berdiri. Aneh, ternyata memang benar.
Seiring dengan perkembangan waktu, kejadian yang menimpa Sarwanti segera tersebar ke seluruh penjuru Desa Sukajadi. Tak bisa dibendung lagi, semakin banyak orang yang ingin minta pertolongan Nok Tiyah.
Yang terjadi kemudian, dari hari ke hari, tamu yang datang ke rumah Nok Tiyah seperti air yang mengalir. Dengan semakin banyaknya tamu yang datang, perubahan demi perubahan terjadi. Nok Tiyah telah mampu membangun rumah di sisi halaman rumah orang tuanya yang miskin. Nok Tiyah yang dikenal gadis lugu yang pemalu, kini telah berubah menjadi gadis cantik yang lumayan berada.
“Kalau dibiarkan saja akan jadi petaka bagi Nok Tiyah sendiri. Dia telah terpengaruh oleh jin. Anak kalian akan terus menjadi budaknya. Selamanya Nok Tiyah akan terus percaya kepadanya dan melupakan Allah,” jelas Kiai Maksum kepada kedua orang tua Nok Tiyah yang telah menjelma menjadi dukun parewangan itu.
Mendengar perkataan Kiai maksum, orang tua Nok Tiyah jadi ketakutan, sebab mereka tidak mau anak semata wayangnya menjadi budak setan. Keduanya langsung meminta bantuan pada sang Kyai untuk segera memusnahkan semua ilmu yang dimiliki Nok Tiyah.
Malam itu, setelah sembayang Isya berjamaah, tanpa banyak bicara, Kyai yang berusia setengah abad itu langsung mengajak salah satu santrinya untuk pergi ke rumah orang tua Nok Tiyah. Ketika sampai di halaman rumah Nok Tiyah, betapa terkejutnya sang Kyai. Secara tiba-tiba, Nok Tiyah yang duduk di teras ruang tamu langsung menyerangnya dengan sebilah belati. Untuk dia bisa dibekuk dan langsung diikat di sebuah kursi. Ketika itulah dari tubuh Nok Tiyah keluar asap yang kemudian menjelma menjadi sosok makhluk menyeramkan. Kecuali Kyai Maksum, semua yang hadir segera mundur ketakutan.
"Aku paling tidak suka urusanku dicampuri oleh orang lain!” geram mahkluk menyeramkan itu sambil menyerang sang Kyai.
Mendapat serangan mendadak seperti itu, sang Kyai hanya berkelit sedikit. Bahkan dengan tasbihnya dia menyerang balik. “Allahu Akbar!” pekik Kyai Maksum sambil terus memukulkan tasbihnya ke arah makhluk hitam itu. Persis ketika biji tasbih menyentuh tubuhnya, makhluk halus itu langsung menjerit histeris.
Bersamaan dengan itu Nok Tiyah jatuh pingsan. Setelah siuman, Kyai Maksum mengatakan bahwa Nok Tiyah sekarang bukan lagi sebagai budak jin penunggu pohon waru. Ia harus seperti dulu, kembali menjalankan perintah agama dan giat mengaji.

DEMI KEKAYAAN RELA JADI BUDAK NAFSU BUAYA SILUMAN

Penulis : ITONG R. HARIADI


Setelah meminum air putih yang disodorkan oleh seorang dukun, Anita seperti terkena pelet. Dia menurut saja saat diajak berhubungan badan oleh sang dukun, yang ternyata jelmaan buaya siluman. Tapi setelah itu perempuan awet cantik ini menjadi orang yang kaya raya. Apa rahasianya...?

Suminah, sebutlah begitu, punya kesaksian yang relatif unik, sekaligus menegangkan. Perempuan paruh baya yang pernah bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah seorang wanita karir ini pernah merekam dalam ingatannya sederetan peristiwa musykil yang dilakukan majikannya.

Sang majikan, yang sebutlah dengan nama Anita, menjalan sebuah ritual sesat demi kecantikan dan harta kekayaan yang didambakannya. Dia memang hidup dalam gelimang harta dan kemewahan, sehingga ibaratnya dia tidur berbantalkan uang.

Lalu, ritual seperti apakah yang dilakukan oleh Anita? Misteri coba merekayasa kesaksian Suminah dalam kisah berikut ini. Selamat mengikuti...!

Sebuah sedang putih metalik tampak berjalan lambat memasuki pintu gerbang sebuah villa mewah di tepi jalanan komplek villa lereng Gunung Malabar. Ketika berhenti, sebentar kemudian dari dalam mobil keluarlah seorang wanita setengah baya dengan rambut sebahu. Dandanan perempuan ini modis sekali, sehingga jelas menunjukkan bahwa dia wanita yang berselera tinggi dan selalu mengikuti perkembangan dunia fashion.

Wanita yang di wajahnya masih menyisakan guratan-guratan kecantikan itu lalu melangkahkan kakinya menuju ke bagian serambi depan villa. Di sana telah menunggu seorang laki-laki yang usianya tampak lebih tua darinya. Sembari menikmati sepotong roti bakar, dengan lembut pria yang tak lain adalah Pak Surya, suami dari wanita itu menyapa.

"Dari mana saja sih, Bu. Kok pagi-pagi begini baru pulang?"

Si wanita sepertinya belum siap menerima pertanyaan ini, sehingga dia menjawab dengan gugup, ""Eh...a...a...anu, kemarin mobilku bannya bocor. Jadinya aku nginap di rumah Jeng Wina. Oh, ya anak-anak mana, Pak?"

Wanita bernama Anita itu, berusaha mengalihkan topik pembicaraan.

"Ada di dalam. Mereka khawatir sekali. Malahan si Vera semalam nggak bisa tidur karena mikirin kamu terus," kata Pak Surya, sang suami.

Karena takut mendapoat berondongan pertanyaan lanjutan, Anita segera melangkah masuk meninggalkan suaminya yang sibuk membetulkan letak kacamata bacanya. Di dalam, Anita segera menuju ke kamar Vera, anak bungsunya. Sebenarnya gadis kecil yang baru duduk di bangku kelas satu SMU ini tahu kalau ibunya datang. Tapi dia pura-pura tidur hingga kemudian ibunya datang menghampiri dan membangunkannya.

"Mama kemana saja sih? Katanya mau nemenin Vera. Kok semalam nggak pulang-pulang," keluh gadis cantik ini.

"Maafkan Mama, Sayang. Tadi malam kebetulan ada urusan bisnis yang nggak bisa ditinggal. Setelah selesai, eh tiba-tiba ban mobil Mama kempes. Ya terpaksa, jadinya Mama nggak bisa pulang," jelas Anita berusaha menghibur vera yang terlihat cemberut. Alasan ini jelas hanya kebohongan saja.

Berkumpul di villa seperti itu memang telah menjadi kebiasaan keluarga Anita pada tiap hari Minggu ataupun hari libur lainnya. Maklumlah, sepanjang hari baik Pak Surya maupun Anita hampir tak ada waktu untuk saling berkumpul dan bercanda bersama karena kesibukan masing-masing. Terlebih bagi Anita yang menjadi salah seorang manager di perusahaan asing. Hampir seminggu sekali dia harus terbang ke Jepang untuk mengurusi berbagai hal menyangkut perusahaan tempatnya bekerja.

Karier memang telah menjadi tujuan hidup dari kedua orang ini. Namun semua itu memang sepadan dengan hasil yang didapatkannya. Hanya dalam waktu kurang dari tiga tahun, semenjak Anita bekerja di perusahaan asing tempatnya bekerja sekarang, harta yang dimiliki keluarga ini begitu berlimpah. Padahal sebelumnya meski terbilang mampu, apa yang mereka miliki jauh di bawah apa yang mereka miliki sekarang.

Pasalnya, saat itu mereka hanya mengandalkan penghasilan dari Pak Surya yang bekerja sebagai kontraktor bangunan kecil-kecilan. Namun semua berubah begitu Anita berkenalan dengan seorang pengusaha asal Jepang yang kebetulan sedang menjalin bisnis dengan temannya. Anita selanjutnya diterima bekerja di perusahaan yang berkedudukan di Jakarta sebagai salah seorang staf di bidang administrasi.

Dari kedekatan personal yang sebelumnya telah terjalin membuat karier Anita semakin meningkat hingga akhirnya dia berhasil menduduki jabatan sebagai manager keuangan di perusahaan tersebut. Jabatan inilah yang kemudian mengubah kehidupan keluarga Anita seratus delapan puluh derajat. Anita selanjutnya berubah menjadi seorang perempuan yang selalu mengutamakan penampilan. Sehingga hampir setiap saat penampilannya selalu berubah, mulai dari gaya rambut sampai dengan pakaian yang dikenakannya. Bahkan mobil dan perhiasan.

Hanya saja, demi karier tersebut, dua orang anaknya jadi tak terurus dengan baik. Karenanya untuk menebus kesalahan itu Anita membeli sebuah villa untuk digunakan tempat kumpul bersama tiap akhir pekan. Namun hampir tidak ada anggota keluarganya yang tahu kalau di balik niat tulusnya membeli villa itu, Anita ternyata juga menyimpan tujuan lain. Dia sengaja memilih lokasi villa seperti yang sekarang ini ditempati, karena ingin semakin mendekatkan dirinya pada seseorang yang selama ini sangat berperan dalam mengangkat derajatnya. Orang itu adalah jelmaan siluman buaya yang menghuni sebuah telaga di lereng Gunung Malabar.

Tanpa diketahui oleh siapapun, Anita memang telah menjalin hubungan dengan mahkluk iblis tersebut. Dan hubungan ini telah terjalin sejak beberapa tahun yang lalu. Saat itu kebetulan Pak Surya terkena santet dari salah seorang saingan bisnisnya. Karenannya, dengan berbekal informasi dari seorang teman mengenai keberadaan seorang dukun sakti di kawasan Gunung Malabar, Anita pergi menemuinya. Hal ini dilakukan setelah beberapa orang dukun dan kyai yang dimintai pertolongan tidak mampu menyembuhkan suami tercinta dari serangan ilmu jahanam itu. .

Setelah melecak berhari-hari lamanya, Anita beruntung sebab bisa menemui sang dukun. Hanya dengan sekali proses penyembuhan, santet yang menyerang Pak Surya berhasil dibersihkan. Celakanya, lebih dari itu sang dukun juga menawarkan pada Anita untuk menjadikannya orang sukses sehingga bisa membuatnya kaya raya. Tawaran ini tentu saja menarik hati Anita. Tanpa berpikir panjang, dia berusaha untuk mengetahui apa rahasia di balik tawaran itu.

"Siapa yang menolak jadi orang kaya sih, Pak! Kalau memungkinkan, saya secepatnya ingin mewujudkan impian itu," cetus Anita di hadapan sang dukun.

Namun ada satu syarat yang harus dipenuhi Anita sebagai balasan dari jasa dukun tersebut. Anita diharuskan untuk datang sebulan sekali guna melayani nafsu sang dukun.

"Kamu bisa jadi orang kaya. Bahkan kekayaan yang kamu miliki tidak akan pernah habis asalkan kamu mau melayani aku pada tiap malam bulan purnama," kata sang dukun saat itu.

Semula Anita tidak ingin menuruti tawaran itu. Bagaimana mungkin dia sampai hati ditiduri oleh lelaki renta yang lebih pantas sebagai kakeknya itu. Lagi pula, menurut cerita, dukun itu hanya mandi sekali saja dalam setahun. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan kesaktian yang dimilikinya.

Anita ingin terus terang menyatakan penolakannya. Namun entah mengapa, lidahnya terasa kelu untuk mengatakan hal yang sejujurnya dia inginkan. Anehnya, semuanya berubah setelah Anita meminum segelas air putih yang disodorkan oleh sang dukun. Begitu air putih itu diminum, Anita merasakan seperti ada yang mencekik lehernya hingga terasa sakit sekali. Namun sebentar kemudian rasa sakit itu hilang dan berganti menjadi rasa suka pada sang dukun.

"Terus terang aku sangat menginginkanmu, karena kamu mirip sekali dengan mendiang kekasihku yang mati karena dibunuh para pemburu. Dan sekarang aku ingin kau yang menggantikannya," cetus sang dukun dengan senyum menyeringai, dan bersamaan dengan itu tubuh sang dukun tiba-tiba berubah menjadi seekor buaya hitam berukuran sangat besar.

Anehnya, Anita yang saat itu telah terpengaruh ilmu pelet dari sang dukun yang ternyata tak lain sebagai jelmaan buaya siluman tersebut seolah tidak takut sama sekali menghadapi binatang melata mengerikan dan menjijikan itu. Bahkan, wanita cantik ini justru seperti menikmati saat ekor makhluk ini membelai sekujur tubuhnya, hingga akhirnya keduanya terlibat dalam hubungan layaknya suami isteri.

Sulit dimengerti, kejadian seperti ini terus berlangsung tiap kali tiba saatnya malam bulan purnama. Seperti ada jiwa lain yang mendorongnya, Anita seolah tak kuasa menghentikan langkahnya menuju pondok di lereng bukit, di mana sang buaya siluman berada.

Namun demikian, seperti yang telah dijanjikan oleh sang siluman buaya, hanya beberapa hari setelah Anita berhubungan badan dengan makhluk laknat ini, terjadilah perubahan hidup yang sangat drastis pada keluarga Anita. Selain suaminya sembuh dan bahkan akhirnya kebal dari serangan santet, kekayaan yang dimilikinya pun terus bertambah. Puncaknya, Anita berhasil menjadi seorang manajer di perusahaan asing tempatnya bekerja.

Hanya saja, seiring dengan berjalannya waktu, terjadilah perubahan tingkah laku pada diri Anita. Bayangkan saja, pada saat-saat tertentu secara tanpa sadar Anita kerap berperilaku seperti seekor buaya. Misalkan saja, dia sering kedapatan berenang-renang sendirian di tengah gelap malam buta, dengan tubuh yang sebagian kecil memang telah berubah menyerupai buaya. Nah, hal-hal aneh inilah yang pernah disaksikan langsung oleh Suminah, pembantunya.

"Beberapa kali saya melihat majikan saya berenang tengah malam di kolam renang yang ada di samping rumah. Waktu itu, saya melihat Ibu (maksudnya Anita) tubuhnya bersisik seperti buaya. Hih, saya ngeri melihatnya," kenang Suminah sambil bergidik membayangkan hal tersebut.

Di saat yang lain, tanpa sengaja Suminah yang sedang akan membersihkan kamar mandi juga melihat keanehan. Ketika itu dia heran saat melihat pintu kamar mandi yang setengah tertutup. Padahal biasanya pintu itu selalu terbuka. Saat ditengok ke dalam ternyata di dalah terlihat majikan perempuannya itu sedang buang air kecil. Hanya saja anehnya, seperti tak lagi memiliki rasa malu dia tidak menutup pintunya dan bahkan posisi tubuhnya saat buang air kecil itu persis seperti seekor buaya dengan posisi merayap dan tampak seperti orang setengah mengedan.

Sejak melihat berbagai keanehan itulah Suminah yang berusia 35 tahun ini sedikit demi sedikit mulai tahu kalau ada yang tidak beres dengan majikannya. Apalagi saat dirinya mendapat penjelasan dari orang pintar di desanya, Suminah pun semakin yakin kalau sang majikan menganut pesugihan.

"Majikanmu memang memiliki pesugihan. Dan jenis pesugihan yang dijalaninya adalah yang sering disebut dengan pesugihan baya. Penganut pesugihan ini selain harus mau berhubungan badan dengan buaya jadi-jadian, beberapa pelakunya juga akan berperilaku mirip seperti buaya dan pada saat matinya nanti, jasadnya akan berkulit tebal seperti buaya," papar orang pintar tersebut, seperti ditirukan Suminah.

Namun sebagai seorang pembantu, Suminah tidak mampu berbuat apa-apa. Sehingga meski dari hari ke hari dirinya semakin sering memergoki majikan perempuannya berperilaku menyimpang, Suminah tidak pernah berani menanyakannya pada sang majikan.

"Saya memang sangat takut. Tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa. Yang saya lakukan sekarang hanya lebih rajin solat, agar dapar perlindungan dari Gusti Allah," harap Suminah.

Dia juga kerap diajak ke villa majikannya, khususnya pada akhir pekan di bulan purnama. Karena itu, Suminah yang lugu bisa mengendus apa yang sesungguhnya terjadi.

Anita, masih berjaya dengan pesugihan yang dianutnya. Jika benar penuturan Suminah, pembantunya, entah apa kelak yang akan terjadi pada diri wanita karir ini. Hanya Tuhan Yang Maha Tahu.

DALAM KEADAAN KOMA AKU BERTEMU DEWI LANJAR

OLEH: ITONG R. HARIADI


Kisah video uji nyali ini seperti dituturkan AF. Saat menjalani operasi ginjal, persisnya di saat tak sadarkan diri akibat pengaruh obat bias, ruhnya melanglang ke alam gaib. Dia bertemu dengan sosok putri yang cantik jelita, yang mengaku sebagai Dewi Lanjar. Apa yang terjadi kemudian...?

Aku seorang lelaki berusia 42 tahun. Sebut saja namaku Heru. Sejak aku menikah dengan Sarah (bukan nama sebenarnya) dua puluh tahun silam, hanya satu orang anak yang lahir dari rahimnya. Sarah adalah seorang istri yang sangat pengertian, setia, dan penuh kasih sayang. Apalagi dengan Andika (bukan nama sebenarnya), anak semata wayang kami. Tentu saja, kami sangat mengharapkan suatu hari nanti Andika menjadi anak yang bisa berbakti dan menghargai orang tuanya, dan berguna bagi orang lain.

Pada pertengahan Maret tahun 2003, aku terpaksa terbaring di rumah sakit. Menurut diagnosis dokter, ginjal kananku tak lagi berfungsi sebagaimana layaknya ginjal manusia normal. Istriku dengan setia sekali mendampingiku setiap saat. Kulihat wajahnya penuh dengan keharuan mendalam karena tak kuasa melihat keadaanku. Apa daya, setiap penyakit akan datang tanpa pernah terduga. Kehadirannya begitu cepat dan tiba-tiba.

Selama menjalani opname, untuk sementara waktu aku harus meninggalkan pekerjaanku pada sebuah kantor Dinas Catatan Sipil. Seminggu sebelum aku menjalani operasi, dokter sempat memeriksa ginjal milik Andika, putraku. Dan alhamdulilah dinyatakan sehat oleh dokter. Dengan keteguhan hati yang sangat kuat, Andika rela memberikan salah satu ginjalnya padaku, ayahnya tercinta.

Aku begitu terharu atas sikapnya yang tak terduga itu. Saat itu anakku sudah lebih dulu berada di ruang operasi. Aku teringat ketika detik-detik pertama memasuki ruang operasi. Sarah yang mengiringi kereta dorong tempatku berbaring lemah, terus melangkah sambil sesekali melelehkan air mata. Genggaman tangannya begitu erat. Aku bisa memahami apa yang dikhawatirkan istriku saat itu.

Belum lagi istriku memikirkan Andika yang ginjalnya harus ditukar denganku. Yang jelas saat itu istriku mengalami beban mental yang cukup berat. Tapi aku yakin, Sarah akan selalu tabah dan sabar menunggu dan banyak berdoa, memohon pada Yang Maha Kuasa agar suami dan anaknya diberi keselamatan dalam menghadapi cobaan.

"Kuat dan tabahkan dirimu, Pak!" Suara istriku sambil terisak. Aku yakin banyak hal yang ingin dia katakan padaku. Namun ketika dia menatapku dalam-dalam, semuanya menjadi kabur dan lama-kelamaan menghilang. Yang ada di dalam hatiku hanya perasaan khawatiran yang amat sangat.

"Jangan menangis, Sarah. Teruslah berdoa dan memohon pada Tuhan, agar aku diberi keselamatan dan panjang umur," kataku lirih tak berdaya.

Sarah mengangguk dan berdiri kaku di hadapanku. Kini aku sudah berada di ruang operasi. Kini, kuserahkan segala hidup dan matiku kepada Tuhan. Apa daya ternyata aku harus berjuang sekuat tenaga. Seandainya saja Andika tidak keras kepala, tidak menyerahkan salah satu ginjalnya untukku, mungkin saat itu aku sudah meninggal.

Ketika salah seorang dokter menyuntikkan cairan bius ke dalam tubuhku, tiba-tiba pandanganku menjadi gelap gulita. Dan tak lama setelah itu aku seperti terhempas, aku tak sadarkan diri. Namun yang kurasakan selanjutnya, jiwaku perlahan-lahan serasa melayang. Aku dapat melihat dengan jelas apa yang dilakukan tim dokter di ruang operasi itu. Perutku dibedah, sedangkan tubuhku saat itu lemah tak berdaya dengan mata terpejam.

Ternyata saat itu aku tidak sendirian, jauh di alam yang tidak kukenal sebelumnya, tampak seorang wanita tengah bersamaku. Dan secara bersamaan, menyaksikan tubuhku yang tak berdaya sedang dioperasi.

"Apa yang kau lakukan di tempat ini?" Tanyaku pada wanita yang cantik bagai seorang dewi itu. Sebelum dia menjawabnya, aku kian sadar akan siapa diriku yang sebenarnya. "Bukankah aku tak berdaya karena sakit dan kenapa aku berada disini?" Gumamku tanpa melihat wajah perempuan itu.

"Kamu sudah berada di alam lain, yang sebelumnya tidak pernah kamu lihat," cetus wanita itu dengan suara lembut.

"Apakah aku telah mati?"

"Ya, bisa juga dikatakan seperti itu."

"Lalu, siapa kamu sebenarnya? Dan kenapa harus aku yang kau bawa kemari?” tanyaku semakin penasaran. Ketika itu aku telah merasa kalau diriku berada di sebuah ruangan besar yang afak temaram, tapi jelas bukan di ruang operasi seperti pada awalnya.

"Aku adalah Dewi Lanjar. Kamu tentu pernah mendengar namaku bukan? Dan untuk saat ini kamu beruntung, dapat bertemu langsung dengan pemilik nama itu. Kamu termasuk orang yang beruntung, Heru!" Katanya sambil melayang-layang. Aneh! Kenapa aku sendiri mudah sekali mengangkat tubuhku? Kemanapun Dewi Lanjar itu melayang, aku selalu mengikutinya.

"Lalu, mengapa harus aku yang kau bawa kemari, Dewi?" tanyaku lagi.

"Sebenarnya apa yang kamu cari selama bekerja siang dan malam di dunia?" Dia malah balik bertanya.

Sesaat aku terdiam.

“Uang! Ya, uang untuk memenuhi segala kebutuhan hidupku juga istri dan anakku. Memangnya kenapa, Dewi?"

"Heru...!" Dia menatapku dengan teduh. "Kalau kamu menginginkan uang, kamu akan mendapatkan semua itu dengan mudah disini. Harta kekayaan macam apa lagi yang kamu inginkan, kamu tinggal menyebutnya asalkan kamu patuh dan menuruti apa yang aku katakan. Jangan lupa, bulatkan hatimu untuk memilih kekayaan itu."

"Semudah itukah, Dewi?" Aku ragu.

"Ya...!" Dewi Lanjar menggengam tanganku, dia menarik dan membawaku entah ke mana. Aku bahkan tak peduli lagi dengan tubuhku yang masih dibedah. Yang kurasakan saat itu, aku tengah mengembara jauh meninggalkan bumi pertiwi. Hingga akhirnya aku seperti berada di sebuah bangunan istana yang begitu megah. Istana itu sepertinya berdiri kokoh di atas gugusan awan.

Aku terpana dengan pemandangan yang kusaksikan saat itu. Semua yang kualami tak pernah kulihat sebelumnya di muka bumi ini. Pintu gerbang istana itu terbuka dengan sendirinya. Aku tertegun akan bentuk bangunan yang luar bisa megah dan luas. Persis sebuah istana para rtaja dalam dongeng. Tetapi menurutku perkiraanku masih kalah megahnya dengan istana yang kumasuki saat ini.

Layaknya seorang tamu kebesaran, aku disambut dengan baik oleh Dewi Lanjar. Bahkan setiap jengkal sudut ruangan istana diterangkannya padaku. Memang ada segelintir orang yang lalu lalang. Entah siapa mereka. Aku tak tahu, yang jelas wujud mereka sama sepertiku, manusia.

Tak lama kemudian, tibalah aku di sebuah kamar yang amat luas. Bentuk ranjangnya yang teramat mewah, tirai putih yang menyelimuti ranjang itu juga sangat bagus. Seakan menambah suatu kenyamanan jika aku merebahkan tubuhku di atasnya.

Sejenak aku menatap wajah rupawan Dewi Lanjar. Kecantikan yang dimilikinya memang luar biasa. Sangat tepat seperti putri atau bidadari.

"Silahkan kalau kamu mau beristirahat,' katanya singkat dan tangannya menunjuk ke arah tempat tidur mewah itu.

"Inikah tempat tinggalmu, Dewi?"

"Ya, tinggallah disini untuk beberapa hari lamanya. Apa saja yang kamu inginkan, semuanya sudah tersedia di sini," kata wanita cantik yang mengaku Dewi Lanjar itu.

Aku mengerjapkan mataku dan mendekati ranjang itu. Kurebahkan tubuhku di atas kasur empuk. Aku merasakan kenyamanan yang luar biasa. Seumur hidup aku tak pernah merebahkan tubuhku di tempat sebagus itu. Sejenak kulihat Dewi Lanjar tersenyum saat menatapku, dan tak lama kemudian dia melangkah keluar. Aneh! Tiba-tiba saja pintu kamar itu pun menutup dengan sendirinya. Seperti ada remot kontrolnya.

Entah apa yang ada dalam pikiranku saat itu. Ketika aku baru saja memejamkan mata, tiba-tiba Dewi Lanjar sudah berada di ruangan yang sama. Tapi saat itu sosok tubuh Dewi Lanjar dalam keadaan bugil, tanpa secuil pun kain yang melekat di tubuhnya. Dengan tatapan matanya yang sayu dan rambut yang dibiarkan tergerai, dia mulai mendekatiku.

Pandangan mataku menangkap apa yang dia lakukan. Sepasang bukit kembarnya yang membusung indah, kontan menggetarkan seluruh jiwa ragaku. Bahkan tanpa segan, Dewi Lanjar melucuti pakaianku.

Dalam beberapa saat, tak terasa aku telah tampil dalam keadaan bugil, tanpa sehelai benang pun yang menempel di tubuhku. Wanita cantik berambut hitam panjang itu pun merangkak dan naik di atas tubuhku.

Dengan gelora yang terus membumbung tinggi, aku menciumi aroma wangi tubuhnya yang terus menggelora dan membakar gairahku. Dia mencium bibirku, melumat dan memilinnya perlahan-lahan. Sebagai laki-laki normal, kontan saja membuatku terangsang hebat akibat mendapat serangan Dewi Lanjar. Sejuta gairah menyelubungi jiwaku. Apalagi saat bukit kembarnya yang putih dan mengkal itu menempel ketat di dadaku.

Saat itu aku benar-benar dibuat tak berdaya. Aku hanya diam dan merasakan sentuhan lembut yang terus dilancarkan Dewi Lanjar. Wanita cantik itu tak ubahnya kuda binal yang luar biasa garang, apalagi ketika sudah melakukan persetubuhan dengan lawan jenisnya. Desahan dan rintihan keluar dari mulutnya, seiring dengan kenikmatan yang dirasakannya.

Ketika senjata andalanku, yang sejak tadi telah menegang dahsyat, kini mulai menunjukkan kehebatannya, seketika wajah Dewi Lanjar mendongak ke atas langit-langit. Matanya terpejam-pejam seiring gerakan tubuhnya ke atas dan ke bawah. Saat itu aku hanya bisa menerima dan pasrah dengan semua yang terjadi.

Setelah saatnya tiba, Dewi Lanjar merasa puas setelah beberapa kali berhubungan denganku. Peristiwa demi peristiwa berlangsung begitu cepat. Lalu, Dewi Lanjar membawaku ke sebuah ruangan yang lagi-lagi tak kalah megahnya. Dia berdiri di sebuah singgasana kebesaran seorang putri raja. Aku berdiri dua meter dari jaraknya berdiri dengan posisi lebih tinggi. Di samping kanan kirinya tampak dua orang dayang-dayang cantik sedang memegang kipas di tangannya.

"Katakan saja, apakah kau menginginkan harta kekayaan. Kesenangan dunia, seperti yang telah aku katakan kemarin," kata Dewi Lanjar yang terkesan lembut namun tegas.

"Kekayaan apa yang dapat kuperoleh, Dewi?" Tanyaku.

"Semua itu tergantung dengan permintaanmu. Tapi dengan satu syarat," katanya dengan mengangkat satu jari telunjuk.

“Katakanlah, Dewi! Syarat apa yang harus aku penuhi?” Sahutku.

"Kau harus rela menyerahkan nyawa orang yang paling kau kasihi, jika perlu anakmu sendiri. Dengan syarat itu kau akan menjadi orang terkaya, yang memiliki banyak harta. Bahkan, segala macam usaha yang kau jalankan nanti akan mengalami kemjuan yang begitu pesat."

Ketika mendengar ucapan ini, aku terkejut setengah mati. Sungguh, aku tak pernah membayangkan sedikit pun dengan syarat yang akan diajukan Dewi Lanjar. Saat itu juga, aku langsung menolak syarat gila yang diinginkannya. Harta kekayaan yang dia tawarkan padaku adalah dengan menjual nyawa orang yang kucintai, rasanya itu tidak akan terjadi. Aku tidak mungkin menyetujuinya. Tidak!

Karena aku tidak mau memenuhi persyaratan yang diinginkan Dewi Lanjar, akhirnya aku diusir keluar dari istananya yang megah. Aku masih ingat sekali, bagaimana wanita itu mengeluarkanku dengan sangat marah. Dan saat itu pula pandanganku kembali gelap gulita. Tidak lama kemudian, mataku mulai terbuka. Samar-samar aku mendengar banyak orang berkerumun di sekelilingku, yang menungguiku di dalam kamar perawatan rumah sakit.

Ketika pandangan mataku menangkap sosok wajah istriku, saat itu matanya nampak membengkak. Dia segera memeluk tubuhku yang masih terbaring lemah.

“Pak, Alhamdulillah akhirnya kau selamat. Aku takut sekali kehilanganmu, Pak....” suara Sarah sambil terisak.

"Ada apa ini?" Tanyaku heran. Di sekelilingku, kulihat wajah-wajah kerabat dekatku tengah berkumpul.

"Dokter bilang Bapak sudah meninggal. Kondisimu terlalu lemah sekali, sehingga tidak kuat menjalani operasi."

Aku tercengang sambil menarik nafas panjang. "Bagaimana dengan anak kita, Bu? Apakah dia baik-baik saja?"

"Ya, Andika baik-baik saja, Pak. Dia akan senang sekali melihatmu sudah sehat kembali."

Tak lama kemudian, seorang pemuda berkulit putih memasuki kamar dan mendekatiku. Tangis bahagia menghiasi suasana saat itu. Bahkan istriku, Sarah, nyaris tak bisa membendung lagi air matanya. Seminggu setelah operasi berjalan, dokter yang menanganiku menginjinkan aku di rawat jalan. Aku tak mungkin lama-lama tinggal di rumah sakit. Hal itu disebabkan biaya yang kami keluarkan sangat besar sekali.

Setelah kesehatanku dan Andika mulai berangsur-angsur membaik, akhirnya aku mulai menceritakan apa yang telah terjadi pada diriku, tatkala aku berada di alam yang tak pernah kutahu sebelumnya. Memang, di daerahku, tepatnya di Pekalongan bagian Utara sering terdengar misteri seputar Dewi Lanjar yang konon dapat memberikan kekayaan dengan syarat mau menumbulkan nyawa anak kesayangan.

Aku sempat menemui orang pintar yang mengerti tentang alam gaib Dewi Lanjar. Orang pintar tersebut justru membenarkan sikapku yang telah berhasil menolak ajakan sesatnya, yaitu meminta syarat manusia sebagai tumbal. Dan mengenai hubungan intim yang aku lakukan bersama Dewi Lanjar, menurutnya itu tak akan berakibat apa-apa.

Dalam kehidupan yang semakin gila ini aku sering berpikir, lebih baik hidup miskin, tapi hati selalu tentram dan bahagia. Daripada kenikmatan duniawi yang bersifat semu. Harta benda memang diperlukan untuk kehidupan di dunia, tapi tidak harus mengorbankan Andika, darah dagingku sendiri. Sekali lagi tidak!

AKIBAT BERSEKUTU DENGAN GENDRUWO PEMAKAN KAKI MANUSIA

Penulis : ITONG R. HARIADI


Setelah mengadakan ritual, Husni mendapatkan kaki raja jin. Kaki inilah yang menuntunnya menemukan sekotak harta karun, hingga membuatnya kaya raya. Namun, karena Husni tidak bisa memenuhi janjinya, maka nyawanya sendiri yang harus menjadi tumbal. Bagaimana kisah video uji nyali selengkapnya? Mulyono, salah seorang kerabat dekat Husni, menuturkan rentetan peristiwa video uji nyali itu ….

Malam itu, lebih dari empat jam lamanya Husni duduk bersila di bawah pohon beringin tua yang terletak di bagian barat tempat pemakaman umum (TPU) Desa Ranca Kalong. Asap dupa dan kemenyan yang dibakar masih terlihat mengepul, menyebarkan aroma menyengat ke seantero tempat itu.
Keadaan begitu sunyi. Suara jangkrik dan belalang yang saling bersahutan menambah keseraman suasana. Terlebih dahulu lolongan anjing di kejauhan sesekali terdengar melengking, bagai jerit malaikat kematian.
Gerimis turun renyai-renyai, sementara udara semakin dingin menggigit tulang sum-sum. Namun, seolah tidak lagi merasakan dinginnya udara yang menusuk tulang, mulut Husni terus saja terlihat berkomat-kamit membaca mantera-mantera yang diperolehnya dari Ki Ireng Legono, dukun sakti aliran hitam yang bermukim di Bukit Tengkorak. Bunyi mantera yang dibaca itu sesekali terdengar lirih, namun tak jarang pula terdengar keras. Sesekali pula disertai getaran tubuh Husni yang begitu keras, bagai orang menggigil terserang demam. Dan bersamaan dengan getaran tubuhnya, asap tebal langsung mengepul dari dalam pendupaan yang terletak di hadapan Husni.
Saat jarum jam tepat menunjukkan pukul setengah dua dinihari sesuatu yang aneh mendadak terjadi. Bersamaan dengan mengepulnya asap dan getaran tubuh Husni yang semakin menghebat, maka keluarlah seberkas cahaya kemerahan dari dalam pendupaan itu. Cahaya aneh ini menembus kepulan asap kemenyan yang melayang-layang di udara. Selanjutnya, setelah cahaya kemerahan itu mulai memudar, muncullah sosok mahkluk tinggi besar dengan wajah yang menyeramkan. Makhluk ini berdiri tegak persis di hadapan Husni.
Kedua mata mahkluk itu berwarna merah menyala, sementara dua pasang gigi taring yang berukuran besar tampak menyembul di antara sela-sela mulutnya yang semarah darah itu. Noda-noda merah seperti bekas darah memang terlihat menghiasi sepasang gigi taring itu. Suara geramannya terdengar sangat menyeramkan, bahkan nyaris menghentikan alirah darah di sekujur tubuh Husni.
“Grrrr...! Siapa kau hai manusia? Berani sekali kau mengganggu istirahatku. Apa yang kau inginkan dariku?” tanya mahkluk yang tak lain adalah gendruwo penguasa pohon beringin tua yang ada di areal pemakaman tua itu.
“A...ampun, Mbah. S…sa…sa…saya Hus…Husni, Mbah. S…saya mau minta bantuan, Mbah,” ucap Pak Husni dengan mulut dan tubuh gemetar. Begitu takutnya dia hingga suaranya hamper saja tak bisa melewati kerongkongannya.
“Bantuan apa yang kau butuhkan, hai manusia?” tanya mahkluk itu lagi.
“Saya ingin jadi orang kaya, Mbah. Kata Ki Ireng Legono, Mbah bisa menolong saya untuk menjadi kaya,” jawab laki-laki setengah baya itu.
Gendruwo itu tidak segera menjawab. Mahkluk menyeramkan itu hanya tertawa terbahak-bahak dengan suara yang memekakkan telinga, sambil memamerkan deretan gigi taringnya yang menyeramkan. “Ha...ha...ha...ha...ha...!” suara tawa itu terdengar menggema, dan seakan membuat bumi bergetar.
Melihat hal ini Husni hanya bisa tertunduk sambil berusaha menekan perasaannya. Ketakutan semakin hebat menyelimuti hatinya, hingga keringat dingin tanpa terasa mengalir deras membasahi seluruh tubuhnya. Namun karena keinginannya untuk bisa segera menjadi orang kaya begitu kuat dalam hatinya, lelaki bertubuh sedang ini pun memberanikan diri untuk kembali bertanya pada gendruwo itu.
“Ba...bagaimana, Mbah? Apa betul Mbah bisa membantu saya menjadi orang kaya?” suara Husni terdengar gemetarm seperti juga tubuhnya yang gemetaran seperti terserang demam.
“Itu soal mudah, yang penting kau bisa menyediakan kesukaanku,” jawab sang gendruwo dengan suara yang lebih ramah.
“Apa sajakah itu, Mbah?” tanya Husni lagi.
“Setiap malam Jumat kamu harus selalu menyediakan kemenyan, kembang telon, serta candu. Letakkan benda-benda itu tepat di bawah pohon beringin ini. Ingat, harus kau letakkan tepat pada tengah malam. Kalau kamu bisa memenuhinya semua kesukaanku itu, maka kamu akan aku beri ini….” ucap si gendruwo sembari menunjukkan sebuah potongan kaki berukuran kecil yang terbuat dari emas.
Husni terkejut dan langsung keheranan mendapatkan benda mirip sepotong kaki yang terbuat dari emas itu. Dia merasa ragu, apakah mungkin benda kecil itu akan mampu merubahnya menjadi orang yang kaya raya? Lantas, bagaimana caranya?
“Dengan benda ini kamu akan bisa jadi kaya raya. Karena benda ini akan selalu menuntunmu ke berbagai tempat yang memungkinkan kamu bisa mendapatkan banyak uang,” lanjut si genderuwo seolah mengetahui keraguan dalam hati calon budaknya.
“Benda apa itu, Mbah. Lalu, apakah syaratnya memang cuma itu?” Tanya Husni lagi.
Genderuwo itu kembali menggeram. “Benda itu namanya Kaki Jin. Hanya itu yang bisa kuberi tahu. Ingat, disamping permintaanku tadi, tiap tiga purnama sekali kamu harus menyediakan sepotong kaki kiri manusia sebagai pelengkap syarat yang harus kamu sediakan pada tiap malam Jumat. Kamu bebas mencari kaki siapa saja yang akan kamu persembahkan. Kamu bisa mencurinya dari makam ataupun membunuh orang secara langsung dan mengambil kakinya. Yang penting benda itu harus ada pada waktu yang ditentukan. Karena kalau tidak, maka kakimu sendiri yang akan jadi gantinya,” jelasnya.
Mendengar penjelasan itu Husni terdiam beberapa saat lamanya. Sepertinya dia merasa ragu untuk memenuhi permintaah si genderuwo yang amat menyeramkan baginya. Ya, bagaimana mungkin Husni akan sanggup menyediakan sesajen berupa potongan kaki manusia, sedangkan memotong kaki ayam saja dia selalu ketakutan? Lalu, bagaimana dia bisa memperoleh potongan kaki itu? Hih, menyeramkan sekali!
Di saat yang genting itu Husni berpikir keras untuk mempertimbangkan untung rugi yang akan dihadapinya. Namun, demi terbayang segala kesusahan hidup dan hinaan yang selama ini dia terima bersama anak dan isterinya, akibat dari kemiskinan yang dideritanya, maka bayangan mengerikan itu sepertinya begitu saja sirna.
Ya, semuanya memang terasa begitu pahit. Husni tak ingin anak dan isterinya terus menjadi bahan hinaan. Karena itu dia harus melewati tentangan sepahit apapun asal keinginannya menjadi orang kaya dapat segera terwujud.
Mendadak keraguan dan kengerian itu hilang. Buktinya, tak berapa lama kemudian, mimik wajah Husni yang sebelumnya terlihat tegang, berubah menjadi sedikit tenang, bahkan nampak ceria. Sepertinya dia telah menentukan sikap, dan yang pasti dia telah menerima syarat yang diajukan oleh si gendruwo laknat.
“Baiklah, saya bersedia memenuhi persyaratan itu, Mbah. Yang penting saya bisa segera menjadi orang kaya. Saya sudah tidak kuat lagi menjadi orang miskin, apalagi sekarang hutang saya sudah sangat banyak, dan anak isteri saya sudah tak kuat menderita,” ungkap Husni, setengah menghiba.
“Ha...ha...ha...ha...!” gendruwo itu kembali tertawa terbahak-bahak. Namun kali ini tidak terlalu panjang, karena sejurus kemudian dia menghentikan tawanya dan menyerahkan potongan kaki emas yang dibawanya itu kepada Husni. Dia sepertinya sangat bangga karena sudah berhasil memperdaya seorang anak cucu Adam.
Dengan mata berbinar namun tetap dengan tubuh gemetaran, Husni menerima pemberian kaki emas itu. Begitu benda berukuran sebesar kaki bayi tersebut telah berpindah ke tangannya, Husni langsung menciumi benda itu. Namun kegembiaraannya tak berlangsung lama, karena sang gendruwo kembali berbicara untuk mengingatkan syarat yang harus dipenuhi oleh Husni sebegai konpensasi dari perjanjian gaib yang mereka lakukan.
“Ingat, Husni! Sekalipun kau tak boleh melewatkan janjimu terhadapku. Kalau kau sampai lalai, maka kau sendiri yang jadi taruhannya. Camkan itu baik-baik, Husni!”
“Baik, Mbah! Saya berjanji akan selalu menepatinya!” jawab Husni, penuh keyakinan.
Genderuwo itu kembali tertawa senang. Setelah itu, dalam sekejap mata, dia menghilang bagai ditelan bumi. Kini yang terlihat hanya batang pohon beringin yang menjulang tinggi bagai menembus awang-awang yang terlihat sangat angker.
Setelah genderuwo itu pergi, Husni pun berniat untuk segera pergi dari tempat itu. Namun, sebelum dia sempat berdiri dari tempatnya duduk bersila tadi, tiba-tiba terdengar suara sang gendruwo terdengar kembali. Sepertinya, ada hal lain yang lupa diingatkannya kedapa Husni.
“Simpan baik-baik Kaki Jin itu, bungkus dengan kain putih bersih serta berikan selalu sesaji kembang setaman di sampingnya!” demikian kata suara gaib itu.
“Baik, Mbah!” jawab Husni
Setelah celingukkan ke sana-sini dan merasa yakin tak ada seorang pun yang ikut menyaksikan ritual yang dilakukannya, maka dia pun segera berdiri dan bergegas meninggalkan tempat itu.
Aneh, keesokkan harinya setelah mendapatkan potongan benda mirip kaki terbuat dari emas yang disebut sebagai Kaki Jin itu, saat Husni sedang menggarap sawah milik Pak Kades, tiba-tiba dia seperti merasa ada yang menyapa dan mengajaknya pergi. Padahal, beberapa orang temannya yang lain ketika sama sama sekali tidak melihat apa-apa. Umumnya, mereka hanya melihat kalau Husni yang semula asyik mencangkul itu tiba-tiba berhenti, kemudian pergi sambil memanggil cangkulnya.
Hal itu masuk akal, karena pada dasarnya seseorang yang mengajak Husni pergi adalah sosok makhluk gaib yang akan menunjukkan tempat di mana Husni bisa mendapatkan harta sebanyak mungkin.
Dan memang benar, Makhluk yang berwujud seorang pemuda tampan itu mengajak Husni pergi ke pinggir hutan. Di sana Husni yang masih membawa cangkul disuruh untuk menggali tempat yang dipijaknya.
Husni pun segera menggali dengan cekatan. Tak berapa lama kemudian terlihatlah sebuah kotak yang ketika diangkat ternyata sebuah peti. Betapa terkejutnya Husni manakala peti itu dibuka, di dalamnya berisi setumpuk perhiasan emas dengan berbagai bentuk. Maka seketika itu juga langsung Husni berteriak, “Aku kaya! Ha…ha…ha…aku kaya!”

***

Waktu terus berjalan. Tepat tujuh bulan sudah Husni yang sebelumnya tergolong orang sangat miskin itu, kini telah berubah menjadi orang kaya raya. Hanya saja kali ini masalah sedang dihadapi oleh orang kaya baru itu. Tepat pada hari di mana dia harus menyediakan sepotong kaki manusia sebagai sesaji untuk gendruwo, dia justru menderita sakit parah yang membuatnya tidak mampu bangun. Karena itulah kegelisahaan selalu tampak pada raut wajahnya.
Malam harinya, kegelisahan itu semakin menghimpit, karena tepat pada tengah malam nanti sesaji itu harus diberikan. Padahal dia sudah punya rencana akan membongkar kuburan Sunardi yang baru meninggal tiga hari yang lalu untuk mengambil kakinya kirinya sebagai sesaji, seperti yang pernah dilakukannya pada kuburan Mbah Tinem tiga bulan lalu. Namun kondisi kesehatannya tidak memungkinkannya untuk bisa bangun. Ya, dia tak mungkin bisa beranjak meninggalkan tempat tidurnya untuk pergi ke areal pemakanan dan membongkar kuburan Sunardi, lali memotong kaki kirinya. Asmanya tiba-tiba kumat. Hisuni harus membungkus tubuhnya rapat-rapat dengan kain selimut. Kalau dia nekad pergi, pasti dia akan mati di tengah jalan akibat kedinginan dan kehabisan nafas.
Kekhawatiran itu pun akhirnya menjadi kenyataan. Tepat saat jam dinding berdentang sebanyak dua belas kali, bersamaan dengan itu tiba-tiba terasa ada hembusan angin kencang menembus jendela kamar tidur Husni. Sesaat kemudian di depannya telah berdiri sang gendruwo penghuni pohon beringin yang tempo hari memberinya benda gaib yang disebut sebagai Kaki Jin. Gendruwo itu telah mengingatkan Husni bahwa saat itu dia akan meminta tumbal yang harus disediakan olah budaknya. Namun karena tumbal itu tidak ada, maka kaki Husni pun harus segera dicabut sesuai dengan janji yang telah mereka sepakati.
Dan…Husni hanya bisa menjerit histeris saat kaki kirinya terlepas dari tubuhnya, akibat ditarik dengan sangat kuat oleh makhluk halus laknat itu. Sesaat kemudian dia langsung pingsan. Namun, karena darah yang keluar begitu banyak, akhirnya nyawa lelaki malang ini tidak tertolong lagi. Husni mati secara mengenaskan. Sebelah kakinya raib entah ke mana. Tak ada seorang pun tahu, termasuk juga Warsinah, isterinya, yang malam itu sempat melihat suaminya tenggelam dalam genangan darah akibat kaki kirinya yang tercabut secara misterius.
Demikianlah kisah yang dituturkan oleh Mulyono. Dia mengaku bisa menggambarkan kisah ini sebab tiga hari sebelum kematian menjemputnya, Husni sempat bercerita padanya tentang ritual sesat yang telah dilakukannya. Kepada Mulyono, Husni mengaku menyesal telah melakukan kesesatan ini, namun dia tak tahu cara untuk lari dari perjanjian gaib yang telah dilakukannya.
Semoga kisah video uji nyali yang dialami oleh Husni dapat kita jadikan pelajaran bahwa mengharap kekayaan dari makhluk halus dunia hitam, pada akhirnya hanya akan menimbulkan kesengsaraan dunia akhirat bagi kita. Karena itu, jangan sekali-kali terjerat dalam urusan yang satu ini.
 
Support :