Tampilkan postingan dengan label Ivan Suryana. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ivan Suryana. Tampilkan semua postingan

DEMI KEPERAWANAN AKU JALANI RITUAL GAIB

Penulis: IVAN SURYANA



Kisah video uji nyali ini d oleh Lia Amalia di Bandung. Karena gundah memikirkan ketidakperawanannya, mojang priangan ini nekad melakukan sebuah ritual video uji nyali yang disebutnya dengan nama Mustika Sutra Garba. Bagaimana kisahnya? Berikut ini kesaksian Lia kepada Penulis…..

Pengalaman traumatik itu nyaris menghempaskan mimpi-mimpiku tentang keindahan cinta. Bahkan, seumur-umur aku tak pernah berani membayangkan apa arti kemesraan yang sebenarnya. Seks bagiku adalah sesuatu yang menakutkan, sekaligus menjijikan. Persepsi inilah yang kemudian membentuk karakterku menjadi seorang gadis yang dingin. Ya, tak ada secuilpun keinginan di hatiku untuk memiliki kekasih, apalagi mengharapkan sentuhan kemesraan dari seorang pria idamanku.

Semua persepsi negatif tentang seks yang sempurna menghuni batinku itu terbentuk akibat sebuah pengalaman yang sangat tragis, bahkan mungkin menjijikan sekali. Hal itu terjadi ketika aku baru duduk di bangku kelas 1 SMA. Sama sekali tidak pernah terlintas dalam benakku, seseorang yang selama ini begitu penuh perhatian terhadap diriku, ternyata telah membenamkanku di dalam lumpur kenistaan.

Malam itu, semuanya berlangsung bagai neraka. Ketika aku tengah tertidur pulas, lelaki itu datang. Dia menindih tubuhku, dan membekap mulutku. Nafasnya yang memburu itu menyapu wajahku, yang ketika itu bangun dengan ketakutan.

"Diam, atau semua orang akan tahu tentang apa yang kita lakukan malam ini?”

Dia mengancamku. Ya, Tuhan! Aku menganal suaranya. Ya, orang yang tengah menindih tubuhku dengan nafas penuh nafsu itu tak lain adalah Kak Riko. Dia adalah Kakak tiriku. Dia lahir dari isteri papaku terdahulu yang telah lama meninggal dunia.

Serasa tak percaya, untuk beberapa saat lamanya aku tidak berusaha memberontak. Namun, dengan barnafsu Kak Riko mencium wajah dan leherku, bahkan dua bukit kembar di atas dadaku.

"Kak, jangan…!" aku coba memohon.

Namun, dia seperti srigala kelaparan yang baru mendapatkan mangsa. Dengan bernafsu dia malah menarik gaun tidurku hingga sobek. Gerakannya pun semakin buas sampai nafasku dibuat sesak. Dengan sekuat tenaga kucoba membanting tubuhnya. Namun, Kak Riko yang atletis itu memang bukanlah lawanku. Tenaganya yang kuat membuatku tak berdaya.

Malam itu, aku benar-benar seperti seekor kelinci di mulut srigala kelaparan. Setelah kehabisan tenaga untuk menyelamatkan diri, aku coba mencari pertolongan dengan berteriak. Namun apalah artinya, sebab tangan Kak Riko yang kuat itu telah membekap mulutku dan menguncinya. Karena kalap dibakar birahi, dia bahkan tak perduli ketika telapak tangannya kugigit kuat-kuat. Dia sepertinya tak merasa kesakitan sama sekali.

Yang terjadi selanjutnya tentu gampang diterka. Dengan gairah yang membara, Kak Riko memacuku. Dia sama sekali tak perduli pada rintihan dan tangisku.

Segalanya memang berlangsung begitu cepat. Aku sama sekali tak menyangka kalau Kakak tiriku yang selama ini begitu perhatian dan sangat meyayangiku ternyata telah tega memperkosaku. Malam itu kehancuran begitu jelas membayang dalam pelupuk mataku.

Saat tergolek lemah di atas pembaringanku yang telah bernoda darah perawan, kutampari wajah Kak Riko. Dia hanya meringis menangis sakit.

"Maafkan aku, Lia. Aku hilap!" katanya, getir.

Aku tersudut di dinding kamar dengan air mata yang mengalir deras. Kak Riko meninggalkanku sambil berkali-kali meninju sendiri wajahnya. Dan sejak itu, aku begitu membencinya. Bahkan kemudian aku meminta Mamaku untuk mengirimku ke Bandung, ke rumah Nenekku, dan melanjutkan sekolah di sana.

Mulanya Mama dan Papa tiriku menolak keinginanku untuk pindah ke rumah Nenek ke Bandung. Namun, dengan alasan ingin menjaga Nenek, akhirnya mereka mengijinkannya.

Kak Riko sendiri merasa kebaratan dengan keputusanku itu. "Biar aku saja yang pergi dari rumah ini. Aku bisa pindah ke Jogya dan tinggal bersama Eyang Kakungku di sana," katanya, coba membujukku.

Tapi, aku sudah benar-benar muak dengannya. Apapun yang dikatakannya sama sekali tak membuat sikapku berubah. Bahkan seumur hidup aku tak ingin lagi melihat lelaki bernama Riko Prasetyo, yang dulu kuanggap sebagai seorang kakak yang baik hati terhadap adiknya itu. Dia tidak hanya menyakiti tubuhku dan hatiku, namun dia juga telah menghancurkan masa depanku….

***

Peristiwa pemerkosaan yang terjadi persis di tengah malam itu memang sungguh bagaikan monster yang seumur hidup selalu membuatku ketakutan. Ya, aku mengalami trauma yang sangat dalam, sampai-sampai aku selalu merasa jijik bila membayangkan seorang pria menyentuh tubuhku, dan bermesraan dengannya. Karena itu adalah wajar jika semenjak SMA hingga duduk di bangku perguruan tinggi tak pernah sekalipun aku berpacaran. Padahal, tak sedikit pria yang naksir berat padaku. Namun, jangankan membalas cinta mereka, mimpi ngobrol berduaan dengan mereka saja rasanya begitu menjijikan.

Sampai kemudian aku lulus menjadi Sarjana dan bekerja di sebuah perusahaan agen properti, mimpi untuk mempunyai kekasih itu tak pernah terlintas walau secuilpun. Padahal, menjelang usia 28 tahun, aku sudah sangat pantas menjadi isteri dan ibu dari seorang anak. Tapi apa boleh buat, aku sungguh-sungguh tak berseeara pada lelaki, terlebih bila ingatanku melayang pada kejadian malam itu. Rasanya, semua lelaki adalah makhluk yang sangat kejam dan tak patut diberi perhatian.

Barangkali, pendirianku itu memang salah. Tapi, siapa yang akan mampu mengobati luka hatiku akibat perbuatan Kak Riko yang sedemikian kejam dan menyakitkan? Sungguh, tak seorangpun yang mampu melakukannya. Termasuk Kak Riko, yang akhirnya memilih bekerja dan tinggal di Amerka karena dia mengaku merasa malu dan sangat berdosa telah menodai diriku. Pengorbanan Kak Riko itu sama sekali tak cukup. Apalagi dia tak mungkin bisa mengembalikan kesucian diriku.

Aku telah mengubur dalam-dalam semua mimpi untuk menjalani kehidupan normal sebagai seorang wanita yang bersuami dan melahirkan anak-anak. Persepsiku tentang seks yang menakutkan dan menjijikan itu benar-benar tak dapat diubah lagi. Namun, semua ini akhirnya harus kukaji ulang ketika aku diperkenalkan oleh Nenek dengan seorang pria bernama Gusman. Sikapnya yang begitu simpatik membuatku cukup terkesan kepadanya. Namun, bukan semata hal ini yang membuatku harus bertempur habis-habisan untuk merubah persepsiku tentang seks dan perkawinan. Adalah keinginan Nenek yang membuatku terpaksa harus menyerah.

"Sebelum meninggal, Nenek ingin melihat kau menikah, Lia. Nenek mohon, terimalah ramalan Gusman. Dia anak yang baik dan dari keturunan baik-baik juga. Kakeknya masih memiliki hubungan kerabat dengan keluarga kita," pinta Nenek dengan penuh harap.

Aku tak mungkin bisa melawan keinginan Nenek, sebab dialah yang selama ini menjadi tumpuan hidupku sejak peristiwa malam itu menimpaku. Lagi pula, benar yang dikatakan Nenek. Gusman adalah seorang pria yang baik. Sejak setengah tahun mengenalnya, dan kami sering pergi berduaan, tak pernah sekalipun dia bertindak tak senonon pada diriku. Bahkan, menyentuh wajahku saja belum pernah dilakukannya. Dia begitu menghormatiku. Dia begitu menjunjung drajatku sebagai seorang wanita. Tak hanya itu, dia juga seorang pria yang telah mapan. Taraf pendidikannya cukup tinggi, begitupun dengan status sosial ekonominya. Dia adalah seorang pengusaha muda yang sukses. Dengan ketampanan dan kedudukannya aku yakin dia bisa mendapatkan calon pendamping hidup yang melebihi diriku. Namun, Gusman mengaku tak bisa jatuh cinta ke wanita lain selain diriku.

Lantas, haruskah aku menyamakan Gusman seperti Kak Riko atau pria-pria pengumbar syahwat lainnya?

Aku mencoba untuk bersikap bijak. Setidaknya, aku mencoba menempatkan Gusman sebagai suatu pengecualian. Dengan niat untuk membahagiakan Nenekku yang telah renta, aku memang harus mengubah penderianku selama ini.

Akhirnya, aku menerima lamaran Gusman. Namun, keputusan ini akhirnya melahirkan kegamangan baru dalam diriku. Ya, aku begitu takut jika Gusman yang pria bertipe konvensional itu tiba-tiba mempermasalahkan status keperawananku. Sebagai seorang yang masih kuat memegang tradisi, Gusman tentu akan sangat kecewa bila tahu kalau aku sudah tak perawan lagi akibat kebejatan yang dilakukan Kak Riko di malam jahanam itu.

"Kita kan sama-sama berasal dari keluarga menak (bangsawan Sunda-Red) yang terpandang. Karena itu aku yakin kau seorang gadis yang sangat memegang kehormatan. Ya, aku sangat mendambakan kesucian tubuh seorang wanita seperti dirimu, sebab itu jauh lebih berharga dari apapun."

Kata-kata Gusman itu selalu terngiang-ngiang dalam gendang telingaku. Akupun merasa semakin gamang. Mengapa tidak dari dulu Gusman mengatakan hal itu, sehingga aku tidak dibuat merasa dikejar-kejar kesalahan? Mengapa Gusman mengatakan hal tersebut setelah aku resmi menerima pinangan kedua orang tuanya? Lantas, apakah aku harus membatalkan rencana pernikahan antara aku dengan dirinya?

Tidak mungkin! Kalau hal ini yang kutempuh, berarti aku telah mencorengkan aib di muka keluargaku. Bisa jadi juga ini membuat Nenekku akan sangat kecewa, dan secara langsung berarti juga aku telah melukai batinnya. Lalu, apa yang harus aku lakukan?

Aku benar-benar bingung menghadapi hal ini. Untunglah di tengah kebingungan ini ada Neni, sehabatku semasa kuliah. Dialah yang memberikan solusi padaku. Meski hal itu sangat naif, namun mau tak mau aku harus mencoba jalan keluar yang diberikan Neni.

Kata Neni, dia kenal dengan seorang paranormal yang bisa meracik benda gaib yang berkhasiat untuk mengembalikan keperawanan. Mulanya, aku sangat sulit percaya. Namun, mendengar cerita Neni yang menyebutkan kalau salah seorang sepupunya pernah membuktikan kehebatan benda tersebut, maka aku pun mencoba untuk mempercayainya.

"Sepupuku itu punya kasus yang hampir sama seperti dirimu. Alhamdulillah, semuanya berjalan sukses berkat bantuan paranormal itu," tegas Neni.

"Apa mungkin seorang wanita yang telah diperkosa bisa kembali seperti perawan?" desakku.

"Aku mendengar semua dari mulutnya sendiri. Pokoknya, malam pertamanya sukses, nggak ada komplin dari suaminya yang juga ortodoks seperti Gusman, calon suamimu itu," tegas Neni lagi.

Karena cerita Neni yang begitu meyakinkan, akhirnya aku mau juga berkunjung ke rumah paranormal yang asli orang Banten itu. Singkat cerita, paranormal yang akrab disapa Pak Amung itu memberiku sebuah benda yang disebutnya sebagai Mustika Sutra Garba. Benda itu bentuknya seperti ikat pinggang, atau persisnya angkin yang terbuat dari kain putih. Menurut Pak Amung, di dalam angkin ini terdapat berbagai racikan benda-benda gaib, seperti Buluh Perindu dan Getah Sutra. Cara membuatnya juga tidak sembarangan, melainkan harus dengan lelaku puasa mutih selama 10 hari.

Angkin tersebut harus aku pakai sebelum 40 hari 40 malam sebelum tiba saat pernikahanku dengan Gusman. Jadi, selama 40 hari 40 malam aku harus mengikatkan apa yang disebut sebagai Mustika Sutra Garba itu di pinggangku. Bahkan pada saat duduk di pelaminanpun aku harus memakainya. Pas memasuki malam pertama barulah angkin tersebut harus aku buka.

"Berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, Alhamdulillah hasilnya sukses. Yang penting, kamu harus yakin seratus persen. Mudah-mudahan syareat ini berjodoh denganmu," kata Pak Amung, seperti menebar angin surga.

Walau sedikit agak sinting, aku berusaha keras untuk meyakini kehebatan dari benda video uji nyali bernama Mustika Sutra Garba itu. Alhasil, akupun menggunakan benda itu selama 40 hari 40 malam sampai pas malam pertama. Selama waktu tersebut, aku tak pernah melepaskan benda tersebut, termasuk ketika mandi.

Pas malam pertama, sesuai dengan petunjuk Pak Amung, Mustika Sutra Garba aku lepas sambil berandam di air kembang tujuh rupa yang telah dimantrai oleh Pak Amung. Hasilnya?

Benar-benar menakjubkan. Seprai ranjang pengantinku ternoda oleh darah perawan, dan Kang Gusman, suamiku, benar-benar percaya bahwa mahkotaku ini masih suci.

Entah bagaimana hal ini bisa terjadi. Mungkin, inilah bukti kalau terapi gaib yang dilakukan oleh Pak Amung lewat Mustika Sutra Garba memang benar-benar ampuh. Aku sangat berterima kasih padanya. Berkat kelebihan ilmu Pak Amung, aku terbebas dari ketakutan yang begitu panjang menghantui hari-hariku.

BERSUAMI SILUMAN BUAYA

Penulis: IVAN SURYANA


Kisah video uji nyali ini mirip sebuah legenda yang diyakini kebenarannya. Sulastri, gadis desa itu ternyata bersuamikan pemuda dari bangsa Siluman Buaya....

Seperti biasanya, setiap pagi dan sore Sumi mencuci pakaian dan peralatan dapur di sungai dekat rumahnya. Kebiasaan ini memang telah menjadi kebiasaan penduduk desa yang terletak di pinggiran kali Cimenceuri.
Sore itu, kebetulan air sungai sedang banjir. Ketika sedang mencuci, pandangan mata Sumi tertuju pada sebuah benda hitam yang agak panjang, yang tampak mengambang di dekat pangkalan tempat penduduk biasa mencuci. Tanpa menaruh curiga, Sumi mendekati benda itu. Ketika dia menyentuhnya, mendadak benda itu bergerak. Tapi bukannya menjauh, benda hitam itu malah terus mendekatinya.
Ternyata, benda itu adalah seekor buaya, tapi masih relatif kecil. Mungkin juga masih bayi. Aneh, Sumi bukannya merasa takut, tapi justeru merasa kasihan pada hewan itu. Tanpa berpikir macam-macam, akhirnya wanita desa berwajah ayu ini membawa bayi buaya itu untuk dipelihara di rumahnya.
Sumi menaruh anak buaya temuannya di dalam paso (baskom terbuat dari tanah) besar. Paso itu dia letakkan di bahwa kolong tempat tidurnya yang sederhana.
"Kamu tinggal saja denganku disini. Aku pasti akan merawatmu," bisik Sumi sambil mengusap-usap anak buaya itu, tanpa rasa jijik atau takut ealau sedikitpun.
Entah kekuatan apa yang mendorong Sumi berbuat begitu baik kepada buaya kecil itu. Bahkan, Sumi dengan telaten memberikan makan pada buaya itu di setiap harinya.
Anehnya, sejak memelihara anak buaya itu, kehidupan Sumi yang telah lama menjanda malah berubah serba kecukupan. Padahal, dulu dia hanya mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari. Memang, ada yang aneh dengan Sumi. Kadang-kadang, dengan begitu saja dia mendapatkan uang dalam jumlah relatif besar untuk dirinya yang disembunyikan di bawah bantal tempat tidurnya.
"Aneh, dari mana uang ini?" pikir Sumi. Namun, dia tak pernah mampu menjawab pertanyaan ini.
Sementara itu, hari-hari berlalu, anak buaya yang dipiaranya itu semakin tumbuh besar. Sumi selalu memberinya makan dengan anak ayam yang dibelinya. Setelah anak buaya itu semakin besar, maka apa yang terjadi? Paso yang digunakan untuk memelihara buaya itu kini menjadi sempit, bahkan tak mungkin bisa menampung tubuh si buaya yang tumbuh semakin besar.
Sumi kebingungan dengan kenyataan ini. Akan dikemanakan buaya yang semakin besar itu? Jika dibiarkan di rumahnya, dia takut mengganggu ketenangan hidupnya, bahkan mungkin juga para tetangganya. Namun, jika dibawa ke sungai, dia takut akan diketahui penduduk kampung. Mereka pasti beramai-ramai akan membunuh buaya itu.
Di tengah kebingungannnya, suatu malam, ketika Sumi kebingungan mencari jalan keluar untuk menyelamatkan buayanya, tiba-tiba terdengar bunyi kecipak air disertai suara berisik yang mencurigakan. Sumi yang ketika itu sedang tidur akhirnya terbangun. Dia merasa curiga ada sesuatu yang terjadi dengan buaya kesayangannya. Karena penasaran, Sumi memeriksa keadaan hewan peliharaannya yang sudah dia pindahkan ke dapur, persisnya ke sebuah kolam yang dia buat sendiri.
Begitu mencapai dapur, alangkah terkejutnya Sumi. Dia hampir saja tak percaya melihatnya. Buaya peliharaannya tampak semakin tumbuh besar dari siang sebelumnya, bahkan kolam yang dia buat tak lagi bisa menampungnya. Dan buaya itu tengah bergerak kesana-kemari, sambil membentur-benturkan badannya ke dinding rumah. Untung dinding rumah bagian bawah peninggalan suaminya itu terbuat dari susunan batu bata, meski belum lagi sempat diplester. Kalau tidak, bisa saja rumah itu akan runtuh.
"Apa yang terjadi dengan buaya itu?" tanya Sumi dalam hati. Dia mulai dilanda kecemasan.
Sementara, si buaya terus membentur-benturkan tubuhnya ke dinding. Aneh, bersamaan dengan itu sepertinya ada lempengan-lempengan menyerupai sisik yang tebal di tubuh si buaya yang jatuh berhamburan.
Sumi menyaksikannya dengan cemas. Dia takut buaya itu benar-benar kalap dan menyerangnya. Tentu akan sangat mengerikan. Sumi tak sanggup membayangkannya.
"Sahabatku, mengapa kau marah begini. Kesalahan apa yang telah kuperbuat. Maafkanlah aku kalau aku sudah berbuat salah terhadapmu. Dan aku mohon, hentikanlah kemarahanmu," kata Sumi dengan hampir menangis. Dia sungguh-sungguh takut buaya itu akan merobohkan rumahnya, atau bahkan mungkin akan memangsa tubuhnya.
Namun, apa yang dipikirkan Sumi sama sekali tidak terjadi. Peristiwa selanjutnya malah membuat perempuan yang hampir menginjak usia kepala tiga itu ternganga heran. Dengan dada berdegup kencang dia menyaksikan sesuatu yang sulit dimengerti oleh akal sehatnya.
Ya, lihatlah apa yang terjadi! Beberapa lama setelah membentur-benturkan tubuhnya dan serpihan-serpihan mirip sisik itu berjatuhan, maka perlahan namun pasti hewan melata itu berubah wujud menjadi sosok pemuda belasan tahun yang sangat tampan, dengan sorot matanya yang tajam.
Melihat peristiwa ajaib ini Sumi tersurut beberapa langkah. Dia nyaris tak percaya. Namun, ketika dia menyadari bahwa itu sesuatu yang nyata, dia bermaksud segera pergi meninggalkan tempat itu guna meminta pertolongan.
"Jangan takut padaku, Ibu Sumi!" cegah pemuda jelmaan buaya itu, ketika melihat Sumi akan pergi. Wanita itu segera menahan langkahnya.
"Percayalah padaku. Aku takkan berbuat jahat padamu, malah aku akan menolongmu. Tapi, kau harus berjanji untuk tidak menceritakan kejadian ini pada siapapun, anggap aku ini sebagai anakmu”.
"Baiklah!" jawab Sumi. "Tapi siapa namamu, Nak?"
"Namaku Joko Andelo!" jawab si pemuda.
Ringkas cerita, setelah peristiwa itu, kehidupan Sumi bertambah senang. Hatinya juga selalu bahagia dan terhibur, sebab Joko Andelo terjun ke masyarakat dan disukai banyak orang. Tak hanya wajahnya yang tampan dan gagah. Dia juga ramah kepada siapa saja. Banyak juga gadis desa yang tergila-gila padanya. Salah satunya yang menaruh hati padanya adalah Sulastri, kembang desa tempat Sumi lahir, besar, dan kini tinggal. Ternyata, Joko Andelo juga sangat senang pada Sulastri. Keduanya pun saling jatuh cinta.
Pada hari yang ditentukan, Joko Andelo akhirnya menikah dengan Sulastri dan mereka hidup bersama.
Suatu hari Joko Andelo berkata pada Sulastri, "Sebenarnya Bu Sumi bukanlah ibu kandungku."
"Bukan ibumu?" tanya Sulastri, keheranan. "Lalu siapa ibu kandungmu yang sebenarnya?" Sulastri menatap penuh keingintahuan.
"Ibuku ada di desa seberang. Maukah kau menemui orang tuaku?"
Dengan hati penasaran akhirnya Sulastri menerima ajakan suaminya. Mereka lalu pergi. Mula-mula berjalan menuju seberang sungai Cimanceuri. Dalam perjalanan itu Joko terus menceritakan bahwa di desa tempat tinggalnya sangat menyenangkan, penduduknya ramah, makmur dan sentosa.
Sulastri membayangkan keadaan dimana dia berada di sebuah desa yang amat ramai. Ketika dia sedang bermain di alam hayalnya, tiba-tiba suaminya berada di sebuah muka perkampungan yang sangat asing bagi Sulastri.
"Inilah desa tempat orang tuaku tinggal," ucap Joko pada Sulastri.
Sesaat Sulastri terkejut. Dia hampir tak percaya melihat desa yang tampak begitu makmur. Semua rumah penduduknya bagus, bercat putih bersih.
"Lalu, mana rumah orang tuamu?" tanya Sulastri.
"Sebentar lagi kita tiba!" jawab Joko.
Mereka terus berjalan. Tatapan penduduk semua begitu ramah menyambut kedatangan mereka. Di sana-sini saling menyapa, anak-anak kecil bermain kejar-kejaran. Semuanya kelihatan bahagia.
Joko menuntun isterinya menuju ke sebuah rumah. Begitu masuk, mereka disambut oleh suami isteri yang telah berusia separuh baya. Merekalah ibu dan ayah Joko Andelo.
Sulastri tak tahu apa yang terjadi dengan suaminya. Yang pasti, selama tinggal di rumah mertuanya itu dia merasa betah, jauh lebih menyenangkan daripada tempat tinggalnya. Tetapi dia teringat pada orang tuanya, sehingga Sulastri bermaksud pulang menjenguk mereka. Ketika hendak pulang dan mengajak serta suaminya, Joko tidak mau, karena harus menjaga kedua orang tuanya.
Akhirnya Sulastri memutuskan untuk pulang sendiri. Dia pun berjalan sampai di muka perkampungan, tetapi tiba-tiba dirinya langsung muncul dari hulu sungai Cimanceuri dengan pakaian yang basah kuyup. Betapa terkejutnya dia pada kenyataan ini. Namun, setelah kejadian itu barulah Sulastri tersadar bahwa Joko Andelo, suaminya bukan manusia biasa, melainkan sebangsa siluman.
Setelah pulang, Sulastri bertanya pada Ibu Sumi tentang siapa Joko sebenarnya. Sumi menceritakan asal-usul pertemuannya dengan Joko sampai dia memelihara dan merawat Joko.
Beberapa bulan kemudian, Joko menjemput Sulastri ke rumahnya. Tetapi Sulastri tidak mau ikut, karena dia merasa bahwa alamnya berbeda. Lalu Joko Andelo berpesan pada isterinya, jika Sulastri ingin bertemu dengan dirinya, maka pukul saja beduk, dengan begitu diapun akan datang menemuinya.
Tetapi karena penduduk tempat tinggal Sulastri beragama Islam dan setiap waktu sholat terlebih dahulu memukul beduk, jadi Joko mengunjungi Sulastri sebanyak 5 kali dalam sehari. Maka di sungai Cimanceuri kerap bermunculan buaya. Konon, buaya-buaya itu adalah pengantar Joko ketika pergi dan pulang kembali. Akibatnya, wargapun menjadi resah.
Hingga pada suatu hari, Sulastri melahirkan seorang bayi dan bayi itu diserahkan pada Joko dengan syarat Joko tidak muncul lagi untuk menemuinya.
Begitulah, kini tak ada lagi buaya yang muncul di Kali Cimanceuri sejak ratusan tahun silam peristiwa ini terjadi.
 
Support :