Tampilkan postingan dengan label Ki Dadaptulis. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ki Dadaptulis. Tampilkan semua postingan

VAGINA ISTERIKU DIHUNI LINTAH HIJAU

Penulis : KI DADAP TULIS


Kisah video uji nyali ini sungguh menggetarkan perasaan. Bagaimana bisa vagina seseorang dihuni oleh seekor binatang berupa Lintah Hijau? Apakah ini penyakit, atau mungkin kutukan...?

Ketika kakiku menginjak Bumi Lambung Mangkurat, hatiku langsung terpaut erat di sana. Alamnya yang gemerlap indah dan masih perawan, sungguh telah menawan hatiku. Sungai-sungai, hutan, rawa-rawa, dan bukit-bukitnya begitu elok dan membuatku serasa telah menemukan dunia baru.
Aku pun semakin terikat erat dengan Lambung Mangkurat begitu berkenalan dengan Emalia, seorang gadis Dayak Manyan yang telah merampas jiwaku. Aku begitu mencintai gadis ini, bahkan mungkin dialah cinta pertamaku yang sebenarnya. Karena itu aku ingin segera menikah dengan Emalia, tetapi kawan-kawanku melarang atau paling tidak memperingatkan agar aku berpikir ulang untuk mewujudkan niat itu.
"Emalia bukan seorang gadis, dia tidak perawan lagi!" kata Bonar, mengingatkan.
"Walau Emalia seorang janda, apa salahnya? Aku mencintainya," jawabku, tegas
"Masalahnya, dia telah menjanda empat kali. Kalau kau menikah dengannya, dia akan menajdi janda untuk kelima kalinya!" sahut Damai sambil menepuk bahku.
"Jadi, dia telah beberapa kali menikah?" tanyaku keheranan. Terus terang, baru kali ini aku mendengar informasi itu. Walau aku tahu Emilia berstatus sebagai janda, namun kupikir dia baru sekali menikah. Ya, dia cerai mati karena suaminya meninggal akibat suatu penyakit. Demikian yang pernah aku dengar.
"Kau ini selalu ketinggalan kereta. Makanya, sebelum kau memutuskan untuk menikahi Emilia, lebih baik cari dulu informasi agar kamu tidak terjemurus," tambah si Bonar pula.
"Dari mana kalian tahu semua ini?" tanyaku, penasaran.
"Ya, dari mulut ke mulut!" sahut Ripto yang sejak tadi hanya diam saja.
Ah, informasi mengenai status Emilia yang telah menjanda empat kali ini terus terang sangat mengganggu pikiranku. Aku tidak bisa tinggal diam. Emalia harus kuajak bicara mengenai hal ini. Sebab, jangan-jangan Bonar, Damai, dan juga Ripto hanya ingin memanas-manasiku. Ya, bisa saja mereka bercanda untuk menutup perasaan cemburu.. Kalau ini bernar, sungguh canda mereka sangat keterlaluan.
Hari itu, aku sengaja menemui Emilia dan mengajaknya bicara berdua. Biasanya kami berdua hanya berbincang-bincang di teras rumahnya. Tetapi sekarang aku diajak duduk di sebatang kayu ulin yang tergolek di samping rumah. Di tempat itu kami dapat berbicara tanpa diganggu oleh adik-adiknya yang sangat akrab denganku.
"Abang mau tahu tentan kehidupan masa laluku, bukan?" Emalia mulai membuka pembicaraan. Sepertinya dia sudah bisa membaca perasaanku.
"Bagaimana kau tahu?" tanyaku, heran.
"Setiap calon suami selalu ingin tahu masa lalu calon isterinya. Tidak terkecuali Abang. Ini suatu hal yang wajar, dan aku tidak perlu merasa tersinggung karenanya."
"Benar, Ema. Tapi sebelumnya aku mohon maaf. Semua ini terpaksa aku lakukan, karena aku tidak ingin masa lalumu menjadi kendala kehidupan rumah tangga kita nantinya," jawabku coba bersikap bijak.
"Apa yang ingin Abang ketahui?" tanya Emilia sambil menatapku.
Aku hanya diam tergugu. Batinku sungguh tak tega untuk menanyakan hal yang dipergunjingkan oleh teman-temanku semalam. Aku tak ingin melihat wanita cantik itu bersedih.
"Aku taku apa yang sedang berkecamuk di dalam hati Abang!" kata Emilia seperti menebak. "Ya, pasti Abang sudah mendengar cerita tentang aku yang sudah menikah empat kali? Itu, benar Bang. Aku tidak membantahnya. Dan kalau kita berjodoh, abang adalah suamiku yang kelima. Dan perlu Abang ketahui, keempat suamiku meninggal setelah menikahiku. Paling lama hanya tiga bulan. Itupun mereka hanya berhubungan badan denganku sekali saja. Itulah kisah tentang aku, Bang. Sekarang, terserang sikap Abang bagaimana!"
Seperti layaknya terbius, aku tetap diam seribu bahasa. Tenggorokanku seperti tercekat oleh perasaan yang begitu mengharu di dalam hatiku.
"Sekarang, apa yang Abang perlu ketahui lagi tentang diriku?" tanya Emilia seakan coba mencairkan suasana.
"Ema, apakah kamu punya ilmu atau apa yang dapat mencelakai para suamimu?" aku balik bertanya dengan suara yang agak gemetar. Aku sungguh tak mau menyakiti hatinya.
"Ilmu? Saya tidak punya, Bang! Tapi, semua ini mungkin karena tadirku yang buruk," jawabnya dengan nada sedih.
"Apakah di tubuhmu ada tanda atau semacam gambar seperti tato, misalnya?" pancingku.
"Mengapa Abang tanyakan itu?"
"Soalnya, di Jawa ada perempuan yang setiap kali menikah suaminya pasti meninggal. Mereka disebut Bahu Laweyan. Biasanya, di tubuh mereka ada semacam tato atau tanda bawaan sejak lahir," jawabku.
"Tidak. Tidak ada, Bang. Tubuh Ema mulus, kok. Nanti Abang bisa periksa. Atau kalau Abang mau sekarang juga boleh."
"Tidak, tidak usah. Abang percaya, kok!" jawabku agak kikuk.
Dengan pandangan menerawang, Emilia lalu berkata, "Terus terang, saya juga tidak senang dengan keadaan saya yang aneh ini, Bang. Kalau diibaratkan penyakit, Ema juga ingin sembuh. Ema tidak ingin hanya sebentar bersama Abang. Ema sangat mencintai Abang. Demi Tuhan, Ema takut nasib Abang akan sama seperti nasib suami-suami Ema terdahulu!" air mata Emilia mulia mengalir di atas wajahnya yang halus dan inosen itu.
"Apakah dengan suami-sumai terdahulu Ema tidak mencintainya?"
"Hidup manusia memang penuh misteri, Bang. Bahkan Ema menganggap seperti perjudian. Empat kali menikah, ada empat alasan mengapa Ema menganggap bahwa Abang adalah jodoh Ema. Sejak pertama kali melihat Abang, Ema percaya bahwa Abang adalah ayah dari anak-anak Ema nanti. Terus terang, pernikahan Ema sebelumnya adalah karena orang tua semata."
"Baiklah kalau begitu. Abang akan berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya yang terjadi dalam dirimu. Kalau sudah ketemu penyebabnya pastilah ada jalan keluarnya," kataku sambil menyusut air matanya yang telah menganaksungai di atas wajah cantiknya. Untuk menenangkannya, kubiarkan Emilia larut dalam pelukanku.
***

Akhirnya, aku berpamitan pulang ke kampung halamanku di Jawa Tengah. Sebelum berpisah Ema menghadiahiku ciuman di pipi. Lembut dan sejuk. Ah, cinta yang teramat dalam membuatku begitu merasakan ketulusan di dalam hati Emilia. Dan tekadku kian mantap untuk mencari jalan keluar atas apa yang dialami oleh wanita yang sangat aku cintai itu.
Selama di kampung, waktu senggangku kuhabiskan untuk mencari tahu penyakit apa sebenarnya yang bersarang di tubuh calon isteriku itu. Namun hampir semua orang pintar yang kutanya selalu menggelengkan kepalanya. Tidak tahu apa yang ada dalam diri Ema. Alhasil, usahaku mencari tahu itu akhirnya gagal. Dan aku memutuskan untuk kembali ke Lambung Mangkurat. di tempat ini aku bekerja di perusahaan penebangan kayu yang beroperasi di pedalaman Kalimantan Tengah. Tepatnya di Tumbang Samba, beberapa kilometer sebelum Rantau Asem. Sedangkan Ema tinggal di Banjarmasin. Kami bertemu tiga bulan sekali di saat aku ke Kantor Pusat untuk menyampaikan laporan Triwulanan.
Aku tak ingin berputus asa. Setibanya kembali di Kalimantan, aku terus mencari informasi ke oang pintar di sana. Namun, sejumlah sesepuh orang Dayak di sepanjang Sungai Katingen yang sudah kutanyai, tidak ada seorang pun yang dapat memberikan jawaban yang memuaskan.
Setelah berkeliling tanpa hasil, akhirnya aku nasib mempertemukanku dengan seorang Kyai di daerah Kota Kandangan. Menurut silsilahnya, beliau masih keturunan Kyai yang dulu datang dari Kerajaan Demak membantu Pangeran Samudera. Beliau adalah Kyai Abdullah Syafei.
"Saya heran. Setelah setelah sekian puluh tahun saya tidak mendengar adanya kasus seperti ini, sekarang muncul lagi di Banjarmasin," kata sang Kyai setelah mendengar suluruh rangkaian cerita yang aku tuturkan mengenai Emilia.
"Sebenarnya apa yang tengah dialami oleh calon isteri saya itu, Kyai. Penyakit atau kutukan?" tanyaku setengah mendesak.
"Begini, agar lebih jelas lagi, saya kira calon isterimu ajaklah kesini. Dengan demikian aku dapat memastikan apa yang tengah dialaminya," kata Kyai Abdullah Safei.
"Baiklah, Kyai. Besok Emalia akan saya ajak menghadap Kyai. Lebih cepat lebih baik." kataku menyanggupi.
Setelah berpermitan saya lalu kembali ke Banjarmasin. Setibanya di Banjarmasin, aku temui Emilia dan kuceritakan prihal pertemuanku dengan Kyai Abdullah. Akhirnya, Emalia mau berobat ke Kyai Abdullah di Kandangan.
Hari itu, kami kembali bertatap muka dengan Kyai Abdullah. Setelah berbincang-bincang sejenak, Emalia diminta untuk keluar sebentar. Setelah dia keluar, Kyai memintaku agar segera menikahi Emalia.
"Apakah tidak berbahaya, Kyai?" tanyaku sedikit kuatir.
"Tidak! Hanya kamu yang dapat menyembuhkan calon isterimu itu. Dengan menikahinya secara resmi, kamu telah menjadi suaminya, maka kamu dapat menghilangkan penyebab penyakit calon isterimu itu," jelas Kyai Abdullah.
"Bagaimana mungkin, Kyai?" desakku.
"Ketahuilah, di rahim calon isterimu itu dihuni oleh seekor binatang langka berwujud Lintah Hijau. Binatang itu suka sekali menghisap air mani. Dia akan menempel ke ujung penis yang masuk ke dalam, maaf, lubang vagina," jelas Kyai lagi.
"Kenikmatan yang luar biasa akan dirasakan oleh suami tanpa menyadari adanya bahaya yang mengancam jiwanya. Sewaktu menghisap sperma ludah Lintah Hijau yang sangat beracun itu memasuki tubuh korbannya melalui saluran sperma atau saluran kencing. Akibat pertama yang dialami korban adalah impotensi total. Bekerjanya racun itu sangat hebat dan cepat. Tidak lebih dari empat jam si korban sudah dibuat tidak berdaya. Kemudian menjalar ke seluruh tubuh dan menghancurkan sistem kekebalan tubuh," tambahnya membuat bulu kudukku merinding.
"Bagaimana orang tega melakukan kekejaman seperti itu, Kyai?" tanyaku sambil menekan perasaan.
"Sebenarnya Lintah Hijau itu tadinya dimaksudkan untuk mencegah perselingkuhan. Siapa yang berhubungan dengan isterinya tanpa mengetahui bahwa isterinya dihuni Lintah Hijau, dalam waktu yang sangat singkat akan meninggal."
"Apakah Kyai tahu bagaimana Emalia memiliki itu?"
"Warisan orang tua. Ketika ibunya meninggal Emalia masih kecil. Lintah Hijau akan keluar dari sarangnya begitu yang dihuni meninggal. Maka oleh ayahnya Linta Hijau itu diambil dan dimasukkan ke dalam vagina anaknya. Sayang sekali sebelum sempat memberitahukan keberadan Lintah Hijau dan penangkalnya ayah Emalia menyusul isterinya. Meninggal."
"Apakah Kyai sudah punya penangkalnya?" tanyaku.
"Belum. Baru akan saya buat. Nanti akan kuberkan kepadamu menjelang kalian menikah."
Ringkas cerita, aku dan Emalia sudah menetapkan hari pernikahan. Satu minggu menjelang hari H, aku kembali ke Kandangan untuk mengambil penangkal Lintah Hijau itu. Aku tidak tahu terbuat dari bahan apa. Sepintas seperti fosfor. Ya, bubuk berwarna hijau. Bila di tempat gelap tampak menyala. Wadahnya berupa botol kaca bergaris tengah 5 cm dengan panjang 12 cm.
Akhirnya, kami menikah. Pestanya cukup meriah. Setelah pesta usai kami berdua mendapat kesempatan untuk menikmati malam pertama. Tentu saja aku punya tugas untuk membebaskan isteriku dari Lintah Hijau terkutuk itu.
"Demi kebahagian kita, turuti saja perintahku. Aku tidak mungkin membuatmu menderita," bisikku dengan mesra.
"Terserah Abang saja, asal Abang bahagia!" jawabnya dengan suara bergetar.
Aku mulai bereaksi sesuai petunjuk Kyai Abdullah. Lampu kamar kumatikan. Untuk sekejap aku tidak mampu melihat apapun. Kemudian aku naik ke ranjang. Kubisikan ke telinga isterku agar melapaskan pakaiannya. Ia menurutinya.
Kemudian kaki isteriku sedikit kutekuk, lalu kusuruh dia dalam posisi mengangkang. Dengan cepat botol yang berisi bubuk hijau itu kubuka tutupnya lalu kuletakkan di depan kemaluan isteriku. Di dalam gelap bubuk hijau tampak menyala.
Tidak sampai sepuluh menit kemudian, kulihat kemaluan isteriku memancarkan warna hijau terang. Dari lubang kemaluannya keluar seekor Lintah berwarna hijau terang. Makhlun aneh itu bergerak perlahan menuju ke botol yang kutaruh di depan kemaluan isteriku. Seorang tersedot oleh bubuk di dalam botol, makhluk itu terus masuk ke dalamnya.
Begitu Lintah itu memasuki botol sampai di tengah, segera kututup botol itu dan kumasukkan ke dalam kantong hitam yang sudah disiapkan oleh Pak Kyai. Lalu, kupeluk isteriku dengan penuh haru.
Semalaman itu kami hanya tidur sambil berpelukan. Tidak ada nafsu. Yang ada hanya cinta kasih dan sayang. Aku sangat bahagia sebab telah membebaskan isteriku dari "penyakit" atau boleh disebut sebagai "kutukan" yang maha dahsyat.
Setelah beberapa hari meminum ramuan dan membersihkan kemaluan air pemberian Kyai Abdullah, barulah kami dapat berhubungan badan. Dan kami hidup bahagia sampai sekarang...

"BURUNGKU" DISANDERA ISTERIKU

Penulis : KI DADAPTULIS


Bagaimana penis bisa disandera? Bukankah onderdil ini selalu melekat di tempatnya. Kalau disandera, berarti harus dilepas. Bagaimana mungkin bisa terjadi? Kisah video uji nyali ini pernah menimpa seorang pria di Kalimantan. Pelaku peristiwa menuturkannya....

Saya adalah seorang sopir. Penghasilan saya sewaktu bekerja di Jawa kurang memuaskan. Walau saya masih bujangan, kebutuhan hidup saya cukup besar. Apalagi saya masih mempunyai tanggungan empat orang adik yang harus saya biayai sekolahnya.
Ayah sudah meninggal, sedangkan ibu hanyalah seorang buruh tani. Maka ketika ada tawaran bekerja di Sumatera dengan gaji yang cukup tinggi, saya tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut.
Empat tahun di Sumatera saya rasakan hasil jerih payah saya. Sawah yang tergadai sewaktu ayah sakit dapat kami tebus. Saya merasa betah bekerja sebagai pengemudi loging truck. Selain hasilnya lumayan, saya tidak pernah berurusan dengan polisi. Jauh berbeda bila dibandingkan ketika bekerja sebagai sopir bus.
Ketika perusahaan membuka areal baru di Kalimantan Tengah, saya termasuk salah satu karyawan yang dengan sukarela pindah ke sana. Menurut perhitungan saya, areal baru penebangan tentu kayunya masih cukup banyak sehingga hasil yang saya peroleh pasti juga cukup besar. Selain itu jarak antara tempat penebangan dengan tempat penampungan kayu masih sangat dekat. Minimal dua belas rit sehari bisa saya angkut, dengan demikian penghasilan akan berlipat ganda.
Saya termasuk anak muda yang pandai bergaul. Buktinya, tidak lama tinggal di camp baru, tepatnya di Kampung Rantau Asem yang berada di hulu sungai Katingan, saya telah banyak kenal sesama anak muda penduduk setempat. Salah satunya adalah Emi, gadis Dayak Ngaju yang menurutku cantik jelita, dengan kulitnya yang khas, kuning langsat.
Emi memang begitu menggodaku. Karena itu, tidak perlu berlama-lama pacaran, saya dan Emi memutuskan untuk segera menikah. Lamaran dilakukan oleh Manager Camp, yang mewakili keluargaku yang tidak dapat hadir. Maklumlah, Ibuku sudah terlalu tua untuk melakukan perjalanan jarak jauh, sedangkan adik-adikku semuanya sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing.
Seperti kebiasaan adat penduduk setempat pada waktu itu, aku harus menyerahkan barang-barang elektronik seperti radio, tape recorder dan peralatan dapur sebagai mas kawin.
Pesta pernikahan cukup meriah walaupun sangat sederhana menurut ukuran penduduk setempat pada umumnya. Aku sangat bahagia dapat menyunting gadis Dayak Ngaju yang menjadi incaran banyak pemuda di kampungnya.
Setelah menikahi Emi, hari-hariku penuh madu kemesraan. Dari pagi sampai sore aku bekerja mengangkut kayu dari hutan ke Log-pond (tempat penumpakan kayu). Dan malam harinya kuhabiskan waktuku bersama Emi.
Sebagai lelaki muda, aku banyak pengalaman dengan gadis-gadis di kota. Tetapi bila dibandingkan dengan Emi, isteriku, mereka bukanlah tandingannya. Emi menyimpan daya seks yang luar biasa.
Kalau saja aku tidak rajin minum air pasak bumi, mungkin aku sudah terkapar lemas setiap pagi. Bayangkan, hampir setiap malam kami selalu bercinta dan bercinta. Nyaris sepanjang malam.
Waktu berputar begitu cepat. Tidak terasa sudah lima tahun aku menikah dengan Emi. Tetapi sampai saat itu kami belum dikaruniai momonngan. Aku dan Emi tidak mempermasalahkan hal ini.
Kami menikmati saja hari-hari yang ada. Sampai akhirnya datang malapetaka itu. Pada suatu hari datang sepucuk surat dari Jawa. Persisnya dari Ibuku. Tentu saja yang menulis bukan Ibuku, tetapi adik perempuanku yang masih tinggal bersamanya, sebab adikku yang lain mengikuti suaminya masing-masing di lain kota.
Surat berbahasa Jawa itu isinya meminta agar aku segera pulang ke Jawa. Aku akan dinikahkan dengan gadis pilihan Ibu dengan maksud agar dapat mempunyai keturunan.
"Gadis Dayak itu tidak dapat memberimu anak. Sedangkan Ibu sangat ingin untuk menimang cucu darimu," kata Ibu dalam surat itu.
Aku sangat bingung. Ada perang batin yang begitu dahsyat berkecamuk dalam dadaku. Di satu sisi aku sangat mencintai Emi, dan di sisi lain aku juga sangat sayang serta hormat kepada Ibuku. Aku tidak mampu memilih. Itulah sebabnya aku meminta pendapat Pak Slamet, Manager Camp.
"Memang tidak mudah untuk mengambil keputusan dalam kasusmu ini. Yang saya herankan, mengapa Ibumu begitu mudah membuat keputusan untuk mengawinkan kamu dengan gadis pilihannya. Bagaimana seandainya hal seperti itu menimpa dia pada waktu mudanya," kata Pak Slamet.
"Saya sangat mencintai Ibu saya. Tetapi saya juga mencintai Emi. Ibu sangat dekat dengan saya. Walau anaknya lima tetapi saya yang menjadi anak kebanggaannya. Tetapi seharusnya ibu musyawarah dulu dengan saya sebelum mengambil keputusan," kataku menggumam seperti berbicara dengan diri sendiri.
"Emi tahu tentang ini?" tanya Pak Slamet.
"Tidak, Pak. Saya tidak mempunyai keberanian untuk berterus terang kepadanya," jawabku.
"Bagus. Tidak ada perempuan yang mau dimadu. Apalagi dicerai. Sebaiknya Emi jangan tahu."
"Lalu, apakah saya tidak usah pulang?"
"Pulanglah. Kau harus menjadi anak yang berbakti. Berilah Ibumu pengertian. Yang menentukan kita punya anak atau tidak itu adalah Tuhan. Kapan kita punya anak, rizki kita, bahkan ajal kita. Hanya Allah yang berhak menentukan."
"Alasan apa yang harus kusampaikan kepada Emi, Pak?"
"Banyak alasan. Bilang saja ada keluarga yang sakit, meninggal, menikah atau apa saja."
"Kalau dia mau ikut?"
"Bilang saja kamu tidak punya biaya. Lagipula kamu harus buru-buru sebab cutimu cuma seminggu."
"Baiklah. Saya akan coba!"
Aku meninggalkan ruangan Pak Slamet dengan masih diliputi berbagai persoalan.
Sore harinya, ketika sampai di kamarku, Emi menangkap kemurungan wajahku. Kegundahanku tidak dapat kusembunyikan.
"Ada persoalan apa, Mas?" tanya Emi lembut sambil membelai rambutku.
"Aku dapat surat dari Jawa!" jawabku.
"Lho, cuma surat saja kok dibuat sedih."
"Aku disuruh pulang karena ada yang sakit. Aku tidak punya uang."
"Simpanan kita tidak cukup?"
"Cukup kalau untuk aku sendiri."
"Kalau begitu, Mas pulang sendiri saja," kata Emi, sekaligus membuat batinku lega.
Namun, rupanya Emi curiga ada sesuatu yang tidak beres. Begitu aku berangkat, Emi membawa surat itu ke Pak Slamet.
"Surat ini isinya apa, Pak?" tanya Emi.
"Baca saja. Kamu kan bisa membaca," jawab Pak Slamet.
"Saya bisa membacanya, tetapi tidak mengerti maksudnya," jawab Emi.
"Mengapa?"
"Tidak tahu bahasanya. Pakai Bahasa Jawa, ya?"
Pak Slamet pura-pura membaca. Kemudian dia mengatakan kepada Emi bahwa ada keluargaku di Jawa yang sakit. "Kamto disuruh pulang karena ada yang sakit." begitu bohong Pak Slamet.
Emi rupanya tidak puas dengan jawaban Pak Slamet. Kemudian dia meminta tolong kepada salah seorang isteri karyawan yang lain, entah siapa sampai sekarang aku tidak tahu. Di situlah Emi tahu kalau aku akan dikawinkan dengan perempuan lain karena Emi dianggap tidak mampu memberiku keturunan.
Emi memang pemain watak nomor satu. Dia tidak menunjukkan tanda-tanda cemburu. Keberangkatanku diantar dengan senyum manisnya. Perlu juga saya sampaikan kepada pembaca, bahwa malam sebelum keberangkatanku kami bercinta hampir sepanjang malam, Emi menunjukkan gairahnya yang luar biasa.
Setiba di Banjarmasin saya naik pesawat menuju Surabaya. Di Juanda inilah aku mengetahui kalau "Burung" ku lenyap. Waktu itu aku ingin buang air kecil. Sudah sejak ada di atas pesawat kutahan hajat ini.
Begitu aku berada di kamar kecil dan aku membuka celanaku, aku tidak melihat "burung" kesayanganku itu. Tentu saja aku panik. Kemana gerangan? Aku tak habis pikir.
Agar cepat sampai, aku memilih menyewa taksi ketimbang naik bus menuju Jawa Tengah. Tepatnya di Boyolali.
Begitu tiba di rumah aku menubruk Ibuku meraung menangis di pangkuannya.
"Ono opo, Le. Teko-teko kok nangis (ada apa, nak. datang-datang kok nangis)?" tanya ibuku sampai mengelus-elus rambut kepalaku.
"Anu, Bu...Barang saya hilang, Mbok!" jawabku seperti anak kecil.
"Ya, sudah. Barang hilang tidak usah ditangisi. Bila ada rezeki nanti beli lagi."
"Barang yang hilang ini tidak bisa dibeli, Mbok. Tidak ada yang jual."
"Barang opo to, le. Kok tidak ada yang jual."
"Barang ini lho, Mbok!" jawabku sambil tanpa malu-malu melorotkan celanaku.
Di bawah rimbunnya semak-semak hitam tidak ada barang yang biasa bertengker disitu. Tentu saja Ibuku dan yang hadir menjadi seperti orang linglung. Heran bercampur bingung. Pamanku menyarankan agar aku dibawa ke "orang pintar". Aku pun menurutinya.
Namun, entah sudah berapa orang tua di daerahku yang kami datangi tetapi tidak ada satupun yang dapat memberikan solusi yang memuaskan.
Akhirnya aku pergi ke Klaten. Persisnya ke rumah mantan Kepala Kantor sebuah perusahaan swasta di Banjarmasin. Beliau bukan paranormal atau sejenisnya, tetapi sangat berpengalaman dalam hal-hal seperti itu.
Setelah berbasa-basi sebentar, pamanku menyampaikan maksud kami. Aku menceritakan sedikit gambaran mengapa aku pulang ke Boyolali. Mendengar ceritaku Pak Adi, orang pintar itu tertawa lebar.
"Saya kira apa yang pernah saya dengar itu hanya dongeng atau sekedar lelucon. Ternyata memang benar-benar ada. Kalau begitu jangan khawatir," kata Pak Adi.
"Jangan khawatir bagaimana. Lha wong "burung" hilang kok. Ini serius, Pak!" sergah pamanku.
"Begini. Dik Kamto apakah berniat menceraikan Emi?" tanya Pak Adi.
"Tidak. Saya tidak mungkin menceraikan Emi, Pak. Saya sangat mencintainya!" jawabku, tegas.
"Kalau begitu cepatlah kembali ke Camp Rantau Asem. Kamu akan mendapatkan kembali barangmu yang hilang itu!"
"Apakah betul, Pak?" aku penasaran.
"Saya jamin seratus persen!" tegas Pak Adi.
Tidak ada jalan lain kecuali aku harus segera kembali ke Rantau Asem, Katingan, Kalimantan Tengah. Menyadari keadaan yang aku alami, sampai aku kembali ke tempat kerja tidak ada pembicaraan mengenai pernikahan yang diinginkan oleh Ibuku.
Singkat cerita, aku telah tiba kembali di Rantau Asem tempatku bekerja. Namun sesampainya di sana, ternyata isteriku tidak ada di barakku. Dia pulang ke kampungnya, yang memang tidak begitu jauh dari camp. Aku pun segera menyusulnya ke sana
Emi memang pemain watak yang sempurna. Setiba di rumah mertua aku disambut isteriku dengan hangat. Inilah yang membuatku tidak bisa melupakannya.
"Mas, ketinggalan burung, ya?" tanyanya manja.
"Aku sangat khawatir, Em!" jawabku sambil memeluknya dengan gemas.
"Tidak usah khawatir. Barang mas tersimpan rapi kok. Ada di sini!" kata Emi sambil menunjukkan stoples berisi sesuatu. Astaga! Sulit dipercaya. Ternyata isi toples itu adalah "burungku" yang nampak teronggok tak berdaya. Dengan santai Emi mengambil barang itu lalu menempelkannya ditempatnya. Burungku pun kembali bertengger di sangkarnya semula.
Ajaib, mengherankan, tak masuk akal! Dan entah kata apa lagi yang dapat kuucapkan. Tetapi itulah kenyataannya. Entah ilmu apa yang telah digunakan oleh Emi untuk melakukan tindakan yang sangat ajaib itu. Hingga kini aku tak mengetahuinya. Namun yang pasti, hal seperti ini kerap terjadi dan dilakukan oleh suku Dayak Ngaju.
Walau sampai sekarang aku dan Emi tidak dikaruniai anak, kami tetap bahagia. Kami hidup dalam bulan madu setiap hari. Soal anak, biarlah Tuhan yang akan mengaturnya.
 
Support :