Tampilkan postingan dengan label Mawan Suganda. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Mawan Suganda. Tampilkan semua postingan

Ayahku Ternyata Siluman Babi

Tak ada siapa-siapa dalam kamarku. Yang ada hanya seekor babi yang perutnya terburai. Dan, dia adalah ayahku......

Setelah menekuni studi selama enam tahun, hari itu aku pulang ke desa kelahiranku. Sepanjang perjalanan dari Bandung, hatiku dibuai perasaan gembira dan bahagia yang tiada taranya. Betapa tidak, aku kembali dengan mempersembahkan gelar kesarjanaan, jelasnya Insinyur Pertambangan. Alangkah senang dan bahagianya hati ayah, karena segala jerih payahnya tidak sia-sia, begitu benakku. Anak yang dibanggakannya di kalangan keluarga dan teman sejawat, telah memperoleh kemenangan dalam studinya.
Namun, alangkah terkejutnya aku, ketika lepas maghrib tiba di rumah. Nampak banyak sosok-sosok tak jelas diantara warga desa yang memegang tombak, parang, arit, dan tali penjerat. Hatiku berdetak tidak karuan. Ada apa sebenarnya? Demikian pikirku. Beberapa belas meter di depan rumah, langkahku terhenti ketika terdengar suara raungan nyaring yang menyayat hati. Setelah kudengar dengan seksama, dapat dipastikan bahwa yang menangis itu adalah ibuku sendiri.

Apa yang telah terjadi, pikiranku semakin cemas. Apakah ibu menangis karena kematian ayah? Aku segera menghambur masuk ke dalam rumah. Tapi dipintu, ibuku sudah menyambutku, memelukku erat sekali sambil menangis meraung-raung. Kubiarkan dulu ibu menangis, agar beban yang menghimpit dadanya bisa sedikit berkurang.
“Mana ayah, bu?” Tanyaku kemudian setelah ibu menghapus air matanya.
“Karena ayahmulah, makanya ibu menangis tadi, An,” sahut ibu.
“Lantas, sebenarnya apa yang terjadi atas diri ayah, Bu?” Desakku semakin penasaran.
Tapi ibu terdiam, kemudian menundukkan kepala. Beberapa sesepuh desa yang kukenal, seperti Mbah Kardi, Mbah Sudirun, Mbah Karta dan lain-lain, termasuk Kepala Desa pak Soleh, juga terdiam diri dan hanya memandangiku. Kelihatannya mereka seperti bingung, tidak tahu apa yang harus diperbuat.
Ketika kutanyakan lagi di mana ayah, ibuku berpaling ke arah kamar. Kamar dalam rumah kami, hanya ada dua. Yang dekat dapur, itu adalah kamar ayah dan ibu. Sementara kamar yang satu lagi, dulu adalah kamarku.
Aku segera berlari menuju ke kamar ayah. Tapi ternyata kosong. Lalu aku keluar dan masuk ke kamar sebelahnya, bekas kamarku. Dalam kamar itu sudah tidak ada lagi ranjangku dan lemari pakaian. Dan di sudut kamar yang sudah kosong itu, kulihat seekor babi agak menyandar ke dinding. Perutnya luka, dan darah masih terus menetes. Yang mengherankan, pada sudut matanya tampak ada butiran-butiran air yang jernih.
Aku terbodoh-bodoh menyaksikan binatang tersebut. Kemudian aku membalikkan tubuh, berjalan dengan tergesa untuk menemui para sesepuh desa yang duduk diatas tikar seperti laiknya orang yang akan kenduri.
“Mana ayahku?” Tanyaku setiba di hadapan mereka.
“Apakah tak kau temukan di dalam kamar tadi?” Ujar pak Soleh.
Aku menatap kepala desa dengan perasaan diliputi keheranan.
“Tak ada siapa-siapa di dalam kamar,” kataku memastikan. ”Yang ada hanya seekor babi.”
“Dialah ayahmu, Andi,” ujar Mbah Kardi.
Mendengar keterangan itu kontan aku melongo, dan mata terbeliak. “Apa? Ayahku babi?” Tanyaku perlahan.
“Begitulah kenyataannya, An,” ujar kepala desa. “Kebetulan sekali malam ini kau pulang. Bertepatan dengan kejadian yang telah menggegerkan desa kita.”
“Jadi, ayahku babi?” Ulangku bagaikan tak yakin.
“Ya, ayahmu ternyata siluman babi, dan dia tidak berdaya sekarang. Dia terluka.”
“Ditombok?” Tanyaku.
“Kami tidak menyangka, bahwa babi yang menyusup ke desa kita adalah babi siluman, An. Kami memburunya, mengepung untuk mengusirnya. Tapi binatang itu melawan. Karena itu tidak ada pilihan lain, kecuali menombaknya. Dan kami terkejut sekali setika menyaksikan babi itu tidak lari kemana-mana, melainkan ke dalam rumah kalian. Aneh, bukan? Nah, dari keterangan Mbah Kardi, barulah kami tahu bahwa babi itu adalah ayahmu.”
Aku masih penasaran, namun kenyataan itu tidak dapat dibantah lagi.
“Kami sekarang sedang menunggu pemulihan jasad ayahmu, Andi,” imbuh kepala desa. “Kalau memang benar ayahmu siluman babi atau pemilik ilmu pesugihan babi ngepet, tentu dia akan berubah ujud kembali sebagai manusia menjelang kematiannya.”
Tiba-tiba terdengar lagi pekik ibuku, memanggil-manggil nama suaminya atau ayahku, dari dalam kamar. Bersamaan dengan itu kami menyerbu ke dalam kamar. Kemudian kami semua terdiam diri, memperhatikan dengan seksama apa yang bakal terjadi. Sementara itu ayahku, Subadi, tetap tak beranjak dari posisinya semula, seperti saat pertama kulihat tadi.
Keadaan terasa semakin mencekam ketika Mbah Kardi keluar dan masuk lagi sambil membawa pedupaan yang baranya dari tempurung kelapa. Dupa itu diletakkannya tepat di tengah-tengah pintu kamar. Kami segera menyingkir agak ke tepi, merapat ke dinding kamar.
Ketika kemenyan terbakar dan asapnya menyeruak memenuhi kamar, kami mendengar suara tangisan ayahku yang sangat menyayat hati. Mbah Kardi lalu meminta segelas air putih yang ke dalamnya sudah dimasukkan daun waru dan reramuan lainnya. Ibuku segera membawakannya, kemudian diletakkan di depan pedupaan. Sementara Mbah Kardi masih terus berkomat-kamit sambil memejamkan mata.
“Nasibmu telah ditentukan, Badi. Nasib yang kau pilih sendiri,” ujar Mbah Kardi kemudian seperti berkata pada diri sendiri. Tak lama, kelihatanlah perubahan sosok tubuh babi itu menjadi Subadi, ayahku. Namun luka di perutnya tidak hilang. Luka itu sangat parah, telah merobek perut dan memutuskan usus.
“Apa tak bisa lukanya disembuhkan, Mbah?” Tanya ibu.
Mbah Kardi menggeleng. “Suamimu malah sudah tidak bisa bicara lagi, Inah,” katanya kemudian.
“Kini apa yang harus kita lakukan?” Tanya ibu lagi.
Mbah Kardi mengangkat pundak. Lalu katanya, “tidak ada yang dapat kita lakukan lagi untuknya.”
Mendengar itu ibuku menangis lagi meraung-raung. “Mas Badi, lihatlah anakmu Andi sudah pulang,” teriaknya.
Ayah menatapku dengan pandangan sayu sekali. Bibirnya bergerak-gerak seperti mengatakan sesuatu. Tapi suaranya tidak pernah kedengaran lagi.
“Aku Andi, ayah,” kataku mempertontonkan diri.
“Aku telah lulus, Ayah. Aku telah jadi sarjana, seperti yang Ayah inginkan.”
Aku ingin ayahku gembira menyambut keberhasilanku. Tapi ia tak dapat mengatakan apapun lagi, selain mengangguk-angguk dengan mulut terkatup rapat.
Tak lama setelah ibu menjerit, ayah menutup mata untuk selama-lamanya. Perasaan malu bahwa ayahku babi siluman, kubuang jauh-jauh ketika aku ingin menyempurnakan penguburannya. Kebetulan, tak ada pula orang-orang desa kami, para sahabat dan handai tolan yang menyindirku. Mereka semuanya menyatakan ikut berduka cita dengan kematian ayah, biarpun ayahku ternyata babi ngepet.
Sesudah selamatan hari ke tujuh, aku mendatangi Mbah Kardi dan kepala desa. Aku meminta maaf atas kejadian yang telah menimpa ayahku. Selain itu, kepada mereka aku mohon doa restu, karena beberapa hari lagi akan pergi untuk memenuhi panggilan tugas di luar Jawa.

(Kisah video uji nyali ini seperti yang dituturkan Andi, nama samaran)

AMNE MACHEN GUNUNG SILUMAN PENEBAR KUTUKAN

Penulis : MAWAN SUGANDA


Gunung ini disebutkan sebagai yang tertinggi di dunia. Namun, tak semua orang yang bisa melihatnya. Malah celakanya, mereka yang melihat gunung ini akan mati secara misterius....

Menurut sebuah sumber yang sangat terpercaya, di wilayah perbatasan antara Tibet dan Cina, terdapat sebuah gunung siluman yang sangat misterius. Dikatakan misterius, karena gunung ini benar-benar aneh bin ajaib.
Namanya Gunung Amne Machen. Gunung yang hanya memperlihatkan diri sewaktu-waktu ini telah lama menggoda banyak kalangan untuk membuktikannya. Anehnya, Gunung ini diyakini hanya akan menampakkan wujudnya kepada orang-orang tertentu saja. Konon, Amne Machen ini seribu kaki lebih tinggi dari Mount Everest, puncak tertinggi di dunia.
Seperti kita ketahui, Mount Everst yang sendiri terdapat di pegunungan Himalaya, yang dianggap sebagai gunung paling tinggi di dunia. Jadi dapat dibayangkan, betapa tingginya Gunung Amne Machen itu.
Penduduk di sekitar lereng Himalaya yang pada umumnya akan enggan untuk mempercakapkan gunung yang satu ini. Pasalnya mereka takut kualat, karena Amne Machen dianggap sebagai gunung angker penebar kutukan. Mereka meyakini, siapa yang sempat melihat keberadaan Amne Machen, maka tidak lama kemudian dia akan mengalami malapetaka yang sangat tragis. Lebih-lebih bila yang melihat itu adalah orang kulit putih atau orang Barat.
Menurut sebuah cerita, Jenderal Pereira, tentara Inggris yang sudah purnawirawan, mati mendadak tidak lama setelah dia melihat Gunung Amne Machen.
Dikisahkan, dalam perjalanan dari Shanghai menuju Laut Kaspia, Pereira sempat singgah hingga beberapa lama di dataran Tibet. Di sini dia mendengar tentang gunung aneh Amne Machen. Karena sangat penasaran, Pereira bertekad untuk mencarinya sampai ketemu. Dia bahkan bersumpah tidak akan pulang ke negaranya sebelum membuktikan sendiri cerita kuno yang telah tumbuh secara turun-temurun itu.
Setelah beberapa lama, apa yang didambakannya itu jadi kenyataan juga. Pada suatu hari, Pereira berhasil melihat Gunung Amne Machen pada jarak ratusan mil dari suatu tempat yang tinggi di sebuah bukit di sekitar Himalaya. Menjulang ribuan kaki ke atas, dinding gundul sebuah gunung raksasa terlihat berselimutkan awan.
Menurut catatan Pereira, gunung tersebut tmapak sedemikian tinggi, sehingga dalam menatapnya Pereira seperti kehilangan nafas, sehingga dia meyakini bahwa gunung ini tingginya memang sangat sulit dibayangkan atau diukur. Apalagi sebelum melihat pemandangan ini, Pereira adalah seorang yang pernah menjelajahi banyak benua. Dia pernah menyaksikan Canadian Rockies, pernah mendaki puncak Himalaya, bahkan juga pernah menagkulan pegunungan Andes di Amerika Selatan yang bersuhu sangat ganas itu.
Namun tak ada yang membuatnya gugup sampai sedemikian rupa dan takjub luar biasa, seperti pada saat dirinya melihat Amne Machen. Bahkan dalam catatannya, Pereira memastikan bahwa itu adalah gunung yang paling hebat di antara gunung-gunung yang pernah disaksikannya.
Segera melihat dengan mata kepala sendiri betapa hebatnya Gunung Amne Machen, Pereira memutuskan untuk segera pulang ke Inggris, dan kemudian berencana menyelenggarakan suatu ekspedisi sendiri. Dia sudah begitu gembira dengan harapan akan dapat termasyhur dengan penemuan terbesar dalam abad ini, sehingga sama sekali melupakan peringatan penduduk setempat tentang kutukan gunung siluman itu.
Sebelum terbang ke Inggris, persisnya tatkala Pereira tiba di sebuah dusun yang terletak di perbatasan Tibet dan Cina, berjumpalah Pereira dengan pengelana tersohor dari Amerika, Joseph Rock. Diutarakannya kepada Rock tentang apa yang telah disaksikannya itu. Mendengar cerita Pereira yang tampak sangat bombabtis, orang Amerika tersebut tidak percaya.
Barulah setelah lama berbincang tentang masalah itu, dan Pereira bersumpah tentang apa yang telah disaksikannya, akhirnya Rock yakin bahwa Pereira memang telah menemukan sesuatu yang luar biasa. Pada keesokan paginya Pereira bertolak menuju daerah pantai dalam perjalanan pulanngya.
Namun kemudian datanglah musibah itu. Beberapa jam setelah meninggalkan wilayah Tibet dan bersama serombongan pedagang menempuh perjalanan di negeri Cina, Pereira mendadak meninggal dunia. Dia terjungkal jatuh dari atas kudanya, dan kedua tangannya menekan dada pada arah jantungnya. Sekonyong-konyong dia berpaling ke belakang dan memandang ke arah Tibet, kemudian sekarat dan mati.
Apakah kutukan gunung Amne Machen yang menewaskannya? Tentu saja begitulah pendapat orang-orang Tibet dan Cina. Para saudagar yang mendengar bahwa Pereira pernah menyaksikan gunung itu, tak seorang yang mau menjamah tubuhnya. Mereka membiarkan saja mayatnya tergeletak di situ, dan selanjutnya melaporkan kematiannya kepada seorang penginjil Inggris, yang kemudian mengusahakan pemakaman Jenderal Pereira.
Setiap orang yang kenal dengan Jenderal pensiunan Inggris itu, merasa heran dengan kematiannya yang disebabkan oleh penyakit jantung. Soalnya pada masa hidupnya, Pereira selalu sehat dan penuh gairah.
Tatkala memulai perjalanannya yang jauh, dia baru saja melampaui usia 40 tahun. Tak seorangpun dia ntara mereka yang mempercayai bahwa Pereira mati terbunuh oleh suatu kutukan.
Juga, tak seorang pun orang di luar Tibet dan Cina yang percaya pada dongeng mengenai gunung angker itu, sampai kemudian dalam perang dunia kedua disebutkan ada beberapa pilot pesawat termput yang telah melihat gunung tersebut. Dalam laporan itu dikatakan bahwa mereka nyaris menabrak sebuah gunung misterius, yang berada di perbatasan antara Tibet dan Cina.
Untungnya, mereka dapat menghindarkan pesawatnya, sehingga kecelakaan bisa terelakkan. Mereka heran sekali menghadapi hal itu, sebab meteran penunjuk ketinggian terbang di pesawat menunjukkan angka lebih dari 30.000 kaki, hampir seribu kaki lebih tinggi dari puncak Mount Everest.
Beberapa tahun seusai perang dunia, seorang wartawan Amerika yang tertarik oleh kisah perjalanan Pereira dan penemuannya yang ajaib itu coba melakukan pencarian terhadap gunung maha tinggi seperti yang ditulis sang jendral dalam catatannya. Beberapa lama kemudian dia mengatakan, bahwa dia pun sudah berhasil menyasikan Gunung Amne Machen dengan mata kepalanya sendiri.
Sayangnya, peralatan-peralatan ilmiah untuk mengukur ketinggian gunung yang dimiliki oleh si wartawan telah rusak, kerana perlakuan kasar orang-orang pribumi yang membawanya. Juga akibat berbulan-bulan diangkut di atas kuda, melalui daerah-daerah yang masih liar dan ganas.
Terdapat tiga orang kulit putih dalam ekspedisi itu. Salah seorang tewas akibat musibah tanah longsor, beberapa hari setelah mereka menyaksikan Amne Machen. Yang kedua mati di Peking, setelah terserang penyakti tipus. Adapun si wartawan sendiri tewas tenggelam beberapa bulan setelah menyaksikan gunung yang didambakannya itu.
Benarkah kutukan Amne Machen yang telah membunuh mereka? Yang dapat dipastikan adalah bahwa tak seorang pun orang kulit putih yang menyatakan telah melihat gunung siluman itu yang dapat hidup lebih lama. Mungkin juga benar kepercayaan video uji nyali orang Tibet bahwa siapapun yang melihat gunung itu maka matilah sebagai tuntutannya.
 
Support :