Tampilkan postingan dengan label Rusdi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Rusdi. Tampilkan semua postingan

GUNA-GUNA PERUSAK CINTA DAN MALAM PERTAMA


Namanya, Guna-guna Gagap Mulut dan Guna-guna Layu Penis. Keduanya efektif untuk merusak keindahan cinta dan malam pertama. Dengan Guna-guna Gagap Mulut, mempelai pria tidak akan bisa mengucapkan ikrar pernikahan. Dan, kejantanannya akan loyo karena Guna-guna Layu Penis....

Eksistensi ilmu-ilmu gaib sebaiknya jangan dianggap omong kosong belaka. Seperti yang tumbuh di kalangan masyarakat Melayu Langkat. Mereka, terutama yang tinggal di lingkungan pedesaa, pasti mengenal apa yang disebut Guna-guna Gagap Mulut dan Layu Penis. Biasanya, kedua ilmu gaib ini dipergunakan oleh mereka yang tidak bertanggungjawab, atau karena sakit hatinya, untuk “meracuni” pasangan suami isteri pengantin baru. Guna-guna Gagap Mulut dilancarkan pada hari pernikahan, sedangkan Guna-guna Penis Layu dikirim menjelang malam pertama atau bulan madu.
Menurut cerita-cerita yang tumbuh di kalangan masyarakat Melayu Langkat, di zaman dahulu, kedua jenis guna-guna ini kerap menimpa setiap pasangan pengantin baru. Ada saja orang yang usil, lalu meminta dukun untuk mengirimkan guna-guna kepada pengantin baru. Memang, guna-guna ini tidak berlaku pada pasangan yang sudah lama menikah.

Media yang dipergunakan untuk mengirimkan Guna-guna Gagap Mulut adalah dengan mengurung seekor kodok dalam tempurung kelapa. Ada juga yang menggunakan media berupa tikar bekas. Tikar dilipat kemudian dijahit.
Dengan media kodok dikurung dalam tempurung kelapa, atau tikar bekas yang dilipat dan dijahit, maka saat prosesi ijal kabul sang mempelai pria dijamin tidak akan bisa menjawab ijab dari wali. Lidahnya menjadi kelu seperti terkunci. Makanya itu disebut Guna-guna Gagap Mulut. Mantera dan prosesi ritualnya sebenarnya sangat sederhana. Nah, untuk alasan takut disalahgunakan, maka Penulis sengaja menyimpannya rapat-rapat.
Masih menurut cerita, di zaman dulu, banyak remaja yang bisa mengerjakan Guna-guna Gagap Mulut ini. Tapi seiring perkembangan zaman, sekarang ini ilmu gaib tersebut sudah langka yang menguasainya. Mungkin, hanya dukun-dukun tertentu saja yang bisa mengerjakannya. Itupun jumlahnya tinggal beberapa orang saja.
Dengan Guna-guna Gagap Mulut, biasanya pada saat mempelai laki-laki hendak menjawab ijab lidahnya menjadi gagap. Meskipun sudah berulangkali diajari oleh penghulu atau naib, tetapi saja saja dia tidak bisa menjawab ijab.
“Pernah terjadi, setelah lima jam prosesi pernikahan berlangsung, tapi mempelai laki-laki tidak juga bisa menjawabnya, dukun kampung diminta bantuannya guna mengusir pengaruh dari Guna-guna Gagap Mulut,” kata sumber Penulis yang enggan disebut identitasnya.
Oleh sang dukun, si mempelai pria dimandikan dengan air yang diambil dari sembilan sumur dan bunga sembilan warna. Tiap-tiap sumur warga di kampung diambil airnya satu timba kemudian dikumpulkan dalam satu ember besar.
Sang dukun kampung membacakan mantera. Setelah itu baru air tersebut dipergunakan untuk mandi.
Apakah setelah mandi sang mempelai pria sembuh dari pengaruh Guna-guna Gagap Mulutnya? Ternyata belum.
Mandi itu hanya membuka jalan menuju tempat kuncian. Proses penyembuhan berikutnya, sang dukun kemudian mencari kodok yang terkurung dalam tempurung atau tikar yang sengaja dijahit lipatannya.
Setelah kodok dilepas dan jahitan tikar ditetas, barulah sang mempelai pria terbebas dari pengaruh Guna-guna Gagap Mulut. Selanjutnya dia dapat mengucapkan ijab qabul dan dua kalimah syahadat dengan lancar.
Menurut cerita Pak Yunus, kakek berusia 77 tahun, kodok yang sengaja dikurung dalam tempurung kelapa atau tikar dilipat lalu dijahit, sebenarnya hanya sebagai mediasi agar seperti itulah keberadaan mempelai pria. Dia seperti berada dalam tempurung kelapa, bingung dan tidak tahu harus berkata apa, dan mulutnya juga terkunci seperti tikar tadi.
“Yang bekerja menggerakkan guna-guna ini sebenarnya Jin Kafir. Dengan membaca beberapa bait manteranya, Jin Kafir itu dapat dipanggil untuk dimintai bantuannya,” terang Pak Yunus, yang mangaku masih sedikit ingat bacaan mantera ilmu gaib ini. “Tapi, sebaiknya jangan digunakan. Resikonya besar,” tegasnya ketika Penulis menyalin mantera dimaksud. Tentu saja Penulis menyanggupinya.
Masih menurut pengakuan Yunus, dirinya termasuk salah seorang yang pernah menjadi korban Guna-guna Gagap Mulut dan Layu Penis. Dikisahkan, saat dirinya menikah di usia 20 tahun, dan isterinya, Delima, berusia 16 tahun, memang banyak teman sebayanya yang iri hati. Calon isterinya yang cantik jelita itu diam-diam ditaksir banyak pemuda di desanya. Ada yang terus terang mengutarakan rasa cintanya, ada pula yang hanya diam-diam.
Di antara sekian pria yang menyatakan cintanya, hanya Yunus yang dipilih Delima untuk menjadi pendamping hidupnya. Pilihan Delima membuat pria yang selama ini mencintainya menjadi patah hati.
Delima memilih Yunus bukan tanpa pertimbangan. Pemuda ini selain berwajah tampan, juga sangat rajin bekerja dan sopan pada orang tua. Orang tua Delima sendiri merestui pilihan anaknya.
Tanpa diketahui oleh Yunus, ternyata ada Hasan, salah seorang pemuda kampung yang patah hati. Cintanya yang tulus ditolak mentah-mentah oleh Delima. Penolakan itu menimbulkan luka yang sangat dalam.
Ketika hari pernikahan Yunus dan Delima dilangsungkan, Hasan rupanya meminta Atok Uncu untuk mengguna-gunai Yunus. Permintaan itu dikabulkan Atok Uncu. Pada saat bersamaan, datang Budin. Pemuda ini bernasib sama dengan Hasan. Cintanya yang tulus hanya tertepuk sebelah tangan. Delima menolak mentah-mentah cinta pertamanya. Perasaan sakit hati mendorong Budin untuk menggunai-gunai Yunus di hari perkawinannya.
Pada mulanya, Budin berencana ingin mengguna-gunai Yunus dengan Guna-guna Gagap Mulut. Karena Hasan telah memilihnya, Budin memutuskan untuk mempergunakan Guna-guna Layu Penis.
Apa yang kemudian terjadi?
Di hari pernikahan itu, Yunus tampil percaya diri. Ucapan ijab qabul sudah dihafalnya selama satu minggu lebih. Tapi, keanehan terjadi. Menjelang lima menit akan dilangsungkan acara akad nikah, tiba-tiba Yunus merasa ada keanehan dalam dirinya.
Ya, Yunus merasa seolah-olah berada dalam kurungan penjara. Suasana di sekitarnya terasa gelap dan pengap. Lidahnya kelu tidak dapat digerakkan. Ketika Naib mengucapkan ijab, “Yunus, aku nikahkan engkau dengan Delima binti Rustam dengan maskawin berupa cincin seberat emas empat gram.” Yunus gagap menjawabnya. “Sa...sa...sa...!” Dia tidak dapat meneruskannya. Ia hanya bisa berkata seperti itu.
Naib kembali mengulangi kalimat yang sama, Yunus kembali menjawab gagap seperti jawaban pertama. Hal itu terjadi berulangkali bahkan sampai ratusan kali. Namun Yunus tetap gagap tidak dapat menjawab ijab qabul. Badannya basah oleh keringat dingin, dan naib akhirnya menyerah.
“Yunus...diguna-gunai orang!” komentar, ibunya sedih.
“Siapa yang tega mengguna-gunai Yunus, Makcik?” tanya anak keponakannya.
“Entahlah!” jawabnya.
Karena keadaan ini akhirnya pelaksanaan akad nikah ditunda. Keluarga mempelai wanita pergi ke rumah seorang dukun untuk meminta bantuan. Di kampung itu, penduduk memang tidak sulit mencari dukun yang dapat menghilangkan pengaruh Guna-guna Gagap Mulut.
Setiap ada kasus seperti ini, Atok Uncu diduga pelakunya. Karena ialah yang ahli mengerjakannya. Dia yang membuatnya, dan dia pula yang menyembuhkannya. Semua orang di kampung ini sudah tahu. Semuanya semata-mata demi uang!
Oleh Atok Uncu, Yunus dimandikan dengan air berasal dari sembilan sumur dan dicampur dengan bunga sembilan warna. Selesai melakukan mandi air bunga dan kodok dalam tempurung dibebaskan, acara akad nikah kembali dilanjutkan. Yunus merasa segar dan percaya diri. Ijab yang diucapkan wali dapat dijawab dengan lancar olehnya.
Kedua belah pihak keluarga mempelai merasa bergembira. Ibu Yunus bahkan melakukan sujud syukur, karena akad nikah telah terlaksana.
Kedua pasangan pengantin baru telah sah menjadi suami isteri. Pukul 22.00, tidak ada lagi tamu undangan yang datang. Suasana di tempat pesta terlihat sepi. Hanya beberapa orang saja yang masih berjaga-jaga. Pasangan pengantin baru sudah berada dalam kamar. Delima nampak malu-malu mau. Yunus mulai terlihat nakal. Jemarinya liar menyentuh bagian tubuh Delima yang sangat sensitif. Delima menepis tangan suaminya.
“Jangan malam ini, Bang!” rengeknya, manja.
“Kenapa?” tanya Yunus.
“Masih banyak orang. Malu di dengar mereka,” jawab Delima memberikan alasan.
“Mereka semua sudah tidur kelelahan.”
Yunus tidak memperdulikan permintaan isterinya. Ia semakin agresif seperti seorang gitaris memainkan senar gitarnya. Delima akhirnya menyerah. Serangan dari Yunus dibalasnya. Nafasnya naik turun dan dia sudah siap untuk melakukan permainan yang sesungguhnya.
Tetapi, begitu Yunus hendak melakukan serangan pertamanya, dia merasakan seolah-olah berada diatas batang kayu yang licin, dan Mr. P nya seperti daun layu. Berulangkali dia terpeleset dari atas tubuh Delima, jatuh di sisi kanan atau sisi kiri tubuh isterinya yang elok itu. Hal ini terus berulang kali hingga subuh.
Malam itu, Yunus gagal menjalankan kewajibannya sebagai seorang sumai. Dia kecewa, dan Delima pun sebenarnya merasakan hal yang sama.
“Abang mungkin diguna-gunai orang!” kata Delima.
“Siapa yang sampai hati mengerjai Abang?”
“Abang tanya saja pada Atok Uncu saja,” jawab Delima. Dia menyarankan agar besok pagi pergi ke rumah Atok Uncu. Karena hanya hanya kakek itu yang dapat menghilangkan pengaruh guna-guna yang dialami Yunus.
Tapi, Yunus mengabaikan saran dari Delima. Dia berharap malam kedua perkawinannya tidak lagi mengalami peristiwa seperti malam kemarin.
Ternyata, Yunus masih juga mengalami peristiwa yang sama. Berulangkali Mr P-nya harus tergelincir dan terkulai tidak berdaya saat menembus benteng pertahanan Delima. Yunus menjadi frustasi. Dia seperti seorang petinju KO di sudut ring.
Guna-guna Layu Penis bisa berlangsung selama berminggu-minggu. Bahkan bila tidak diobati bisa berlangsung sampai setahun. Media yang digunakan untuk guna-guna ini adalah seekor kodok yang sedang birahi.
Setelah ditangkap, kodok jantan diikat kaki kirinya. Kodok betina berada didepannya. Dibuat jarak agar kelamin kodok jantan tidak bisa menyentuh kelamin sang betina. Setelah dibacakan mantera, kodok itu diletakkan dibawah tempat tidur sang dukun.
Kodok diibaratkan pengantin laki-laki dan perempuan sedang berhubungan intim. Dalam keadaan kaki terikat, tentu kodok jantan tidak dapat menyalurkan nafsu birahinya. Demikianlah yang dialami Yunus.
“Kalau aku tidak menuruti saran isteriku menemui Atok Uncu, mungkin selamanya aku tidak akan bisa melakukan tugasku sebagai suami,” kenang Pak Yunus dengan sorot mata menerawang masa lalunya.
Lima puluh tahun kemudian dari perkawinan mereka berdua menghasilkan sepuluh anak, empat laki-laki dan lima perempuan. Puluhan orang cucu pun sudah memanggilnya Kakek. Kini, Yunus dan Delima, isterinya, mencoba menikmati kebahagiaan hidup d ihari tua dalam kesehajaan.
Menurut cerita Yunus, guna-guna yang dulu pernah dia alami memang sudah langka. Tidak banyak lagi orang yang menguasainya. Apalagi guna-guna tersebut bersekutu dengan Jin Kafir yang menyesatkan.
Tingkat pendidikan masyarakat semakin tinggi membuat timbul kesadaran untuk berpikir secara realitis dalam menghadapi kenyataan. Selain itu, di zaman sekarang ini pandangan remaja tentang cinta sudah bergeser dari cinta suci abadi menjadi cinta materi dan birahi. Putus cinta, kemudian mencari cinta yang baru menjadi hal biasa. Berbeda dengan zaman dahulu. Cinta dibawa sampai mati.

MENJADI DUKUN SETELAH 11 TAHUN TINGGAL DI KERAJAAN BUNIAN


Sebuah kisah nyata yang sangat fantasis. Sebelas tahun lamanya dia tinggal di kerajaan Bunian dan membina kehidupan rumah tangga di sana. Saat memutuskan kembali pulang ke dunia nyata, dia pun menjelma menjadi seorang dukun yang andal….

Nek Juhai adalah seorang dukun kampung yang sangat terkenal kemampuan ilmunya. Penyakit atau hal apa saja yang disebabkan oleh gangguan non medis, Insya Allah bisa sembuh berkat tangan dingin perempuan yang telah uzur ini.
Kabarnya, ilmu perdukunan diperoleh Nek Juhai dari saudara suaminya yang berasal dari kerajaan Bunian. Memang, semasa muda dia telah menikah dengan bangsa bunian. Dari pernikahannya dengan orang Bunian ini, Nek Juhai memperoleh empat orang anak, dua laki-laki dan dua orang perempuan. Semua anaknya tinggal bersama mertuanya di kerajaan Bunian. Tidak seorangpun anaknya mau tinggal bersamanya. Meski demikian, pada waktu-waktu tertentu, anak cucunya berkumpul di rumahnya. Kedatangan mereka itu tidak dapat dilihat orang biasa, kecuali oleh mereka yang memiliki kemampuan indera ke enam.

Dua bulan sebelum Nek Juhai meninggal dunia, persisnya di akhir tahun 2007 silam, beliau telah mengobati penyakit salah seorang Bibi Penulis. Penyakit yang diderita sang Bibi sudah diobati melalui medis, tapi tidak juga sembuh. Bahkan, beberapa orang dukun atau paranormal yang mengobatinya, juga tidak berhasil.
Suatu hari, ada orang yang mengatakan pada Bibi, bahwa ada seorang dukun yang dapat menyembuhkan penyakit apa saja, termasuk penyakit yang diderita Bibiku. Orang itu memberikan alamatnya.
Karena Bibi ingin sembuh dari penyakit yang sudah hampir selama tujuh itu, maka Bibi meminta Penulis untuk menemaninya pergi berobat ke rumah Nek Juhai. Maka berangkatlah Penulis bersama Bibi ke rumah sang nenek. Tidak sulit untuk menemukan alamatnya. Semua orang di Kecamatan Babalan, Kabupaten Langkat, Sumut, pasti mengenalnya. Nek Juhai tinggal di rumah yang cukup sederhana dan masih sangat asri lingkungannya.
Saat itu, Nek Juhai menyambut kedatangan kami dengan sangat ramah. Beberapa orang pasiennya terlihat antri menunggu giliran untuk diobati penyakitnya. Umumnya yang berobat padanya pasien yang tidak dapat disembuhkan melalui pengobatan medis di rumah sakit. Seperti penyakit yang diderita Bibiku, yang memang diduga kuat termasuk penyakit non medis. Hasil tes darah di laboratorium menunjukkan Bibi tidak menderita penyakit. Fungsi darah, lever, ginjal, paru-paru dan jantungnya normal. Anehnya, setiap pukul 12 siang dan pukul 24 malam, rasa sakit menyerang hampir di seluruh bagian tubuhnya.
Bila malam, sebelum penyakit itu datang, Bibi mendengar suara lolongan anjing di kejauhan. Suaranya sayup-sayup, hingga sang anjing itu berada di samping rumah. Gonggongannya membuat bibi meraung-raung ketakutan. Perut bibi seketika terasa seperti ditusuk ribuan jarum, dan kepalanya seperti dipalu.
Yang tak kalah aneh, hanya bibi seorang yang mendengar suara lolongan anjing itu, sedangkan orang lain yang berada di sekitarnya tidak mendengarnya.
“Kau diguna-gunai orang, Nak?” Kata Nek Juhai setelah memeriksa keadaan Bibi.
“Siapa yang melakukannya, Nek?” Tanya Bibi.
Nek Juhai menggelengkan wajahnya. Kabarnya, dia memang tidak pernah mau menyebutkan orang yang melakukan serangan ilmu gaib.
“Tak penting kau ketahui siapa orangnya. Yang penting adalah kau bisa sembuh!” Katanya, setengah berbisik.
Nek Juhai kemudian menyiapkan mangkok kaca berisi air putih, bunga rampai dan jeruk purut. Setelah membaca mantera, jeruk purut dia belah menjadi dua bagian sama besar. Salah satu belahan jeruk dia letakkan di telinga kanannya. Aneh, potongan jeruk ini sepertinya dia pergunakan persis tak ubahnya seperti HP. Rupanya, dia berkomunikasi dengan keluarga suaminya yang berada di alam bunian. Misteri hanya mendengar kata-kata yang diucapkan Nek Juhai saja.
Sesaat setelah selesai berhubungan dengan alam gaib, tiba-tiba ada benda berbentuk bundelan di bungkus kain putih jatuh ke dalam mangkok. Sejenak Penulis terperangah melihatnya. Jelas sekali, bundelan kain itu jatuh dari atas, padahal rumah Nek Juhai atapnya terbuat dari seng dan tidak ada orang yang menjatuhkannya.
Perlahan, Nek Juhai membuka bundelan itu dengan sangat berhati-hati. Setelah terbuka, isinya boneka terbuat dari kayu. Seluruh tubuh boneka ditusuk dengan puluhan jarum dari kepala hingga kaki.
“Boneka ini diumpamakan seperti tubuhmu, Nak!” Kata Nek Juhai menjelaskan.
“Pantaslah jika penyakit Bibi kambuh perut dan kepalanya seperti ditusuk seribu jarum,” gumam Penulis dalam hati.
Nek Juhai lalu membungkus boneka kayu itu dan membakarnya hingga hangus.
“Sebaiknya kau menginap beberapa malam di rumah Nenek. Ada pengobatan lanjutan yang harus kau jalani. Besok pagi sebelum berkumandang suara adzan Subuh, kau harus mandi air bunga rampai,” tutur Nek Juhai. Tentu saja Bibi dan Penulis menyetujuinya.
Malam itu, sengaja Penulis mencarai kesempatan untuk berbincang-bincang dengan Nek Juhai. Untunglah, dia punya waktu untuk bercerita karena setelah pukul 8 malam, dia memang tidak lagi menerima pasien.
“Kata orang-orang, Nenek bersuamikan orang bunian. Bagaimana ceritanya Nenek bisa bersuamikan orang bunian?” Tanya Penulis. Mendengar pertanyaan ini, Nek Juhai hanya tersenyum.
“Kau mau mengetahui kisah Nenek bersuamikan orang bunian?” Nek Juhai malah balik bertanya.
Penulis tersenyum. “Ya, itulah yang saya dengar dari banyak orang. Saya harap Nenek sudi menceritakannya pada saya,” ujar Penulis.
Nek Juhai menarik nafas berat. Sorot matanya yang teduh itu berubah kosong, seperti menerawang jauh. Lalu, pelan-pelan dia bertutur. Beginilah ringkasan kisahnya…:
Saat aku baru berusia 5 tahun, ayahku meninggal dunia. Setelah ayah meninggal, Ibu memutuskan tetap menjadi janda. Untuk menghidupiku, Ibu bekerja mengambil upahan merumput di sawah tetangga.
Memang, setelah kepergian Ayah, hidupku semakin miskin dan penuh dengan penderitaan. Sehari kadang makan hanya sekali. Paman dan bibiku juga hidupnya miskin. Untuk menghidupi keluarganya saja sulit, apalagi untuk membantu aku dan Ibuku.
Setelah lama mengidap penyakit asma, Ibuku akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya. Perasaan hatiku sangat sedih, bahkan sampai ada niat untuk bunuh diri. Tapi untunglah hal itu tidak aku lakukan.
Selama berhari-hari aku larut dalam kesedihan. Kepergian Ibu rasanya begitu cepat, Kepada siapa lagi aku harus menggantungkan hidupku?
Suatu hari di suatu pagi, saat hujan gerimis, aku pergi berziarah ke kuburan Ibu. Lama aku duduk termenung di tengah hujan gerimis. Waktu itu, tiba-tiba terdengar suara seorang Ibu menegurku.
“Sudahlah, jangan lagi bersedih. Jika Ibumu tahu kau seperti ini, dia pasti sangat bersedih juga di alam sana!” Kata ibu-ibu itu.
Mendengar ada suara, maka aku sangat terkejut dibuatnya.
“Ibu siapa, mengapa Ibu tiba-tiba ada di sini?” Tanyaku merasa heran. Maklum saja, selama ini aku belum pernah melihat sosok perempuan paruh baya ini. Aku begitu terkesima melihat kecantikan wajahnya. Di desaku sepertinya tidak ada perempuan secantik dia.
“Nama Ibu Habibah,” sahutnya dengan ramah.
Dia lalu tersenyum sambil memandang wajahku. Sorot matanya tajam menyejukan perasaan hatiku. Dari busana yang dipakainya Ibu Habibah, jelas isteri orang kaya. Ini terlihat dari perhiasan emas yang menghiasi leher dan pergelangan tangannya, serta cincin dijari manisnya. Aku kian terkagum-kagum melihatnya.
“Semua yang hidup akan merasakan mati. Beberapa hari lalu Ibumu meninggal dunia, suatu saat kita juga akan mengalami peristiwa yang sama. Kau harus tabah dan ikhlas menerimanya,” kata Ibu Habibah menasehatiku.
“Tapi sekarang aku udah tidak punya siapa-siapa lagi. Hidupku sebatang kara di dunia ini. Rasanya lebih baik aku mati saja,” jawabku berkeluh kesah. Air mataku seketika kembali deras mengalir.
“Siapa bilang kau tidak punya siapa-siapa. Jika kau mau kau bisa tinggal bersama Ibu!” Katanya sambil mengusap rambutku. Hangat kurasakan menjalar ke sekujur tubuhku.
Mendengar Ibu Habibah berkata demikian, aku merasa tidak percaya. Apakah aku sedang bermimpi?
“Benarkah Ibu mau memberiku tumpangan hidup?” Tanyaku sambil menyusut air mata.
Ibu Habibah tersenyum menyejukan. “Percayalah, Ibu pasti akan menganggapmu seperti anak Ibu sendiri. Mari ikut Ibu!” Ajaknya. Dia lalu menuntunku keluar dari areal kuburan.
Di depan tanah pemakaman sudah menunggu mobil sedan mewah. Bagai terhipnotis, aku mengikuti saja ajakan Ibu Habibah, yang menyetir sendiri mobil sedannya.
Sekitar seperempat jam mobil yang dikemudikan Ibu Habibah meninggalkan desaku, ada keanehan yang kurasakan. Semula di kiri kanan jalan aku hanya melihat hamparan persaawhan dan rumah-rumah gedek dan semi permanen milik penduduk. Tapi pemandangan yang kulihat kemudian bertukar menjadi perumahan mewah dan jalan beraspal yang sangat licin. Mobil-mobil mewah hilir mudik di jalan raya. Penduduk yang tinggal di sepanjang jalan sepertinya semua keluarga kaya. Mereka tinggal di perumahan elite lengkap dengan fasilitas kemegahannya. Ada kolam renang dan halaman yang asri.
“Bu, kita sekarang berada di mana?” Tanyaku terheran-heran. Maklum saja, selama ini aku memang tidak pernah melihat rumah-rumah mewah seperti yang ada di depan mataku.
“Juhai, ketahuilah, kau kini berada di alam gaib. Bangsamu menyebut kami orang bunian,” kata Ibu Habibah menjelaskan.
Mendengar penjelasan Ibu Habibah, jantungku berdebar-debar ketakutan.
“Juhai, jangan cemas dan merasa takut. Ibu akan melindungimu dan menjaga keselamatanmu. Ibu beragama Islam dan sudah berulangkali pergi menunaikan ibadah Haji ke tanah suci Mekkah. Kita ini sesungguhnya bersaudara dan persaudaraan sesama muslim itu digambarkan oleh baginda Rasulullah SAW seperti bangunan tubuh kita. Jika ada salah satu anggota tubuh kita sakit, maka anggota tubuh yang lain juga ikut merasakannya,” jawab Ibu Habibah dengan tutur kata lemah lembut. Dia seolah-olah dapat membaca kegelisahan hatiku.
Mendengar Ibu Habibah berkata begitu, perasaan hatiku menjadi tenang kembali.
Mobil pun terus bergerak di atas jalan yang amat licin. Tak berapa lama kemudian, mobil berbelok ke sebuah rumah paling mewah di antara perumahan yang berada di sekitarnya.
“Apakah ini rumah Ibu Habibah?” Bisik hatiku, heran dan kagum.
Halaman rumah itu sangat luas dan tertata rapih dengan bunga-bunga yang indah. Ada juga kolam renang yang berair sangat jernih. Menurut hematku, rumah dinas gubernur saja yang pernah kulihat tidak sebagus dan semewah rumah Ibu Habibah.
“Kita sudah sampai. Ini rumah Ibu!” Kata ibu Habibah. Aku bengong seperti seekor rusa masuk kampung.
Ibu Habibah lalu mengajakku turun dan menuntunku masuk ke beranda rumah. Di depan pintu, seorang pemuda menyambut kedatangan kami.
“Ibu membawa siapa?” Tanya pemuda itu yang sepertinya adalah putera Ibu Habibah. Wajahnya sangat tampan. Di kampungku pasti tidak ada remaja setampan dia.
“Dia bernama Juhai. Ibu temukan dia menangis di pusara kedua orangtuanya,” jawabnya. Lalu sambil melirik ke arahku, Ibu Habibah menyambung, “Juhai, ini anak Ibu. Namanya Haikal!”
Aku dan Haikal kemudian saling berjabat tangan. Ketika itu muncul juga seorang anak berusia 10 yang kemudian kuketahui bernama Haidar. Dia adiknya Haikal.
Saat masuk ke dalam rumah, kulihat ruang tamu rumah Ibu Habibah sungguh megah. Semua perabotan rumahtangga di ruangan itu terbuat dari kayu pilihan dan berukir indah. Aku terkagum-kagum melihatnya.
Ibu Habibah lalu mengajakku ke kamar yang diperuntukkan buatku. Interior dalam kamar ini tak ubahnya seperti kamar tidur puteri raja. Ranjangnya terbuat dari kayu jati dan dilapisi emas, meja rias berukir sangat indah dan bingkai kacanya dilapisi emas. Dalam kamar tidur ini terdapat juga toilet yang harum dan bersih.
Aku juga diperlihatkan baju yang disimpan dalam lemari, yang sepertinya juga telah dipersiapkan buatku. Aku terbelalak melihat baju-baju yang semuanya baru dan terbuat dari sutera itu.
Setelah aku berganti pakaian dan tak lagi terlihat seperti gadis kampung, namun telah menjelma bak seorang puteri, aku diminta menghadap di ruang keluarga. Di ruang ini Ibu Habibah duduk bersama seluruh anggota keluarganya. Disebelahnya duduk Pak Abu Bakar, suaminya.
“Ibu sudah bercerita pada Bapak tentang dirimu. Bapak sangat terharu mendengarnya. Tinggallah bersama kami di sini beberapa waktu yang kau kehendaki. Kami akan mengajarimu ilmu pengobatan berbagai penyakit. Di istana ada beberapa orang tabib. Nanti Bapak akan meminta mereka mengajarimu ilmu pengobatan berbagai penyakit.
Ilmu pengobatan itu penting bagimu sebagai bekal hidupmu di duniamu nanti, jika kau memutuskan untuk tinggal di sana.” Papar Ibu Habibah.
“Bapak mohon tinggallah bersama kami beberapa tahun di sini. Bapak dan Ibu telah sepakat mengangkatmu sebagai anak angkat kami. Kami berdua akan menyayangimu seperti menyayangi anak kandung kami sendiri. Kebetulan kami memang tidak dikarunai anak perempuan. Besok kami akan mengadakan acara pengangkatanmu sebagai anak angkat kami agar warga di sini mengetahuinya,” tambah Pak Abu Bakar suami ibu Habibah.
Pak Abu Bakar ini ternyata salah seorang menteri di kerajaan Bunian. Setiap hari, dia keluar masuk istana raja. Ibu Habibah juga masih kerabat raja. Ketika aku dinobatkan sebagai anak angkat, semua pembesar istana datang menghadirinya, termasuk juga rakyat jelata. Yang sangat membanggakan perasaanku, raja dan permaisurinya turut datang memberikan ucapan selamat.
Pak Abu Bakar mengadakan pesta rakyat, berlangsung selama tiga hari tiga malam. Aku benar-benar merasa menjadi puteri di negeri kayangan. Aku dikenalkan pada kelaurga besar Pak Abu Bakar dan Ibu Habibah. Mereka semuanya baik-baik dan sangat ramah.
Begitulah! Hari-hari kulalui dengan tinggal di dunia orang Bunian. Kehidupan disana seperti kehidupan kita di dunia ini. Hanya, di dunia orang Bunian, matahari selalu bersinar cerah, dan udara dingin sepanjang siang dan malam. Disana tidak ada polusi udara, karena pepohonan tumbur subur. Lingkungan hidup tertata rapi.
Tinggal bersama keluarga Pak Abu Bakar, selain bermain, menikmati masa remaja bersama Haikal dan gadis-gadis sebayaku, pagi hari aku juga belajar ilmu pengobatan dari tabib istana yang datang ke rumah.
Di sana juga terdapat tempat rekreasi yang berada di luar kota. Aku bersama Haikal sering mengunjungi tempat rekreasi tersebut, hingga akhirnya tumbuh benih cinta di hati kami berdua. Rupanya, Pak Abu Bakar dan Ibu Habibah mengetahui hal ini. Sampai suatu malam, aku dan Haikal dipanggil untuk menghadap mereka. Duduk di hadapan Ibu Habibah dan Pak Abu Bakar, aku menundukkan wajah sebagai orang yang bersalah. Denyut jantungku berdebar-debar tidak beraturan.
“Haikal, Ayah ingin bertanya kepadamu. Mohon dijawab dengan jujur. Apakah kau mencintai Juhai?” Tanya Pak Abu Bakar tiba-tiba.
“Benar, Ayah! Haikal sangat mencintainya,” jawab Haikal.
“Bagaimana denganmu Juhai? Apakah kau mencintai Haikal?” Tanya Ibu Habibah. Aku hanya mengangguk malu-malu.
“Karena kalian sudah saling mencintai, Ayah dan Ibu akan menikahkan kalian besok pagi,” kata Pak Abu Bakar memutuskan.
Aku terkejut mendengar keputusan Pak Abu Bakar. “Mengapa pernikahan itu dilangsungkan mendadak?” Bisik hatiku.
Pernikahan itu benar-benar terjadi. Saat aku membuka jendela kamar, di halaman rumah sudah siap perlengkapan pesta. Bahkan, kamar tidurku sudah dihias seperti laiknya kamar pengantin. “Kapan mereka melakukannya?” Bisik hatiku terheran-heran.
Singkat cerita, akad nikah telah siap. Saat itu aku teringat pada almarhum Ayah dan Ibu. Aku menangis terharu dan bahagia, lalu memeluk Ibu Habibah yang sebentar lagi akan menjadi mertuaku.
Resepsi pernikahan berlangsung selama tujuh hari tujuh malam. Raja dan permaisuri kerajaan Bunian datang bersama semua pembesar istana. Mereka mengucapkan selamat berbahagia dan mendoakan agar perkawinan kami langgeng. Rakyat di kerajaan Bunian larut dalam kegembiraan menikmati makanan dan hiburan selama tujuh hari tujuh malam.
Demikianlah kisah yang kujalani di negeri Bunian. Setelah sepuluh tahun membina rumah tangga, aku dikarunai dua orang putera dan dua orang puteri. Hingga, suatu malam, nenek bermimpi bertemu dengan almarhum ayah dan ibu. Dalam mimpi ini mereka menangis karena kuburnya tidak pernah aku ziarahi. Aku sampai menangis dan berjanji pada mereka akan datang berziarah.
“Juhai, kau mimpi apa?” Tanya Mas Haikal. Kuceritakan mimpi yang barusan kualami.
“Besok kita pergi berziarah. Bawa anak-anak,” kata suamiku. Mendengar suami berkata begitu, aku merasa bahagia.
Ketika kami berziarah di kuburan kedua orangtua, ternyata ada beberapa warga melihat kehadiranku. Mereka tidak percaya. Tapi setelah kuyakinkan, mereka baru percaya bahwa aku adalah Juhai. Rupanya, aku telah menghilang selama 11 tahun lebih.
Berita kepulanganku setelah 11 tahun menghilang dari desa, menghebohkan warga. Bibiku, anak-anak keponakanku, semua menangis dan menyambutku dengan penuh haru. Mereka sampai mengadakan kenduri selamatan dan meminta agar aku tinggal di desa. Berat rasanya untuk menolak permintaan mereka, juga berat meninggalkan suami dan anak-anak yang tinggal di alam berbeda.
“Keluargamu memintamu agar kau tinggal bersama mereka. Sebaiknya kau penuhi keinginan mereka,” kata suamiku menjelang tidur di dalam kamar rumah Bibi. Tentu saja tak ada seorang pun yang bisa melihat kehadiran suami dan anak-anakku kecuali aku sendiri.
“Bagaimana dengan dirimu dan anak-anak kita?” Tanyaku.
“Anak-anak biarlah tinggal bersama neneknya. Karena kehidupan mereka ada di sana bukan disini. Sedangkan aku bisa setiap saat berada di sisimu, dan kau bisa datang menjenguk anak-anak kita setiap saat,” jawab suamiku.
Tapi aku tidak dapat mengambil keputusan saat itu. Kepada keluarga di desa, aku bilang akan bermusyawarah dahulu dengan suami dan mertua. Semoga mereka mengizinkanku tinggal di desa kelahiranku.
Syukur Alhamdulillah, 11 tahun setelah aku pergi meninggalkan desa, kehidupan ekonomi Paman dan Bibi membaik. Mereka sudah bisa membangun rumah gedung. Keponakanku juga bisa sekolah sampai meraih gelar sarjana. Tak hanya itu, jalan-jalan dikampungku juga sudah dibangun aspal. Bahkan, Paman juga berjanji akan membuatkan rumah buatku di tanah pusaka peninggalan almarhum ayahku jika memang aku tinggal menetap di desa\.
Ketika kuutarakan niat kembali ke desa kelahiranku, Ayah dan Ibu mertuaku merestuinya.
“Jika itu sudah menjadi keputusanmu dan suami merestuinya, kami tidak bisa bilang apa-apa kecuali mendukung rencanamu. Di desamu kau bisa mengobati berbagai penyakit yang diderita warga disana,” kata Ayah mertuaku.
“Terima kasih, Pak!” Jawabku sambil sujud di kakinya.
Setelah berpamitan, aku diantar mobil sedan yang dikemudikan suamiku. Ya, aku memilih pulang ke kampung halamanku yang pernah aku tinggalkan belasan tahun lamanya.

HANTU PALASIAK


Di Eropa sana ada Vampir atau Drakula. Mereka makhluk jadi-jadian yang senang menghisap darah. Di Tanah Minang juga ada makhluk sejenis. Palasiak atau Palasik, namanya. Seperti apa sepak terjang hantu jadi-jadian ini? Berikut salah satu kisahnya….

Bagi orang Minang, kepercayaan pada Hantu Palasiak atau Palasik sama dengan kepercayaan Leak bagi masyarakat Bali, atau Kuyang bagi orang Kalimantan. Hantu Palasiak ini memang sudah lama tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat Minang, terutama yang tinggal di pelosok Desa Sumatera Barat.
Cerita tentang Hantu Palasiak ini sering pula dituturkan oleh salah seorang saudara ayah Misteri, yang memang berasal dari Ranah Minang. Menurut saudara ayah itu, ilmu hitam Palasik merupakan warisan turun temurun masyarakat Minah yang ada sejak zaman dahulu kala. Konon, mereka yang menganut ilmu ini biasanya akan membentuk komunitas tersendiri dalam masyarakat.
Mereka dulu sangat dikucilkan oleh warga di sekitarnya. Konon, di zaman dahulu kala mereka hanya bisa menikah dengan sesama keturunan Palasiak. Tapi, di zaman sekarang ini, masyarakat sudah bisa menerima keberadaan mereka. Disamping itu, keberadaan mereka juga sulit untuk dikenali.

Meskipun seseorang mewarisi darah keturunan Palasik dari leluhur, namun bukan berarti secara otomatis mereka akan menjadi Hantu Palasiak. Ada ritual yang harus dilaksanakan untuk bisa menguasai ilmu hitam yang satu ini, sehingga tidak setiap turunan Palasik menjadi Palasik seperti leluhurnya.
Mengapa orang Minang punya ilmu Palasik? Dari mana asal muasal ilmu ini sebenarnya. Siapa pula orang pertama yang mengajarkannya, dan di daerah mana tempat asal ilmu yang masih sangat misterius ini?
Tentu saja tak mudah untuk menjawab deretan pertanyaan tersebut. Kita berharap, semoga ada saudara kita yang berasal dari Ranah Minang bisa menjelaskanya pada pembaca setia majalah kasayangan ini.
Meski misteri masih menyelimutinya, yang jelas Hantu Palasiak dapat diyakini benar ada dalam kenyataan. Hal ini setidaknya seperti yang dialami sendiri oleh saudara sepupu Misteri. Sebut saja Dasri, namanya.
Kisahnya terjadi 20 tahun yang lalu. Saat itu, Dasri baru duduk di kelas IV SD, usianya 10 tahun. Ketika itu musim libur panjang sekolah bertepatan dengan bulan Ramadhan. Ayah Dasri yang berasal dari Dusun Taratai, Desa Sungai Tarab, Batusangkar, berniat mengajak seluruh keluarganya pulang ke kampung halamannya yang jauh terpencil itu.
Rencana ayah Dasri ini tentu saja disambut gembira, terutama oleh dasri. Apalagi, sudah lima tahun ini Dasri tidak bertemu dengan kakek dan nenek, serta saudara-suadara sepupunya yang tinggal di sana.
Pada hari Minggu siang mereka berangkat dengan bus jurusan Medan-Bukittinggi. Sekitar pukul 8 pagi, bus yang ditumpangi Dasri bersama kedua orangtuanya, meninggalkan kantor pusatnya di Jl. Amaliun, Medan. Setelah melewati batas wilayah kota Medan, bus tancap gas. Semua bangku sudah terisi penuh, termasuk bangku tempel yang tersedia untuk penumpang yang menyetop di jalan.
Setelah menempuh perjalanan selama 15 jam, bus tiba di terminal Aur Kuning, Bukittinggi, menjelang pukul 10 pagi berikutnya. Perjalanan menuju Batusangkar dilanjutkan dengan menumpang angkutan antar kota dalam propinsi. Angkutan desa hanya sampai di ibu kota kecamatan saja. Menuju Desa Sungai Tarap, harus ditempuh dengan berjalan kaki sejauh 5 km.
Ada beberapa warga satu kampung dengan ayah Dasri berjalan bersama menuju desa kelahiran mereka. Mereka terlihat bercerita akrab sekali. Memasuki desa Sungai Tarap, udara dingin pegunungan menyambut kedatangan Dasri. Sawah-sawah terbentang luas di lereng-lereng bukit. Rumah gadang berdiri megah di sepanjang jalan yang dilalui.
Tiba di rumah Anggut, sebutan kakek bagi orang Minang, saudara dan sanak kadang sudah berkumpul menyambut kedatangan Dasri bersama kedua orangtuanya. Dalam tempo sekejap saja, rumah Anggut yang luas berbentuk rumah gadang penuh oleh sanak saudara dan kerabat ayah Dasri.
Berita kedatangan ayah Dasri menyebar dari mulut ke mulut ke pelosok kampung. Apalagi pada malam harinya. Teman-teman ayah Dasri semasa kecil berdatangan menemuinya untuk melepas rindu dan mengenang kembali masa-masa indah dahulu. Mereka berbincang-bincang hingga larut malam.
Dua hari di kampung, akhirnya tiba juga hari pekan di desa itu. Dasri diajak ayahnya melihat suasana pekan. Waktu itu turut pula bersama mereka dua orang saudara sepupu Dasri, yakni Budin dan Durin. Usia kedua anak ini sebaya dengan Dasri. Tinggi dan besar, badan juga sama. Yang membedakan warna kulit tubuh mereka. Mungkin karena tinggal di kota, kulit wajah dan tubuh Dasri terlihat putih bersih. Berbeda dengan Budin dan Durin. Kulit kedua anak ini hitam pekat karena setiap hari terjemur di atas teriknya sinar matahari. Jika tidak berada di sawah membantu orangtua merumput, pagi-pagi sekali mereka pergi mengembalakan kerbau.
Dalam perjalanan ke lokasi pecan itu, ayah Dasri selalu menyapa dengan ramah setiap warga desa yang ditemui atau berpapasan di tengah jalan. Mereka menyalami ayah Dasri dengan ramah pula, seraya bertanya tentang kabar dan kapan datangnya.
Sementara itu, Dasri dan dua orang saudara sepupunya saling bercerita dan bercanda dalam perjalanan itu. Meski baru dua hari bertemu, namun mereka sudah kelihatan sangat akrab.
Sampai akhirnya di sebuah tikungan jalan desa, mereka melewati sebuah rumah gadang yang lumayan megah. Pemilik rumah itu memanggil ayah Dasri.
“Singgahlah dulu kemari. Pasar masih sepi!” Kata si pemilik rumah, seorang kakek berusia lanjut, menawari ayah Dasri singgah di rumahnya.
Karena menghormati tawaran itu, Ayah Dasri memutuskan singgah ke rumah gadang milik si kakek. Dia juga mengajak Dasri dan dua saudara sepupunya untuk singgah barang sebentar di rumah itu. Tapi, kedua saudara sepupu Dasri berkeras melarang. Budin menggelengkan wajahnya agar Dasri jangan mengikuti ayahnya. Tapi Dasri tetap mengikuti ayahnya berjalan memasuki pekarangan rumah gadang milik si kakek yang sepertinya amat ramah dan baik hati itu.
Dasri dituntun ayahnya melewati jembatan terbuat dari batang bambu. Sementara. dua saudara sepupu Dasri hanya berdiri termangu di pinggir jalan. Berulangkali mereka menggelengkan wajahnya, yang memberi isyarat agar Dasri jangan ikut singgah di rumah gadang itu. Hingga wajah keduanya berubah menjadi pucat, Darsi tetap tak peduli.
Kenapa Budin dan Durin melarang Dasri singgah di rumah itu? Mereka tahu persis pemilik rumah itu adalah suami isteri penganut Palasik.
Rumah itu memang terlihat sangat sunyi, seperti tidak ada penghuni lain kecuali seorang kakek dan nenek yang sudah sangat renta. Diketahui, pemilik rumah itu bernama Anggut Adam. Usianya sudah mencapai 78 tahun. Sedangkan isterinya, Niek Syamsidah, usianya sekitar 70 tahun.
Rambut kedua pasangan itu sudah memutih, dan kulit tubuhnya hitam keriput. Meski begitu gigi mereka masih utuh, walau nampak hitam berkarat.
Dasri dan ayahnya duduk di ruang tamu, membelakangi kamar tidur si pemilik rumah. Sesaat kemudian, Niek Syamsidah menghidangkan kopi dan ketan hitam. Nenek renta inipun duduk di sisi suaminya.
“Berapa anakmu sekarang?” Tanya Niek Syamsidah.
“Baru satu, Niek!” Jawab ayah Dasri.
“Bawalah isterimu kemari!” Anggut Adam memberi tawaran.
“Nantilah di lain waktu,” jawab Ayah Dasri.
Perbincangan pun berjalan dengan akrab. Sampai setelah hampir setengah jam di rumah Anggut Adam, Dasri mengajak ayahnya pergi ke pekan. Mereka pun segera berpamitan.
Anggut Adam dan isterinya mencoba menahan ayah Dasri agar lebih lama lagi berada di rumahnya. Tapi Dasri terus merengek meminta ayahnya agar meninggalkan rumah Anggut Adam. Dia tak sabar ingin melihat suasana hari pekan di desa. Anggut Adam dan isterinya melepas kepergian tamunya hingga ke pekarangan rumah.
“Siapa nama anakmu?” Tanya Niek Syamsiah.
“Dasri!” Jawab ayah Dasri.
“Kapan-kapan main-main kemari lagi. Anggap ini rumah anggutmu sendiri,” kata Anggut Adam ramah, melepas kepergian Dasri bersama ayahnya.
Saat keluar dari rumah gadang milik Anggut Adam, warga desa terlihat berjalan berbondong-bondong lewat di depan rumah Anggut Adam membawa seluruh anggota keluarganya. Memang, di hari pekan itu tidak seorang pun warga desa pergi ke sawah.
“Rumah anggut Adam terlihat seram ya. Tidak terurus!” Cerus Dasri dalam perjalanan.
“Maklum, mereka kan tinggal berdua di rumah itu. Pergi pagi ke sawah dan pulangnya menjelang senja. Jadi mereka tidak punya waktu untuk mengurus rumah,” jawab ayah Dasri.
Setelah mendapat jawaban itu, Dasri tidak lagi bertanya pada ayahnya. Apalagi setibanya di lokasi pecan suasana memang sangat ramai. Para pedagang dari kota menjajakan bermacam-macam keperluan warga desa.
“Ayah, Dasri mau bermain bersama Budin dan Durin ya!” Mohon Dasri sesaat setelah melihat Budin dan Durin berkumpul bersama dengan teman-temannya.
“Pergilah!” Jawab ayah Dasri memberi izin.
Dasri pun segera bergabung dengan Budin dan Durin beserta teman-teman sebayanya. Waktu itulah Dasri sempat bertanya begini, “Mengapa kalian berdua tidak mau diajak singgah di rumah Anggut Adam?”
“Anggut bersama isterinya itu Palasiak Kuduang,” jawab Budin.
“Apa benar Palasiak itu ada?” Tanya Dasri lagi.
“Rumah yang kau datangi tadi rumah Palasiak!” Jawab Durin.
Sebelumnya, Dasri memang pernah mendengar cerita Hantu Palasiak dari orang-orang Minang yang tinggal di sekitar rumah orang tuanya di Medan. Menurut cerita mereka, Hantu Palasiak itu dapat melepaskan leher dari tubuhnya.
Ada beberapa jenis Palasiak. Satu di antaranya adalah Palasiak Kuduang. Disebut Palasiak Kuduang, karena si pemilik ilmu hitam ini dapat memotong kepalanya kemudian memasangnya kembali. Kuduang dalam bahasa Minang artinya potong atau penggal.
“Apa itu Palasiak selama ini aku belum pernah mendengarnya?” Tanya Dasri, pura-pura tida tahu.
“Apa ayahmu tidak pernah bercerita?” Tanya Budin. Dasri hanya mengggelengkan kepalanya.
“Palasiak adalah hantu penghisap darah anak-anak seusiamu. Dia mendatangi mangsanya tengah malam. Anak-anak yang darahnya dihisap Palasiak, wajahnya menjadi pucat dan sering sakit-sakitan,” kata Budin menerangkan.
“Mana ada manusia hidup jadi hantu seperti Palasiak itu?” Protes Dasri.
“Ada, contohnya Palasiak. Dia menghisap darah, terutama anak-anak yang datang dari kota,” ujar Durin menakuti Dasri.
“Mengapa darah anak-anak dari kota yang dihisap Palasiak?” Tanya Dasri, penasaran.
“Anak-anak dari kota darahnya manis. Sedangkan anak desa di sini darahnya pahit,” jawab Budin bercanda sembari tertawa.
Kedatangan Dasri bersama ayahnya ke rumah Anggut Adam, diceritakan pula oleh Budin dan Durin kepada kedua orangtua mereka. Etek Yusminah, adik ayah Dasri terperanjat mendengar cerita dari Budin. Saat itu juga, dia segera menemui ayah Dasri.
“Mengapa Uda bawa Dasri ke rumah Pak Tuo Adam?” Tanyanya.
“Beliaukan masih kerabat kita!” Jawab ayah Dasri.
“Ya, tapi beliau suami isteri Palasik!” Sahut Etek Yusminah. Kelihatannya dia merasa sangat cemas.
“Ah, memangnya masih ada apa ilmu hitam semacam itu di zaman seperti sekarang ini?” Sanggah ayah Dasri.
“Mungkin saja, Uda! Sebagaiknya segara bawa Dasri ke rumah Datuk Maruhun, untuk minta jimat penangkal padanya,” saran Etek Yusminah. Tapi saran itu tidak dihiraukan ayah Dasri.
Datuk Maruhun adalah satu-satunya orang yang dapat memberikan jimat agar seorang anak tidak dihisap darahnya oleh Palasiak. Namun, ayah Dasri menyangsikan kekhawatiran Etek Yusminah.
Dua hari berselang, pada malam sabtu, hujan deras turun sejak sore hari hingga malam harinya. Hingga tengah malam hujan tidak juga reda. Di luar rumah, angin bertiup kencang membut malam sangat dingin dan mencekam. Ayah Dasri malam itu tidak ada di rumah. Setelah mengerjakan shalat Jum’at, dia tidak pulang. Dia hanya berpesan pada Anggut Musa, bahwa malam ini dia akan menginap di rumah Pak Sabirin, teman sebangku ayah waktu sekolah di Makhtab Thawalib, Padangpanjang.
Hingga tengah malam, hujan tinggal gerimis. Di luar angin masih juga bertiup kencang. Meskipun sudah memakai selimut tebal, tapi udara dingin masih dapat menembus pori-pori kulit.
Tiba-tiba berhembus angin sangat kencang menerpa pintu kamar tidur yang tidak terkunci. Tiupan angina itu mengempaskan pintu kamar. Suaranya sangat keras sehingga Dasri terjaga dari tidur.
Dari balik gorden pintu yang terbuka diterbangkan angin, Dasri melihat seraut wajah nenek tua dan kakek tua muncul. Celakanya, hanya leher dan kepalanya saja yang melayang-layang memasuki kamar. Wajah mereka terlihat samar-samar mirip Anggut Adam dan isterinya, Niek Syamsiah.
“Apakah mereka ini palasiak?” Hati Dasri diliputi tanda tanya. Tubuhnya gemetaran karena takut.
Kedua potongan kakek dan nenek itu terbang di atas tubuh Dasri, dan melayang-layang dengan sangat menakutkan. Dasri tidak dapat berkata apa-apa. Lidahnya seolah-olah terkunci, sehingga tidak dapat berteriak membangunkan anggutnya yang tidur pulas di sisinya.
Demikian pula dengan tubuhnya. Kaku dan gemetar, seperti terikat tali sehingga tidak dapat digerakkan. Hanya kedua bola matanya mengikuti kemana kedua potongan kepala itu bergerak.
Setelah berputar-putar, akhirnya kedua potongan kepala itu berhenti di ujung jempol kaki Dasri. Dengan rakus keduanya menghisap darah Dasri melalui jempol kakinya. Dasri pun meringis kesakitan. Untunglah dia tidak jatuh pingsan.
Setelah puas, kedua potongan kepala itu pergi meninggalkan mangsanya, melayang-layang keluar dari dalam kamar.
“Anggut, ada hantu!” Teriak Dasri.
Mendadak anggutnya terjaga dari tidur pulasnya. “Ada apa?” Tanyanya.
Dasri lalu menceritakan peristiwa yang barusan menimpanya. Sang Anggut harus percaya sepenuhnya, sebab di atas lantai tampak berceceran darah segar hingga ke ruang tamu.
“Mereka itu Palasiak!” Gumam sang anggut dengan wajah tuanya yang menegang.
Pada pagi harinya, ayah Dasri bersama anggutnya membawa Dasri ke rumah Datuk Maruhun. Pada Datuk Maruhun, Dasri menceritakan kejadian yang menimpanya tadi malam.
“Anakmu di hisap Palasiak,” jelas Datuk Maruhun.
“Siapa yang tega menghisap darah anakku, Datuk?” Tanya ayah Dasri.
Datuk Maruhun tidak dapat menjawabnya. Beliau hanya menggelengkan kepalanya.
“Bawa segera pergi anakmu dari kampung kita. Banyak Palasiak yang ingin menghisap darahnya,” saran Datuk Maruhun.
Oleh Datuk Maruhun, Dasri diberi jimat yang diikatkan di pergelangan kakinya.
Memang, setelah dihisap darahnya oleh palasiak, wajah Dasri pucat, dan tubunnya lemah seperti kekurangan darah.
Siang itu juga, berasma ayah dan ibunya Dasri kembali pulang ke Medan. Rencana untuk berlebaran di kampung pun batal….
Lima belas tahun kemudian, Dasri baru berani datang ke kampung halaman ayahnya. Kenangan menakutkan itu memang selalu membuatnya bernyali ciut bila ingin berkunjung ke kampong tersebut.

CIRIK BARANDANG

Penulis : RUSDI


Inilah kisah video uji nyali tentang ramuan pelet super ampuh yang berasal dari daerah Minangkabau. Seorang gadis yang termakan ramuan ini, hanya dalam waktu 6 jam dijamin langsung minta dinikahi oleh pemuda yang semula dibencinya. Apa rahasia ramuan ini...?

Sama seperti daerah-daerah lainnya di Indonesia, daerah Minangkabau juga menyimpan berbagai macam ilmu gaib. Salah satunya tentang keanekaragaman ilmu pelet, baik berupa jampi-jampi, mantera, atau berupa sarana video uji nyali lainnya. Salah satunya adalah serbuk yang diaduk dengan kopi atau teh manis. Siapa saja, tak peduli pemuda atau gadis, jika termakan ramuan pelet ini akan datang ke rumah orang yang memberikan ramuan tersebut padanya.
Begitu hebatnya serbuk gaib tersebut, sehingga korbannya akan menyerahkan dirinya sambil mengemis, memohon agar dapat diterima cintanya. Bahkan seorang gadis tak segan meminta agar segera dinikahi.
Ilmu pelet dengan media berupa serbuh tersebut di daerah asalnya, Minangkabau, disebut sebagai Cirik Barandang. Seorang gadis atau bujang yang termakan ramuan Cirik Berandang ini dijamin akan mabuk kepayang. Siang hari teringat pada si pembuat ramuan, dan malam harinya akan terbawa dalam mimpi. Bahkan pemuda atau gadis yang memberikan ramuan Cirik Barandang datang dalam mimpi sebagai seorang puteri raja, sang pangeran yang sangat mempesona. Dalam mimpi itu, mereka bukan sekedar bercumbu atau bermesraan. Tapi berhubungan intim hingga mencapai orgasme.
Biasanya, ramuan Cirik Barandang dipergunakan seorang pemuda jika cintanya ditolak mentah-mentah oleh gadis pujaannya. Merasa dihina oleh seorang gadis sombong, bahkan bukan sekedar cinta ditolak, tapi si pemuda juga dicaci maki dengan kata-kata sangat menyakitkan hati.
Karena itu kemudian seorang pemuda datang ke rumah dukun yang mahir membuat ramuan Cirik Barandang. Oleh sang dukun diberikan ramuan racikannya agar ditaburkan dalam teh manis, kopi, jus, atau panganan berupa kue yang akan dimakannya.
Celakanya, ramuan pelet ini tidak hanya digunakan oleh para pemuda yang sakit hati karena ditolak cintanya dan dihina oleh si gadis pujaan. Berdasarkan fakta, para laki-laki tua di Ranah Minang, terutama berlangsung di zaman lampau, banyak juga yang meminta bantuan dukun jika akan menambah isteri berusia gadis belia. Mereka menggunakan Cirik Barandang untuk membuat si gadis mabuk kepayang.
Dengan ramuan Cirik Barandang ini, sang gadis yang semula benci dan menolak mentah-mentah lamaran laki-laki gaek alias bandot tua itu, umumnya akan berubah menjadi tergila-gila, mengemis dan minta dinikahi. Celakanya lagi, karena terbius oleh harta si bandot tua, kebanyakan orang tua gadis justeru bekerja sama untuk ìmengobatiî anak gadisnya agar mau diperisteri, meski bersatatus sebagai isteri kedua, ketiga, atau keempat sekalipun.
Cirik Barandang merupakan sarana pelet yang telah berusia sangat tua, bahkan mungkin sangat langka. Kendati demikian, bukan berarti pemegang ramuan super ampuh ini sepenuhnya punah. Diperkirakan, ada orang-orang tua atau sepuh yang tinggal di pedesaan Minangkabau yang masih menguasai petunjuk pembuatan ramuan pelet ini. Sebagai bukti, beberapa waktu silam Penulis mendapat kesaksian langsung dari satu keluarga, yang anak gadisnya sempat menjadi korban keganasan Cirik Barandang.
Kisah video uji nyali ini dialami oleh seorang gadis cantik dan imut-imut, yang hingga kini masih tercatat sebagai mahasiswa di salah satu universitas swasta di Kota Padang. Ayahnya memang penduduk asli dari Ranah Minang. Ketika lebaran Idul Fitri lalu (sekitar Januari 2006) si gadis ikut mudik bersama kedua orangtuanya, yang kebetulan kampung halamannya terletak di sebuah desa pelosok di Sumbar, tak dinyana gadis malang ini termakan ramuan Cirik Barandang.
Demi menjaga privacy keluarga dimaksud, Penulis sengaja merasahasiakan nama-nama pelaku dalam kisah ini. Jika ada nama pelaku dalam kisah ini sama dengan nama Pembaca Kisah Video uji nyali, di manapun berada, maka itu hanya kebetulan saja. Nah, inilah kisah video uji nyali lengkapnya...:
Sudah sepuluh tahun Sabirin, ayah Bunga, tidak pernah mudik ke kampung halamannya yang terletak di wilayah pelosok Sumbar. Karena rindu yang begitu menggumpan, lebaran tahun lalu, Sabirin bersama seluruh anggota keluarganya pulang kampung.
Acara mudik itu membuat semua anggota keluarga Sabirin begitu bersuka cita. Namun tidak demikian dengan Bunga, anak gadis Sabirin yang tengah tumbuh dewasa. Bagi Bunga, ikut mudik bersama ayahnya merupakan pengalaman sangat tidak menyenangkan. Mengapa?
Diam-diam, Bunga rupanya punya kesan tersendiri terhadap kampung kelahiran ayahnya yang masih kolot memegang petatah-petitih leluhur itu. Setidaknya, pengalaman sepuluh tahun lalu ketika pulang kampung bersama ayah masih terbayang dalam benak gadis kuning langsat ini. Di kampung ayahnya yang kolot itu masih serba pantang. Tidak boleh makan di depan pintu, duduk di atas kursi sementara orang-orang tua di bawah, bahkan pantang bersenandung di malam hari.
Sebagai gadis yang hidup dan dibesarkan di alam yang telah modern, Bunga tidak suka ditegur dan diatur oleh pantangan-pantangan yang baginya omong kosong itu.
Ingat hal tersebut, Bunga sebenarnya malas ikutan mudik. Dia lebih senang tinggal di rumah saja. Tapi karena semuanya ikut, maka dia pun terpaksa ikut juga. Dia tak berani tinggal sendirian di rumah orang tuanya yang besar itu.
"Di kampung ayah, kau tidak boleh berpakaian seperti di kota, Bunga!" Belum-belum ibunya mengingatkan.
"Bunga harus memakai baju kebaya dan memakai jilbab kan, Bu?" Bunga balik bertanya sambil sedikit mencibir.
"Iya! Dan kau harus berkata sopan santun pada setiap orang yang bertemu denganmu," nasihat sang ibu lagi.
"Iya, Bunga mengerti!"
"Ingat, selain itu kau tidak boleh berlaku judes jika ada pemuda setempat menggodamu dan menjahilimu!"
"Memangnya kenapa, Bu?" Bunga balik bertanya. Maklum, hal yang satu ini baru didengarnya. Sewaktu datang pertama kali kampung halaman ayahnya, usia Bunga kala itu memang baru 11 tahun. Jadi, sang ibu tidak merasa perlu menyampaikan pesan ini.
"Jika kau berlaku judes, nanti pemuda itu akan memeletmu. Kau akan tergila-gila padanya dan minta dinikahi. Ingat itu!"
Bunga malah tertawa lucu mendengar nasehat ibunya. "Kalau pemuda itu anak orang kaya apa salahnya, Bu?" candanya sambil menahan tawa.
Sang ibu menarik nafas berat. "Ini serius, Bunga! Pokoknya ibu tidak ingin kau dipelet pemuda di sana!"
"Mengapa ibu begitu cemas sih," balas Bunga. "Kita kan hidup di alam modern, Bu. Ngapain sih kita harus percaya hal-hal semacam itu?"
Ibu Bunga tidak menjawab, tapi hatinya sangat kesal melihat sikap putrinya yang cantik itu. Sebagai ibu, dia merasa wajib untuk mencemaskan Bunga. Karena anak gadisnya itu agak tomboy, maka jika digoda laki-laki dan dia kurang berkenan, maka dia pasti akan membalasnya dengan sikap yang agak keterlaluan. Sudah beberapa kali sang ibu mendengar Bunga membalas lelaki yang menggoda, atau berbuat kurang ajar padanya, dengan makian. Bahkan, Bunga berani menampar wajah laki-laki yang usil menjahilinya.
"Ibu tidak perlu mencemaskan Bunga. Percayalah, Bunga akan mengingat nasehat ibu dan mengindahkan semua nasehat ibu," ujar Bunga seakan coba menenangkan perasaan ibunya. Sang ibu pun menarik nafas lega. Dia berharap Bunga memang akan mematuhi nasehatnya....
***

Hari sudah pukul sembilan pagi, tapi Bunga masih bermalas-malasan di tempat tidur. Udara dingin pegunungan membuatnya malas bangkit dari ranjang. Padahal, bagi warga kampung bangun di pagi hari merupakan suatu keharusan. Terlebih buat anak gadis seperti bunga. Masyarakat menganggap tabu anak gadis tidur hingga siang hari.
Sambil bermalas-malasan di tempat tidur, Bunga mendengar neneknya menceracau karna dia belum juga keluar dari dalam kamar. Suara Upik, saudara sepupunya, yang berusaha membangunkan dirinya tidak membuat Bunga beranjak dari atas ranjang.
Bunga yang bandel itu akhirnya bangun setelah sang nenek bersiap menyiram tubuhnya dengan segayung air. Sambil tertawa-tawa dan berteriak ampun, dia segera lari ke kamar mandi yang terletak di belakang rumah.
Hari itu memang hari Minggu itu, hari pekan di kampung ayahnya. Upik bermaksud mengajak Bunga pergi ke pasar. Karena itulah Bunga mengenakan pakaian yang paling bagus. Dengan baju kebaya panjang khas Minang, penampilan Bunga terlihat sangat feminim. Berulang kali sang nenek memuji penampilan cucu kesayangannya ini.
Sementara itu, di rumah nenek Bunga ada Malin, anak angkat nenek Bunga. Dia anak yatim piatu. Usianya lima tahun lebih tua dari usia Bunga. Tanpa seorang pun tahu, rupanya sejak pandangan pertama diam-diam Malin jatuh hati pada Bunga.
Suatu hari, persisnya minggu kedua Bunga berada di kampung ayahnya, terjadilah suatu peristiwa. Harinya juga hari Minggu, dan seperti Minggu kemarin Upik juga berniat mengajak Bunga jalan-jalan ke pekan.
Karena hari sudah siang dan Bunga seperti biasa belum bangun, tanpa menaruk curiga nenek Bunga menyuruh Malin untuk membangunkan cucu kesayangannya itu. Tentu saja perasaan Malin sangat girang mendapat tugas ini.
"Bunga, bangun hari sudah siang!" Malin mengingatkan sambil menggedor pintu kamar tidur Bunga yang terkunci dari dalam.
Samar-samar Bunga mendengar suara Malin. Namun, dia hanya menggeliat. Hatinya kesal karena tidurnya yang pulas diusik oleh Malin.
"Bunga, Upik menunggumu di ruang tamu!" Kali ini suara Malin agak keras, dan gedoran di pintu kamar juga semakin keras.
"Iya, aku bangun!" Teriak bunga, kesal.
"Lekasan, Upik sudah sedari tadi menunggumu!" Suara Malin semakin meninggi.
"Binatang kamu! Dengar tidak sih, aku akan segera bangun?!" Emosi Bunga jadi meledak. Bergegas dia membuka pintu kamar tidurnya. "Lin, kalau bangunkan orang pakai otak, ya!" Bentaknya di hadapan Malin.
Pemuda dusun itu tertegun sejenak. Wajahnya merah padam. Hatinya terasa nyeleki sebab gadis yang diam-diam dikaguminya menyebut dirinya sebagai binatang dan tak punya otak. Dua kata-kata itu rasanya begitu menyakitkan. Malin menatap wajah Bunga dengan perasaan sakit hati.
"Apa lihat-lihat?!" Bentak Bunga lagi tidak senang dipelototi Malin seperti itu.
Malin terdiam, tapi tatapannya semakin nanar. Bunga rupanya semakin kesal, sehingga secara refleks tangan kanannya menampar wajah anak muda itu.
Malin terdongak menerima tamparan Bunga yang kebetulan adalah gadis pemilik Ban Hitam. Bukannya menyesal, Bunga yang tomboy malah merasa puas hatinya. Dia tak sadar, emosinya ini telah membuatnya lupa pada nasehat ibunya agar jangan berbuat kasar pada pemuda kampung ayahnya.
Tanpa dinyana, perasaan sakit hati Malin pada Bunga menjadi lengkap sudah. Seumur hidupnya baru pertama kali ini dia dihina dan dicaci maki seorang gadis cantik. Lebih menyakitkan lagi, hal itu dilakukan oleh gadis yang diam-diam sangat dia cintai dan kagumi.
Betapa hancur hati Malin, seperti diiris-iris sembilu, dan seperti kaca terempas di batu. Pecah berkeping-keping tanpa harapan untuk merangkainya kembali.
Kejadian pagi itu, sepanjang hari terus saja muncul dalam pikirannya. Malin benar-benar merasa sangat terhina karena disamakan dengan binatang yang tidak punya otak. Dan tamparan itu, sungguh begitu menyakitkan. Bukan wajahnya. Tapi hatinya yang terdalam. Ya, hati yang penuh cinta dan kekaguman itu berubah penuh dengan kebencian.
Tiba-tiba muncul dalam hati Malin niat untuk membalas perlakukan Bunga. ìAku akan membuatnya bertekuk lutut dan mengemis cinta padaku.î Bisik hati Malin.
Malam harinya, selesai shalat Isya di Masjid, Malin mendatangi rumah Datuk Maruhun. Sang Datuk adalah dukun kampung pemilik ilmu pelet Cirik Barandang. Usinya sudah mencapai 75 tahun. Kendati demikian, jangan heran jika dia masih mempunyai isteri yang sebaya dengan usia cucunya, yakni 25 tahun. Hal ini terjadi tentu saja berkat kehebatan ilmu pelet yang dimilikinya.
Di hadapan Datuk Maruhan, Malin berterus terang menceritakan perlakuan kasar Bunga pada dirinya. Sang Datuk merasa sangat kasihan pada Malin. Dia menyanggupi akan membantu Malin untuk membalaskan sakit hatinya.
"Ini ramuan Cirik Barandang. Ingat, bubuk ini harus kau taburkan dalam gelas minumannya," pesan Datuk Maruhun ketika memberikan bungkusan berupa kain putih kecil.
Di dalam bungkusan kain itu tentu saja terdapat serbuk yang telah dibacakan jampi-jampi ramuan Cirik Barandan.
"Terima kasih, Datuk. Ini untuk sekedar membeli gula!" Malin memberikan uang 30 ribu rupaih pada Datuk Maruhan. Laki-laki gaek itu menerimanya dengan senyum.
Singkat cerita, kesempatan menaburkan ramuan pelet Cirik Barandang diperoleh Malin pada hari ketiga setelah dia menerima ramuan sakti tersebut dari tangan Datuk Maruhan. Ketika itu Bunga sedang membuat jus alpukat dalam gelas, dan tanpa dinyana tiba-tiba sang nenek memanggilnya.
Tanpa rasa curiga. Bunga meninggalkan begitu saja jus buahnya di atas meja. Kesempatan ini segera digunakan oleh Malin. Setelah merasa aman, dia menaburkan serbuk Cirik Barandang dalam gelas minuman itu. Setelah selesai mengerjakannya, Malin pun segera pergi.
Setelah menaburkan ramuan Cirik Barandang, Malin sengaja tidak pulang ke rumah orang tua angkatnya. Keluarga nenek Bunga sibuk mencarinya, tapi tidak tahu dimana Malin berada.
Rupanya, reaksi pelet Cirik Berandang sangat cepat sekali. Hanya dalam tempo 6 jam Bunga menjadi tidak sadarkan diri. Aneh, dia menyebut-nyebut nama Malin, bahkan tanpa sadar menyatakan perasaan cintanya. Perasaan rindu ingin bertemu Malin tidak dapat ditahannya lagi.
Dengan merengek-rengek, Bunga meminta Sabirin, ayahnya, agar mencari Malin. Sabirin merasa agak bingung, sementara Bunga terus meminta agar ayahnya segera mencari Malin. Tapi di mana Malin harus dicari? Anak itu seperti hilang ditelan bumi.
Sementara itu, tidak malam tidak siang, Bunga terus bermimpi bersetebuh dengan Malin. Bunga benar-benar merasa sangat tersiksa oleh rindunya. Hampir sepanjang hari dia menyebut-nyebut nama Malin. Bahkan, saat matanya terpejam tak jarang dia merintih-rintih seperti orang yang tengah kenikmatan dalam olah seks. Sementara itu juga mulutnya tak henti menyebut-nyebut nama Malin dengan suara mendesah penuh gairah.
Sabirin, ibu Bunga dan neneknya akhirnya sadar sesuatu yang gaib telah terjadi pada diri Bunga. Atas saran nenek Bunga, Sabirin akhirnya mendatangi rumah Datuk Maruhan. Di hadapan sang Datuk, Sabirin menceritakan keadaan anak gadis yang rupanya telah menjadi korban pelet dari pemuda bernama Malin.
"Anak gadismu termakan ramuan Cirik Berandang!" Kata Datuk Maruhan memberikan penjelasan.
"Siapa yang memberikannya, Datuk?" Tanya Sabirin.
"Siapa lagi kalau bukan pemuda yang disebut-sebut namanya oleh anak gadismu itu."
"Jadi Malin yang melakukannya?"
Datuk Maruhan mengangguk. "Benar, dia datang padaku dan kuberikan ramuan itu. Dia sakit hati karena anak gadismu telah berbuat keterlaluan padanya," jelas Datuk Maruhan. Dia lalu menceritakan bagaimana perlakukan Bunga terhadap Malin.
Sabirin tercenung beberapa saat lamanya. Dia menyesali perbuatan Bunga yang telah melanggar adat kesopanan itu.
"Maafkan anak gadis saya, Datuk. Saya minta dengan sangat agar Datuk sudi menyembuhkannya!" Pinta Sabirin setengah menghiba.
"Baiklah, ini serbuk penawarnya!" Kata Datuk Maruhan. Setelah dibacakan mantera serbuk penawar itu diberikan pada Sabirin.
"Terima kasih Datuk. Ini untuk membeli tembakau," ujar Sarbini menyalami Datuk Maruhun dengan menyelipkan uang 100 ribu. Datuk Maruhan menerimanya dengan tersenyum gembira.
Beberapa saat setelah meminum serbuk penawar, Bunga kembali pada keadaan semula. Dia tidak lagi menyebut-nyebut nama Malin, bahkan dia sangat membencinya setengah mati.
Sabirin dan seluruh keluarga nenek Bunga berusaha mencari Malin, tapi Malin sudah pergi jauh. Malin bersumpah tidak akan menginjak rumah nenek Bunga lagi.
***

Demikianlah kisah video uji nyali tentang kehebatan ramuan pelet Cirik Barandang. Keampuhan media pelet ini sangat sulit ditandangi. Sayangnya, tak mudah mencari informasi mengenai orang tua yang masih memiliki resep ramuan leluhur yang sangat langka ini. Sosok seperti Datuk Maruhan seperti pada kisah ini termasuk manusia yang sangat langka dan sulit ditemukan.
Tidak diperoleh informasi dari bahan apa sajakah sebenarnya ramuan Cirik Barandang ini dibuat. Namun, diperoleh sedikit petunjuk bahwa salah satu bahannya adalah (maaf) ujung kotoran manusia, dalam hal ini si pembuat Cirik Barandang tersebut.
Semoga, ulasan mengenai Cirik Barandang ini dapat menambah wawasan kita tentang ilmu-ilmu gaib yang bertebaran di sekitar kita. Terutama, hal ini penting diketahui oleh kaum Hawa, agar senantiasa berhati-hati dalam bersikap, terutama ketika mereka berada di suatu tempat atau wilayah yang masih kuat memegang tradisi nenek moyang. Ingat pepatah: "Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung."

TUJUH MALAM BERBULAN MADU DENGAN KUNTILANAK

Penulis : RUSDI


Kisah video uji nyali ini sungguh-sungguh terjadi di Kota Stabat. Menimpa seorang penarik bemor (becak motor) bernama Karto. Selama 7 malam dia berbulan madu dengan kuntilanak. Apa akibatnya...?

Kota Stabat, Ibu Kota Kabupaten Langkat, Sumut, di penghujung bulan Mei, terlihat sangat sepi. Kendaraaan roda dua dan roda empat yang biasanya hilir mudik melintas di tengah kota, malam itu tidak kelihatan. Sejak senja hingga larut malam, gerimis memang turun membasahi jalan raya. Mungkin karena itu warga kota dan warga yang tinggal di pinggiran kota memilih tetap tinggal di rumah.
Di tengah gerimis berselimut udara dingin menggigit sum-sum, para pedagang di pasar kaget terlihat duduk menemani beberapa orang pengunjung warungnya. Biasanya, di saat udara cerah, para pedagang itu tidak punya waktu berbincang-bincang dengan pengunjung warungnya. Mereka sibuk melayani pengunjung warung yang datang dan pergi silih berganti. Namun kali ini suasananya menjadi lain. Mereka nampak larut dalam perbincangan.
Malam itu, menurut penanggalan Jawa, adalah malam Jum'at Kliwon. Malam yang diyakini angker, karena sering terjadi peristiwa misteri dan irasional. Namun, di zaman sekarang malam keramat itu sudah dianggap tidak lagi menakutkkan. Lihat saja, kendati gerimis masih turun, para abang-abang becak tetap mencari sewa tanpa memperdulikan keangkeran malam Jum'at Kliwon.
Salah satu dari penarik becak bermotor itu adalah Karto. Meskipun malam Jum'at Kliwon dan hujan gerimis tidak juga berhenti, dia tetap mencari sewa. Karto bersama beberapa orang temannya mangkal di simpang kompleks Kantor Bupati Langkat. Mereka duduk di warung sambil menunggu sewa yang turun dari bus jurusan Banda Aceh-Medan.
Segelas kopi hangat yang Karto minum tidak dapat mengusir udara dingin. Meskipun jaket sampai dua lapis membalut tubuh, angin malam dapat menembus hingga ke sumsum tulang.
Malam baru pukul 23 lewat 15 menit. Kota Stabat yang biasanya ramai menjadi sunyi seperti kota mati. Karto tetap setia menanti calon penumpang becak bermotornya. Sebuah bus jurusan Banda Aceh-Medan berhenti. Seorang perempuan memakai baju kuning turun dari atas bus yang basah kuyup diguyur hujan itu.
Sambil menenteng paying di tangannya, wanita berbaju kuning gading itu berdiri di pinggir jalan, menanti kendaraan yang lewat. Dia melambaikan tangan kanannya ke arah Karto. Bergegas Karto menghidupkan becak bermotornya. Dan segera menghampiri si wanita. Dalam hati Karto kegirangan, sebab jarang sekali dia dapat sewa perempuan cantik seperti malam ini.
"Becak, Bang!" Ujar perempuan itu dengan suara lembut.
Karto tan sempat menyahut, sebab mulutnya seperti terkunci melihat betapa cantik si perempuan calon penumpangnya itu. Sang Dewi pun segera naik ke atas becak. Darah Karto tersirap ke ubun-ubun, sebab secara tak sengaja rok pendek yang dipakai perempuan itu tersingkap, sehingga terlihat pahanya yang putih mulus. Berulang kali Karto harus menelan air liurnya.
"Kemana tujuannya, Dik?" Tanyanya sambil menehan gejolak dalam dada.
"Ke Desa Ulat Berayun," jawab si wanita.
Karto segera tancap gas menuju alamat yang disebutkan. Tapi anehnya, baru sekitar 15 menit Karto memacu betor (becak motor)-nya, tiba-tiba dia merasa berada di tempat yang sangat asing baginya. Ya, Karto seperti memasuki kota metropolitan yang sangat megah. Kendaraan mewah hilir mudik dan perempuan-perempuan cantik keluar masuk plaza. Seingat Karto, tidak ada plaza-plaza yang mewah seperti itu, bahkan mobil-mobil yang hilir mudik juga sepertinya sangat asing di matanya.
"Rumahnya masih jauh, Dik?" Tanyanya sambil terus memikirkan keganjilan yang dihadapinya..
"Di ujung jalan sana, Bang!" Jawa si gadis dengan suara lembut dan manja, yang perlahan namun pasti seperti membius Karto.
"Berhenti di sini, Bang!" cetusnya lagi.
Karto menghentikan becak motornya di depan rumah megah bagaikan sebuah istana. Halamannya luas ditumbuhi rumput hijau dan bunga aneka warna. Bagian teras rumah itu dihiasi lampu kristal yang sangat wah.
"Singgah ya, Bang, nanti aku buatkan minuman badrek susu," ajak gadis itu ramah.
Karto tidak dapat menolak ajakan itu, sebab si gadis telah bergayut mesra di pundaknya. Kebetulan, udara dingin begini meminum bandrek susu pasti dapat menghangatkan badan. Di samping itu, jarang sekali dia mendapat tawaran sebaik ini dari seorang penumpang. Apalagi dari gadis yang cantiknya selangit. Begitulah bisik batin Karto.
Sementara Karto masih sibuk mengendalikan perasaannya, perempuan misterius itu mengambil anak kunci rumahnya dari dalam tas tangan yang disandang di bahunya.
Tak lama kemudian, pintu depan rumah nan megah itu terbuka. Karto dipersilahkan duduk di ruang tamu yang tertata sangat artistic, sehingga membuat terus terbengong-bengong. Perabotan rumah tangga di dalam ruangan tamu itu seluruhnya terbuat dari kayu jati yang ukirannya sangat indah.
"Duduk sebentar ya, Bang, aku ke dapur menyiapkan minuman buat Abang," kata si gadis. Suaranya sangat lembut dan manja. Karto hanya bisa mengangguk. Dia terus terkagum-kagum melihat perabotan dalam rumah serba mewah dan megah itu. ìPastilah gadis ini anak orang kaya, karena rumahnya saja bagaikan istana raja.î Bisik hati Karto lagi.
Pria beranak satu ini lebih kagum lagi saat dia menatap perempuan pemilik rumah datang membawa dua gelas minuman, yang telah berganti baju setengah telanjang. Lekuk tubuhnya terlihat nyata di mata Karto. Perempuan itu hanya tersenyum menggoda. Ketika menyuguhkan gelas berisi bandrek susuk, Karto dapat melihat leluasa dua bukit kembar tegak berdiri runcing di dadanya yang montok. Perempuan itu lagi-lagi hanya tersenyum menggoda.
"Malam ini Abang menginap di rumahku saja ya? Aku takut sendirian di rumah Bang!" Rengeknya manja.
"Kedua orangtuamu kemana?" Tanya Karto, agak gugup.
"Sudah meninggal dunia, Bang. Ayah meninggal akibat kecelakaan lalu lintas, dan ibuku meninggal bunuh diri," cerita si gadis.
ìOooÖ!î Karto melongo, sampai akhirnya perempuan manja itu bersandar di pundaknya. Sekejap kemudian, jari-jemarinya yang lembut menyelusuri pusat-pusat birahi di tubuh Karto.
Laki-laki mata keranjang ini pun tak kuasa untuk tidak membalas sentuhan itu. Dia bahkan melakukannya dengan lebih agresif. Syahwatnya menuju puncak.
"Bang, kita melakukannya di dalam kamar saja ya?" Ajak si gadis sambil segera melepaskan dekapannya. Karto hanya menurut saja.
"Gendong, Bang!" Rengek gadis itu, manja.
Karto menuruti saja keingiannya. Tubuh sintal padat dan berisi itu dibopongnya.
"Kamarnya di mana?" Tanya Karto. Kamar dalam rumah itu memang ada beberapa pintu.
"Nanti aku kasih tahu," jawab si gadis.
Karto berjalan mengikuti perintah si gadis, yang memintanya menuju ruangan di lantai dua. Kamar di lantai dua ini lebih mewah lagi. Karto terkagum-kagum melihat ruangan kamar yang sangat indah dan megah, seperti kamar seorang puteri raja. Di sana ada tempat tidur terbuat dari kayu jati pilihan berukir burung raja wali yang sedang mengepakkan sayapnya. Cahaya lampu dalam kamar itu remang-remang, bau aroma wangi memenuhi seluruh ruangan yang di desain untuk pasangan pengantin baru.
"Nama adik siapa?" Tanya Karto, penasaran. Begitu terpesonanya, sampai dia lupa menanyakan nama perempuan cantik yang mengajaknya bercinta.
"Sri Kunti," jawab si gadis manja.
"Namaku Karto!" Sahut Karto, tanpa diminta mengenalkan dirinya.
Sempat terlintas dalam benak Karto kalau nama perempuan ini aneh, tidak seperti nama kebanyakan perempuan. Tapi apa arti sebuah nama. Bisik hatinya. Karto sudah tidak sabar ingin segera melepaskan nafsu birahinya.
"Jangan buru-buru, Bang. Sabar sebentar," pinta Sri Kunti.
"Aku sudah tidak tahan!"
"Tapi kita harus menikah dulu?"
"Siapa yang akan menikahkan kita?"
"Itu orangnya!î Sri Kunti menunjuk ke ruangan tengah rumahnya dari atas lantai dua.
Aneh, di ruangan itu sudah ramai orang berkumpul. Mereka semua memakai baju bagus seperti hendak menghadiri resepsi pernikahan.
Ketika Karto masih kebingungan, Sri Kunti turun dari atas lantai dua. Dia berjalan menggandeng tangan Karto. Bersamaan dengan itu, Karto melihat busana yang dipakai Sri Kunti telah berubah menjadi busana pengantin berwarna putih. Padahal sebelumnya, gadis itu mengenakan gaun sutra yang transparan.
Ah, aneh sekali! Mengapa bisa begini cepat? Keraguan ini sempat terselip di batin Karto. Namun entah mengapa, dia kemudian tidak berusaha mempersoalkannya.
Karto sendiri bertambah bingung, sebab dirinya juga telah memakai baju jas berwarna hitam dan memakai dasi. Padahal sebelumnya, dia berpakaian lusuh, dengan jeans belel kesayangannya.
Akhirnya, mereka berdua menghadap petugas yang akan menikahkannya. Akad nikah yang Karto laksanakan tidak seperti waktu dia dulu menikah dengan Atik, isterinya yang selalu setia menunggu di rumah. Karto cukup hanya mengucapkan ikrar setia setelah itu resmilah mereka sebagai pasangan suami isteri.
Setelah resepsi, pernikahan selesai, semau tamu yang datang pergi meninggalkan rumah. Kini tinggal mereka berdua di dalam rumah besar itu.
Hujan gerimis berubah menjadi sangat deras. Udara dingin menusuk tulang. Karto membutuhkan kehangatan. Sri Kunti pun sama membutuhkannya.
"Sekarang kita sudah resmi sebagai pasangan suami isteri. Silahkan Abang menikmati tubuhku," kata Sri Kunti. Sehelai demi sehelai kain pembalut tubuhnya dia buka, sehingga akhirnya tampaklah pemandangan yang membuat lutut Karto gemetar.
Pasangan yang barusan melangsungkan ikrar hidup berdua itu tak sabar menikmati malam pertamanya. Karto menggendong tubuh Sri Kunti memasuki kamar tidur yang telah dipersiapkan untuk mereka berdua.
Tubuh sintal itu dia baringkan di atas kasur empuk. Permainan birahi segera mereka lakukan. Kedua pasangan pengantin baru ini berpacu menuju puncak birahi. Tak ada lagi kata-kata yang terucap dari bibir keduanya. Masing-masing berkonsentrasi menuju finish. Keduanya berlari sama-sama kencang dan sama-sama binal seperti kuda liar sumbawa. Desah nafas kenikmatan keduanya seirama dengan goyangan tubuh Sri Kunti.
Karto merasakan puncak kenikmatan yang tiada tiara. Selama ini, setiap dia berhubungan intim dengan isterinya selalu terasa hambar. Demikian pula ketika dia melakukannya dengan PSK. Karto merasakan kenikmatan biasa-biasa saja. Tapi pada malam ini dia merasakan kenikmatan yang sungguh luar biasa.
Biasanya setelah dua kali Karto memuntahkan rudalnya, tubuh pasangannya lemas. Berbeda dengan Sri Kunti, meskipun permainan di atas tempat tidur sudah berlangsung selama hampir dua jam, stamina tubuhnya masih stabil. Berbeda dengan Karto, dia sudah tidak sanggup lagi melanjutkan permainan. Dia menyerah kalah.
"Ayo lanjutkan lagi, Bang!" Pinta Siri Kunti, menantang.
"Aku sudah tidak sanggup, Sri!" Jawab Karto, menyerah.
"Biasanya Abang tak pernah menyerah?"
"Kaulah satu-satunya perempuan yang dapat menaklukkanku. Kau hebat Sri!" Puji Karto. Sri Kunti hanya tersenyum mendapat pujian ini.
"Kapan kita ulangi lagi, Bang?"
"Besok malam."
"Abang tidak pulang?"
"Untuk apa aku pulang. Isteriku di rumah tidak dapat memberikan kepuasan. Berhubungan intim dengannya sama dengan memeluk bantal guling. Tidak ada rasanya!" Karto mengeluh tentang isterinya, yang usianya memang lebih tua lima tahun dengannya.
"Malam sudah menjelang subuh. Kita tidur ya, Bang!" Bisik Sri Kunti. Karto hanya mengangguk.
Keduanya segera memejamkan mata. Karena tubuh mereka sudah sangat letih, sebentar saja mereka sudah lelap tertidur pulas. Dan mereka melewatkan waktu yang sangat panjang dalam tidur itu.
Menjelang senja, Karto baru terbangun dari tidurnya. Lampu di dalam rumah sudah menyala semuanya. Sementara itu, Sri Kunti barusan saja mandi sambil keramas. Rambutnya yang panjang hingga pinggul masih terlihat basah. Tubuh Karto masih terasa lemah. Seluruh sendi-sendi tulangnya terasa mau copot semua.
"Mas mandi dulu, aku sudah siapkan air hangat dan handuk dalam kamar mandi," perintah Sri Kunti.
Karto menuruti saja perintah Sri Kunti. Dia segera mandi di sebuah kamar mandi yang sangat mewah, sehingga lagi-lagi Karto tak henti menangguminya. Dia pun merasa seperti mendapat durian runtuh. Tinggal di rumah mewah, dengan isteri yang cantiknya selangit.
Selepas mandi, di meja makan, Sri Kunti sudah menyiapkan hidangan santap malam. Mereka berdua menikmati hidangan makan malam.
Setelah selesai santap malam, Sri Kunti mengajak Karto ke taman belakang rumah. Mereka berdua bercenngkerama sambil bermain ayunan.
"Sri, permainan kita lanjutkan di dalam rumah saja ya!" Ajak Karto yang sudah tidak sabar ingin segera melampiaskan nafsu birahinya. Sri Kunti hanya mengangguk.
"Gendong, Bang!" Rengeknya manja.
Permintaan Sri Kunti ini tidak dapat ditolaknya. Karto membawa Sri Kunti masuk ke dalam kamar tidur. Kain seprai sudah diganti dengan yang baru. Tubuh perempuan yang digendongnya dia baringkan di atas kasur empuk.
Mereka segera berlari menuju ke puncak birahi. Permainan malam kedua ini lebih hebat dan lebih gila. Mereka baru mengakhiri permainan ranjangnya menjelang subuh. Keduanya terkapar lemah tidak berdaya. Mereka pun kembali tertidur lelap.
Menjelang senja, Karto lagi-lagi baru terjaga dari tidurnya. Demikian yang terjadi seterusnya. Setiap hari Karto menjalani runitias seperti itu. Bercinta sampai larut, tertidur pulas, dan baru terjaga ketika hari telah senja. Karto sama sekali tidak pernah mengetahui kehidupan di siang hari. Semua aktivitas hidup di dunia lain tempat Sri Kunti tinggal menetap sepertinya hanya berlangsung pada malam hari. Kampung tempat Karto kini tinggal sepertinya hanya muncul menjelang senja hingga subuh. Siang hari kampung itu tidak pernah ada....
***

Sudah lima hari, Karto tidak pulang ke rumah. Informasi yang diterima Atik, isterinya menyebutkan bahwa malam Jum;at kemarin, suaminya mengantarkan perempuan cantik. Setelah mengantarkan perempuan itu Karto tidak pulang ke rumah.
Atik sudah mencari Karto ke mana-mana, tapi tidak juga ditemukan. Bahkan Karto. Karena takut terjadi sesuatu pada diri suaminya, Atik bahkan sudah melaporkan kasus hilangnya Karto pada politi.
Beragam prediksi muncul akibat menghilangnya Karto. Ada yang berpendapat barangkali perempuan yang diantarkan Karto itu adalah anggota sindikat perampok.
Namun, Atik tidak yakin suaminya dirampok. Nalurinya mengatakan, suaminya yang mata keranjang itu tengah bersenang-senang dengan perempuan cantik yang diantarkannya. Apalagi, beberapa tahun lalu, Karto pernah sampai tiga hari tidak pulang ke rumah setelah mengantarkan sewa seorang perempuan cantik. Ternyata Karto tinggal serumah bersama perempuan itu.
Teman-teman satu profesi dengan Karto ada yang menyarankan untuk minta bantuan dukun untuk mengetahui di mana Karto berada. Saran itu dituruti Atik. Dengan diantar adiknya, Atik mendatangi rumah Mbah Katijo, dukun kampung yang tidak diragukan lagi kemampuannya.
Dihadapan Mbah Katijo, Atik menceritakan tentang suaminya sudah lima hari tidak pulang ke rumah.
"Suamimu sedang berbulan madu," kata Mbah Katijo, menjelaskan.
"Dengan siapa dia menikah, Mbah?" Tanya Atik sambil menahan geram. Dalam hati, dia mengumpat habis-habisan suaminya. Padahal dulu Karto sudah bersumpah tidak lagi berselingkuh. Kini dia ulangi lagi.
"Dia menikah dengan perempuan dari dunia lain."
"Siapa perempuan itu, Mbah?" Atik menjadi penasaran.
"Dia bangsa kuntilanak!"
Mendengar Mbah Katijo menyebut nama kuntilanak, bulu roma Atik merinding. "Apakah suamiku masih bisa pulang, Mbah?" tanyanya sambil menahan tangis.
"Bisa, tapi sabarlah. Biasanya acara bulan madu bersama kuntilanak dari dunia lain berlangsung tidak lebih dari tujuh hari," kata Mbah Katijo, menjelaskan.
Berarti dua hari lagi Karto baru pulang ke rumah?
***

Memang aneh, memasuki malam ketujuh, Karto berpamitan pada Sri Kunti hendak pulang ke rumahnya. Entah bagaimana, tiba-tiba Karto merasakan kerinduan teramat berat pada keluarganya, pada Atik, isterinya, juga pada Dimas, anaknya yang baru berusia lima tahun.
"Sri, aku mau pulang ke rumah, nanti aku kemari lagi!" Katanya berjanji.
"Bukankah Abang sudah berjanji ingin hidup bersamaku?" Protes Sri Kunti, mengingatkan.
"Tapi aku punya keluarga!"
Sri Kunti diam beberapa saat lamanya. Lalu, dengan tenang dia berkata, "Pulanglah, Bang. Keluarga Abang di rumah paati menanti Abang pulang."
Sri Kunti melepas kepergian Karto dengan linangan air mata. Dia mengantarkannya hingga ke depan pekarangan rumahnya. Karto menyelusuri jalan raya di dunia maya yang membingungkan itu. Aneh, ketika karto tiba di sebuah persimpangan jalan, kota itu hilang secara misterius. Becak bermotornya yang dikemudikan mendadak mati mesinnya. Setelah diperiksa, bensinnya habis.
Malam sudah menujukkan pukul dua dini hari. Suasana di sekitar begitu sepi. Di sebelah kiri jalan, Karto melihat hamparan kuburan umum. Ratusan orang dikubur di sana. Bulu kuduk Karto berdiri meremang. Badannya mendadak lemas.
Perkampungan warga sekitar satu kilometer lagi. Karto tidak sanggup mendorong becaknya. Tubuhnya sangat lemah. Seluruh sendi-sendi ototnya rasanya copot. Akhirnya, Karto memutuskan tidur dalam becaknya.
Pagi hari, ketika dia terjaga dari tidur pulasnya, orang-orang ramai berada di sekelilingnya. Dia mencoba untuk bangkit dari atas becak, tapi usahanya sia-sia. Tubuhnya sangat lemah sehingga tidak dapat digerakkan. Teman-teman satu profesi yang kebetulan kenal dengannya, akhirnya mengantarkan Karto pulang ke rumahnya.
Mengetahui berita Karto pulang, warga di sekitar tempat tinggalnya, berbondong-bondong ke luar dari rumah. Dalam tempo sekejap rumah Karto ramai seperti ada pertujunkkan dangdut. Bertubi-tubi pertanyaan pun di arahkan kepadanya. Namun, Karto lebih banyak diam. Penampilannya berubah dari biasanya. Karto yang biasanya ceria, kini berubah seperti orang bingung.
Hari berikutnya, Mbah Katijo menemui Karto. Semua yang diceritakan dukun kanpung ini dibenarkan Karto. Atik menjadi emosi mendengarnya dan api cemburunya tidak dapat dipadamkan. Dia tidak sudi lagi menerima Karto, sebab sudah bersebadan dengan makhluk halus.
Atik akhirnya pergi membawa anaknya ke rumah orang tuanya. Tinggallah Karto seorang diri dalam keadaan lumpuh total. Kini, dia hidup dari belas kasihan orang-orang yang dekat dengannya.
 
Support :