Tampilkan postingan dengan label Zurmaiti. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Zurmaiti. Tampilkan semua postingan

BERSEKUTU DENGAN SILUMAN BUAYA PUTIH

Kisah video uji nyali ini diadaptasi dari sebuah kejadian nyata yang berlangsung di daerah pinggiran Sukabumi. Bercerita tentang seorang wanita kemaruk harta yang bersekutu dengan Siluman Buaya Putih....

Hanya karena kecewa usaha butiknya tak maju dan tak berkembang, Setiowati nekad ingin melakukan pesugihan. Dia bernafsu melakukan ini agar usahanya maju kembali dan ingin cepat-cepat kaya.
Ringkasan cerita, setelah bertanya ke beberapa dukun aliran sesat, Setiowati akhirnya menjatuhkan pilihan dengan memuju Raja Siluman Buaya Putih.
"Berjalanlah menyusuri aliran Sungai Ciliwung. Ketika kau temukan sebuah pohon beringin besar, maka berhentilah di sana. Lakukanlah semua petunjuk yang telah aku berikan padamu!" kata sang dukun, memberi petunjuk video uji nyali.
Ya, pada hari yang ditentukan, wanita yang penuh dengan ambisi duniawi ini akhirnya berjalan menyusuri bantaran Sungai Ciliwung di wilayah Bogor. Dia ingin secepatnya menemukan tempat yang tepat, dimana Raja Siluman Buaya Putih itu bercokol, dengan ciri seperti yang dijelaskan oleh dukun yang memberinya petunjuk, dan telah dia bayar dengan jumlah uang yang sangat besar. Karena itu, dia bertekad untuk tidak akan gagal.
Setelah seharian mencari, akhirnya dia menemukan juga. Tempat itu begitu sepi dan berada di pinggiran sungai yang banyak ditumbuhi pohon besar. Barangkali, tak banyak orang yang pernah menjamah wilayah ini. Di sana juga terdapat sebuah pohon beringin yang usianya diperkirakan sudah sangat tua. Setiowati merasa yakin, tempat inilah yang dimaksud oleh si dukun.
Setelah malam tiba, Setiowati langsung duduk bersimpuh di sisi pohon beringin tua yang berada di pinggiran sungai. Angin semilir yang menerpa rambutnya tak lagi dihiraukan. Begitu juga cahaya rembulan yang temaram tak dihiruakannya, meski sepertinya penuh dengan misteri. Dia coba berkonsentrasi. Namun, pikirannya kacau balau, sehingga terus mengembara memikirkan usahanya yang telah kandas.
Ya, usaha butik peninggalan almarhum suaminya itu kini telah bangkrut. Padahal dulu semasa suaminya masih hidup usaha ini cukup berkembang. Namun semenjak suaminya meninggal, sedikit demi sedikit usahnya itu mengalami kehancuran.

"Ah...aku tak boleh terus larut dalam kesedihanku. Aku ingin bangkit kembali, walau ini jalan sesat yang harus kutempuh!" batin Setiowati.
Dengan tangan gemetar, wanita yang terbiasa hidup dalam gelimang harta ini mulai membakar kemenyan di atas pedupaan yang telah dipersiapkannya. Bau tajam kemenyan menebar ke sekeliling, menerobos kimbunan pepohonan. Hembusan angin seakan membuat bulu kuduk merinding. Namun, Setiowati telah bertekad bulat dengan ambisinya. Karena itu, dengan sekuat hati dia berusaha menghilangkan perasaan takutnya.
Hatinya telah mantap untuk memanggil Raja Siluman Buaya Putih. Sesuai dengan petunjuk sang dukun, dengan perlahan bajunya dilepas satu persatu sambil mulutnya terus merapal sebuah mantera. Tak lama kemudian, da pun telanjang bulat. Sambil terus merapal mantera, tubuhnya yang tampak berkilat diterpa cahaya bulan yang tengah purnah, bergerak mengitari pedupaan.
Setelah tujuh kali putaran, tanpa peduli pada udara dingin dan rasa takut sedikitpun, dia pun menceburkan dirinya ke sungai. Mulai kaki, perut, dada sampai ujung rambutnya dia tenggelamkan ke dalam air sungai yang tenang itu.
Persis seperti yang dikatakan sang dukun kepadanya. Beberapa menit kemudian keanehan memang terjadi. Tiba-tiba dari kedalaman air sungai, sebuah suara terdengar memanggil-manggil namanya.
"Setiowati...Setiowati! Aku telah menerima kehadiranmu!" demikian kata suara itu.
Aneh, setelah suara itu sayup-sayup menghilang dari pendengaran Setiowati, lalu muncullah seorang pria tampan dengan pakaian kebesarannya. Di atas kepalanya terdapat mahkota bertatahkan intan berkilauan. Ah, penampilan si pria misterius ini sungguh sangat mempesona. Dia tak hanya tampan, tapi juga sangat gagah. Jauh dengan figur suami Setiowati yang kurus kerempeng akibat hampir sepanjang hidupnya digerogoti penyakit TBC.
"Ada keperluaan apa, kamu memanggilku?" tanya pria tampan itu dengan suara berwibawa.
Agak tergagap Setiowati menjawab, "Saya ingin kaya, dan usaha butik saya ingin kembali maju!"
"Baiklah...saya akan mengabulkan permintaanmu, namun dengan satu syarat. Apakah kau sanggup?"
"Syarat apakah gerangan itu?" tanya Setiowato, takjim.
"Setiap malam Jum'at kamu harus bertemu denganku dan mau melayaniku. Karena itu, kau harus menyediakan kamar khusus untukku."
"Baiklah, aku menyanggupi syarat itu!"
"Ingat, jika kamu ingkar janji, maka harta dan jiwamu jadi taruhannya. Apa kamu sanggup menaati permintaanku ini?"
"Saya sanggup menaatinya!"
"Baiklah, kalau begitu kau sekarang ikut aku!"
Singkat cerita, Setiowati dibawa masuk ke alam gaib yang terdapat di dalam aliran Sungai Ciliwung. Sepanjang perjalanan menuju istana Siluman Buaya Putih, Setiowati banyak melihat hal-hal aneh yang membuat dirinya kagum sekaligus takjub. Misalnya saja, dia melihat bangunan yang indah dan megah disertai para penjaga kerajaan yang gagah. Sesekali pula Setiowati memandangi para penjaga itu. Aneh, mereka sama sekali tidak mempunyai bibir bagian atas. Antara hidung dan bibir bawahnya langsung bertemu. Begitu pula dengan jari tangan dan jari kaki mereka tersambung. Ya, sungguh tak ubahnya bagaikan jari buaya.
Setelah sampai di suatu tempat yang indah, Setiowati dipersilahkan duduk di sebuah bangku yang bertahtakan bulu-bulu yang sangat indah. Sesaat lamanya, dia termenung mengagumi keindahan tempat itu.
Tanpa diketahui dan disadarinya, tiba-tiba di hadapan Setiowati telah berdiri sesosok lelaki dengan pakaian kebesaran sebperti layaknya seorang raja. Lelaki itu begitu tampan, tubuhnya atletis, tegap dan gagah. Kulitnya yang kuning langsat menambah penampilannya yang gagah itu sehingga terlihat semakin menawan.
Lelaki gagah itu segera menyalami Setiowati. Meski sedikit gugup, disambutnya uluran tangan itu sambil harap-harap cemas. Aneh, tangan itu begitu dingin, persis tangan mayat.
Namun keheranan Setiowati segera sirna saat aroma bunga melati menerpa hidugnnya. Bagaikan terangsang oleh wewangian aroma therapi, gairah birahinya mendadak begitu memuncak, terlebih di saat lelaki tampan itu menebar senyumnya. Ya, gejolak nafsunya yang selama ini terpendam sejak kepergian sang suami, meledak-ledak begitu lelaki tampan itu menyentuh bagian terlarang miliknya yang sangat pribadi.
Tak lama kemudian, mereka telah terlibat dalam sebuah adegan yang begitu menggairahkan. Tangan lelaki itu kian nakal dan berani memegang benda sensitifnya. Gairah asmara Setiowati yang tak pernah kesampaian kini ditumpahkan kepada lelaki tersebut, meski dia sebenarnya tak pernah tahu jatidiri pria itu yang sebenarnya.
Dengan mata terpejam dia menikmati permainan binal tersebut. Di tengah pergumulan, tanpa sengaja tiba-tiba kaki Setiowati terasa menyentuh sesuatu yang aneh. Sesuatu itu terasa sangat kasar mirip sebuah gergaji. Setiowati segera membuka matanya dan menatap ke arah benda tersebut. Betapa kagetnya Setiowati, ternyata benda itu adalah ekor buaya. Yang lebih membuat dia histeris, ternyata dia kini tak lagi bergemul dengan seorang pria tampan tapi dengan seekor buaya putih yang sangat besar.
Dengan rasa takut, dia coba meronta, melepaskan diri dari tindihan makhluk siluman itu. Namun siluman itu berteriak dengan nada marah, "Awas, kamu jangan mengingkari kesepakatan yang telah kita buat. Apa kamu ingin tetap hidup dalam kemiskinan?"
Mendengar kata "kemiskinan" hati Setiowati kembali terenyuh. Ya, sungguh dia tak ingin kembali hidup dalam kemiskinan, sebab itu semua sungguh sangat meyakinkan. "Biarlah tubuhku dinikmati siluman buaya, yang penting aku bisa kaya raya," batinnya.
Sekuat hati dia coba untuk tabah. Walau terasa menyakitkan, dia biarkan sesuatu mengoyak miliknya yang paling pribadi itu. Tak ada kenikmatan yang dirasakannya. Yang dia peroleh hanya kegetiran. Namun hal ini seakan tak berarti manakala terbayang di dalam perlupuk matanya limpahan harta yang akan dia peroleh.
Usai melayani nafsu Siluman Buaya Putih yang sangat bergairah, Setiowati merasakan sangat lelah yang luar biasa, hingga tanpa terasa dia tertidur dengan pulas. Aneh, begitu terbangun dia mendapati tubuhnya yang telanjang bulat telah berada di pinggir sungai. Ya, di dekat pohon beringin keramat itu.
Sotiowati merasakan ketakutan yang teramat sangat. Namun, perasaan ini segera sirna manaka di sekitar tubuhnya dia mendaparkan intan, berlian, serta perhiasan mewah lainnya yang nampak berserakan. Betapa senangnya hati Setiowati, dan dia tersenyum penuh kemenangan.
"Selamat tinggal kemiskinan!" bisik batinnya. Dan, dia segera merapikan dirinya untuk pergi meninggalkan tempat keramat itu.
***

Beberapa hari setelah kejadian itu, Setiowati langsung membuka kembali usaha butiknya. Dan, dalam waktu yang tak begitu lama usahanya yang nyaris bangkrut kembali berkembang dengan pesat. Apa yang dikerjakannya selalu lancar, kekayaannya pun bertambah dan berlimpah ruah.
Kurang dari setahun, toko tempat usahanya diperluas, rumahnya pun dipugar dan ditingkat. Perabotan rumah tangganya seluruhnya diganti dengan yang mahal-mahal. Belum lagi mobil sedan yang kini telah terparkir di garasinya.
Namun, dibalik itu semuanya sifat dan tabiatnya mulai berubah. Dulu dia dikenal ramah dan murah senyum dengan para tetangga. Namun kini setelah dia kaya raya, tak ada lagi senyuman di bibirnya. Dia pun mulai pelit terhadap orang yang meminta sumbangan kepadanya.
Walau kekayaan telah diraihnya, dan usaha butiknya telah tumbuh dengan pesat, namun di dalam hatinya yang sangat dalam mulai muncul resah dan gelisah. Karena itu wajahnya yang cantik sering terlihat kusut. Bahkan, wajah itu kuan kusam tak beraura karena setiap malam Jum'at dia harus melayani nafsu buas Siluman Buaya Putih.
Ya, bila malam keramat itu tiba, maka sejak malam hari hingga menjelang subuh, dia harus rela tubuhnya dinikmati oleh Siluman Buaya Putih yang memberikan kekayaan terhadapnya. Terkadang dia menangis dan menahan rasa jijik jika tengah bergumul dengan siluman itu. Tak hanya wujudnya yang menjijikan, tapi nafsu seks makhluk itu juga sama menjijikannya. Dia begitu buas, hingga dalam sekali pertemuan bisa minta dilayani beberapa kali.
Tak hanya itu yang membuat Setiowati kian sirna gairah hidupnya. Yang lebih membuatnya tertekan ialah dia tak boleh menikah dengan pria lain. Kalau ini dilanggar, maka nyawalah yang jadi taruhannya.
Yang namanya penyesalan, memang selalu terjadi di belakang hari. Begitu pula dengan Setiowati. Dia merasa menyesal sebab telah bersekutu dengan Siluman Buaya Putih. Dia baru menyadari kalau ternyata kekayaan yang dimilikinya tetap tak membuatnya baghagia, malah membuatnya tambah menderita. Kini, terbesit di dalam hatinya untuk lari dari perjanjian gaib dengan siluman itu.
Pada suatu malam, dia berkemas seadanya. Tujuannya adalah ingin pulang ke kampung halamannya di daerah Sukabumi. Namun, belum lagi dia sempat membuka pintu, Siluman Buaya Putih itu telah muncul di hadapannya. Wajah makhluk itu kelihatan sangat marah, seakan hendak menelan bulat-bulat tubuh Setiowati.
"Setiowati...mau kemana kau. Kau hendak ingkar janji kepadaku hah...?!" bentaknya.
"Siluman Buaya Putih, aku ingin bertobat dan lepas dari cengkeraman buasmu. Biarkan aku pergi tanpa sepeser pun harta pemberianmu!"
"Tidak bisa. Enak saja kau meninggalkanku setelah kau menikmati harta pemberianku. Kau harus tetap bersamaku dan menemaniku di neraka nanti!"
Merasa tak mampu melepaskan diri dari cengkeraman iblis itu, Setiowati berusaha berteriak sekencang-kencangnya untuk meminta pertolongan. Siluman Buaya Putih kian murka. Dengan kekuatan gaibnya dia membakar rumah megah milik setiowati beserta isinya.
Sementar itu, para tetangga yang mendengar teriakan Setiowati berusaha memadamkan kobaran api. Sebagian lagi mencari Setiowati.
Beberapa jam kemudian kebakaran dapat diatasti, dan Setiowati dapat ditemukan warga dalam keadaan selamat. Namun, walau Setiowati telah ditolong warga, dia tetap saja berteriak ketakutan. Wajahnya memendam rasa takut dan kengerian luar biasa. Warga yang merasa kasihan membawanya ke rumah sakit, namun tetap saja tak ada perubahan. Dia selalu kalap seperti orang gila.
Sampai saat ini Setiowati sering berteriak sendirian seperti orang gila, dan memang kini dia telah gila. Di tengah jalan, di tengah kerumunan orang banyak, maupun di tengah pasar, dia selalu berteriak ketakutan. Namun, kadangkala dia menangis sesenggukan. Ya, dia gila akibat perjanjiannya dengan Siluman Buaya Putih.
Semoga cerita ini bisa diambil hikmahnya. Walau bagaimanapun bersekutu dengan setan, apapun jenisnya, tetap tak membawa keuntungan. Malah kerugian yang kita dapati. Dan yang pasti nerakalah tempatnya.

ANAKKU TERNYATA ANAK GENDERUWO

Penulis : ZURMAITI


Gara-gara ingin mempunyai seorang anak, sepasang suami isteri yang sudah belasan tahun menikah rela bersekutu dengan genderuwo. Namun akhirnya, penyesalan jualah yang mereka dapatkan....

Kisah video uji nyali ini dialami oleh paman dari sahabat Penulis, yang bertempat tinggal di daerah Blitar, Jawa Timur. Demi melindungi nama baik mereka, sahabat penulis meminta supaya nama pelaku disamarkan. Berikut ini adalah kisah video uji nyali lengkap mereka...:
Setelah tiga belas tahun menikah, Ngadiyono dengan Sulastri belum juga dikaruniai seorang anak. Sudah tak terhitung banyaknya dokter ahli kandungan yang mereka datangi demi mewujudkan impian mereka memiliki momongan. Bahkan puluhan orang pintar pun telah mereka sambangi demi mimpi yang sama. Namun semua usaha yang melakukan lakukan belum membuahkan hasil yang memuaskan.
Karena mimpi yang mereka dambakan tak juga terwujud jadi nyata, pasangan suami isteri Ngadiyono dan Sulastri pun tenggelam dalam rasa keputusasaan, bahkan akhirnya hanya bisa pasrah terhadap nasib. Hingga suatu ketika datanglah salah seorang paman Sulastri yang bernama Pakde Ngatmin yang berasal dari Kediri. Kepada Pakdenya, Sulastri dan Ngadiyono menceritakan keresahan yang mereka alami.
Setelah mengetahui penderitaan yang dialami oleh keponakannya, Pakde Ngatmin memberitahukan bahwa ada suatu tempat kramat di wilayah Jawa Timur yang mungkin saja bisa mewujudkan impuan mereka. Tempat semacam punden kuno.
"Banyak orang minta berkah di tempat kramat ini agar mempunyai anak. Menurut cerita yang Pakde dengar, kabarnya banyak yang berhasil," tegas Pakde Ngatiman.
Walaupun Pakde-nya telah membicarakan kekeramatan punden tersebut, Ngadiyono sama sekali tidak tertarik. Pikirnya, dokter dan orang pinter saja sudah dia datangi dan tak berhasil, apalagi hanya sebuah tempat keramat. "Mustahil!" bantahnya dalam hati.
Karena omongannya tak ditanggapi oleh Ngadiyono, Pakde Ngatmin malah membujuk keponakannya, Sulastri, agar mau bertirakat di punden kramat tersebut, dan mohon kepada yang mbaurekso agar bisa diberi momongan anak.
"Apa kamu tidak ingin punya keturunan, sedangkan usia perkawinanmu sudah belasan tahun. Kalau suamimu tidak mau biar kamu saja yang tirakat disana. Nanti alamatnya Pakde kasih tahu," bujuk Pakde Ngatiman.
Mendengar bujukan dan nasehat pamannya itu, Sulastri mulai tergoda. Sebagai wanita dia sudah tentu ingin sekali mempunyai anak keturunan.
Demikianlah, detelah Pakde-nya pulang ke Kediri, Sulastri membicarakan keinginannya untuk bertirakat di punden keramat tersebut kepada suaminya. Namun, Ngadiyono menolaknya dengan alasan dokter dan paranormal saja tak banyak membantu apalagi tempat keramat. Lagi pula dia takut terjebak kemusyrikan dengan memuja sebuah tempat keramat.
"Lebih baik pasrah dan berdoa saja kepada Tuhan!" tegas Ngadiyono membuat isterinya terdiam.
Namun Sulastri tidak berputus asa. Keinginannya yang sangat kuat untuk mempunyai anak memaksanya untuk terus menerus mendesak suaminya agar mau menemaninya bertirakat di punden keramat tersebut.
Ngadiyono yang semula bersikukuh tetap menolak ajakan isterinya akhirnya luluh hatinya, ketika Sulastri memintanya dengan linangan air mata. Dia tak tega melihat isterinya bersedih.
Akhirnya, dengan berat hati Ngadiyono menyetujui usulan isterinya untuk bertirakat di punden keramat tersebut. Setelah mendapat cuti dari tempat kerjanya Ngadiyono beserta isterinya pergi menuju Jawa Timur. Mereka mampir ke rumah pamannya yaitu Pakde Ngatmin untuk dimintai alamat serta denahnya.
Setelah menginap semalam di rumah Pakde-nya, keesokan paginya mereka berdua menuju ke punden keramat tersebut. Di dalam perjalanan mereka mengira tempat yang akan mereka kunjungi adala sebuah makam keramat, namun ternyta bukan. Punden tersebut hanya sebuah onggokan batu besar yang sekelilingnya terdapat pohon-pohon besar dan tua yang menyeramkan.
Singkat cerita, setelah mendapat wejangan dari juru kunci punden, mereka berdua diharuskan tirakat di tempat tersebut dengan membakar kemenyan. Ini dilakukan selama semalaman.
Mereka berduapun menyanggupi persyaratan tersebut. Dan malam itu juga mereka melakukan ritual pemujaan di punden keramat itu. Bersama malam yang kian larut, mereka berdua pun ikut larut dalam semedi yang kian khusuk. Dinginnya malam dan semilir angin menerpa tubuh mereka. Ada perasaan takut dan ngeri di hati mereka. Namun karena tujuan telah bulat, maka perasaan itu pun mereka buang jauh-jauh.
Di tengah keheningan malam itu, mata Ngadiyono seakan mulai meredup dan tak sanggup menahan rasa kantuk yang amat sangat. Secara tak sadar dia pun mulai tertidur pulas, sementara Sulastri masih asyik dengan semedinya. Entah apa yang terjadi....
***

Beberapa bulan setelah melakukan ritual pemujaan di punden keramat, aneh bin ajaib, Sulastri memang hamil. Dia merasa sangat bahagia, begitu pula dengan Ngadiyono. Ya, mereka bedua merasa bahagia karena impian untuk mempunyai keturunan akan terwujud menjadi kenyataan. Tapi dibalik rasa bahagia itu hati Sulastri sebenarnya bergidik menahan ngeri bila mengingat peristiwa malam itu. Inilah kejadian yang sebenarnya...:
Tatkala suaminya tertidur pulas malam itu, dia didatangi sosok makhluk hitam tinggi besar. Makhluk seram itu mendatanginya dengan senyuman yang menyeringai. Namun entahlah, Sulastri bagaikan terhipnotis oleh senyuman makhluk itu.
Dan yang lebih aneh lagi, Sulastri diam saja ketika makhluk hitam seram itu menggumuli dan menikmati tubunya. Saat itu juga makhluk itu berkata sambil berbisik lirih, "Sulastri, aku akan menitiskan anakku ke dalam rahimmu!"
Sulastri diam membisu. Dia bahkan begitu bergairah dengan permainan makhluk yang sangat menjijikan itu.
Begitulah. Sulastri sengaja merahasiakan peristiwa tersebut kepada suaminya. Dia takut Ngadiyono marah besar bila mendengar cerita ini. Ya, siapa sih yang rela isterinya disentuh oleh orang lain, terlebih berwujud makhluk menyeramkan.
Hari demi hari berlalu, hingga tak terasa usia kandungan Sulastri mencapai sembilan bulan lebih. Semestinya, sang jabang bayi sudah berkendak dilahirkan ke dunia. Namun, memang aneh, hingga usia sepuluh bulan tanda-tanda kelahiran itu belum juga nampak.
Karena merasa takut ada sesuatu yang tak diinginkan terjadi pada diri isterinya, Ngadiyono segera memeriksakan kandungan Sulastri ke dokter spesialis kandungan. Menurut hasil pemeriksaan dokter, tak ada kelainan yang dialami Sulastri maupun bayi yang di kandungnya. Janin itu masih dalam keadaan sehat dan tak perlu merasa khawatir dengan keterlambatan persalinan.
Merasa tidak puas dengan jawaban dokter, Ngadiyono membawa isterinya ke dukun beranak. Setelah diperiksa, hasilnya pun sama, yaitu Sulastri dan anak yang dikandungnya masih dalam keadaan sehat.
Di usia kandungannya yang memasuki bulan ketiga belas, Sulastri merasa purutnya amat mules. Karena keadaannya mendesak Ngadiyono tak sempat membawa isterinya ke rumah sakit, namun dia segera membawa isterinya ke dukun beranak yang berada dekat sekitar rumahnya.
Menjelang tengah malam, hati Ngadiyono merasa resah dan tak menentu menanti kelahiran anak pertamanya. Beberapa saat kemudian terdengar tangisan seorang bayi dari arah dalam kamar. Kemudian disusul suara jeritan rasa kesakitan dan suara itu berasal dari suara dukun beranak.
Karena merasa penasaran, Ngadiyono segera masuk menuju kamar bersalin itu. Namun, betapa kagetnya dia saat itu. Apa yang terjadi? Ngadiyono menyaksikan sesosok bayi berwarna hitam legam dengan ditumbuhi bulu yang lebat tengah menyedot darah yang keluar dari leher si dukun beranak. Sementara itu Sulastri nampak jatuh pingsan.
Merasa ketakutan, saat itu juga, Ngadiyono berteriak meminta pertolongan. Demi mendengar teriakan itu makhluk kecil itu menatap Ngadiyono dan berkata, "Ngadiyono aku bukan anakmu, tapi aku adalah titisan genderuwo, yang dititiskan melalui isterimu!"
Makhluk itu tertawa menyeringai, kemudian berlari melompat jendela yang terbuka dan menghilang.
Beberapa lama kemudian, masyarakat yang mendengar teriakan Ngadiyono pada berdatangan. Mereka semua terkejut mendapati dukun beranak yang telah mati mengenaskan, dan merasa heran demi mendapati Sulastri yang tengah pingsan sehabis melahirkan. Begitu pun dengan Ngadiyono yang terkulai lemah di atas lantai, tak sadarkan diri.
Sebagian dari para tetangga itu segera mengurus jenazah si dukun beranak, dan sebagian lagi segera membawa Sulastri ke rumah sakit.
Seminggu setelah kejadian itu, keadaan Sulastri mulai membaik. Sambil berurai air mata dia menceritakan pengalaman seramnya ketika berada di punden keramat sewaktu suaminya tertidur. Ngadiyono menyimak dengan batin yang perih.
Sulastri menyesal dengan kejadian itu dan meminta maaf kepada suaminya. Ngadiyono pun memaafkan isterinya dan berusaha agar sabar menahan cobaan.
Mungkin memang Tuhan belum mengizinkan atau belum memberi mereka keturunan. Yang terpenting mereka berdua harus memohon ampunan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kerena mereka telah melakukan kemusyrikan dengan melakukan pemujaan di punden keramat tersebut.
 
Support :