Tampilkan postingan dengan label cerita horror. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerita horror. Tampilkan semua postingan

Istriku Pemuja Pesugihan Pocong


Siang itu, warung soto Akmadi yang ada di Kota Mojokerto ramai sekali. Pada jam makan siang, warung makan yang letaknya cukup dekat dari Alun-Alun Kota Mojokerto memang selalu penuh sesak pembeli. Mereka yang makan tidak saja dari orangorang tua, namun, ada juga keluarga muda, bahkan anak-anak yang masih remaja juga ikut menikmati lezatnya warung soto Akmadi.

Jika sudah begitu suasana menjadi riuh seperti di pasar. Sambil makan, tidak sedikit dari pembeli yang asyik bercanda dan bertelepon ria. Bahkan ada yang fotofoto sambil menunggu pesanan yang belum datang.
pesugihan pocong
Saat potret memotret, tidak ada yang menghebohkan dan hasilnya biasa saja. Konon, justru setelah tidak berada di warung milik Akmadi peristiwa aneh itu baru terjadi. Saat hasil fotonya dilihat di

layar tampak keanehan, yaitu salah satu yang dipotret itu ternyata seperti sedang di pangku sesuatu yang aneh berwarna putih menyerupai wujud pocongan. Dari beberapa pemotretan hanya sebuah foto

yang menampakkan gambar seperti itu.

Berita foto penampakan orang yang dipangku pocongan tersebut ternyata cepat menyebar, termasuk gambarnya juga menyebar dari handphone ke handphone lain. Setelah kehebohan itu, justru malah

ada beberapa orang yang mengaku melihat penampakan pocongan yang sedang memangku seorang pembeli saat mereka berada di warung tersebut. Herannya, setelah ada peristiwa itu, justru yang lain malah ikut-ikutan menambah-nambahi.

Ada lagi yang menyebutkan jika orang yang sering makan di warung tersebut bisa-bisa akan dijadikan tumbal pesugihan pocong. Tak menunggu waktu lama, akibatnya isu itu warung makan milik Akmadi sepi pembeli.

Akmadi yang merasa tidak melakukan apa-apa dan tidak mengetahui isu pesugihan itu, menjadi heran sendiri. Hari itu, tidak ada seorang pembeli pun yang makan di warungnya. Kemarin masih ada satu-dua orang pembeli, namun sekarang tidak ada sama sekali yang mampir di warungnya. Istrinya yang biasa membantu melayani pembeli sudah pulang terlebih dulu, mungkin karena warungnya sepi.

Akmadi merasa lelah sekali hari itu. Jika dulu badannya lelah karena melayani pembeli, sekarang badannya lelah menunggu pembeli yang tidak ada satupun yang datang. Capek melayani pembeli

membuat hatinya senang. Tapi capek karena tidak ada pembeli tidak hanya membuat badannya yang lelah, tapi hatinya juga merasa nelangsa.

Dalam hati, lelaki ini terus bertanyatanya, ada apa ini, kenapa hanya dalam waktu tidak sampai seminggu warungnya menjadi tidak ada pembeli sama sekali?

Malam itu, sebelum menutup warungnya, Akmadi sudah bertekad akan mencari jawabannya. Ia akan menanyakan hal itu kepada salah seorang temannya, yang sama-sama membuka warung di sekitar

situ.

Dulu, warung soto milik Akmadi yang ada di Kota Mojokerto itu tak pernah sepi pembeli. Setiap kali dibuka mulai pukul 09.00-21.00 WIB, warung itu selalu ludes diserbu pembeli yang ingin menikmati

sotonya yang sebenarnya banyak terdapat di tempat lain. Warung soto milik Akmadi seolah menjadi ciri khas Kota Mojokerto.

Orang-orang dari luar Kota Mojokerto juga banyak yang mengenal dan suka makan di warung sotonya jika kebetulan melintasi Kota Onde-Onde ini. Di samping rasanya yang memang enak, harganya

juga terjangkau. Begitu rata-rata alasan pelanggannya.

Sekitar pukul 21.00 WIB, Akmadi menutup warungnya. Ia menyempatkan keluar sebentar untuk menengok ke kanan dan kiri, barangkali ada calon pembeli. Tapi, malam itu memang kelihatannya

tidak ada seorang pun yang akan mampir di warungnya. Ia melihat beberapa warung yang menyediakan menu lain, selain soto, telah tutup dan hanya warung milik Tono, penjual sate ayam yang masih buka.

Sebelum menutup warungnya, Akmadi sempat menarik nafas dalam-dalam sembari berucap dalam batin, mungkin sepinya warung soto ini adalah cobaan yang diberikan Tuhan kepadanya. Sebab, dulu

sewaktu warungnya ramai ia lupa bersyukur atau kurang bersyukur. Karena itu ia harus tabah dan sabar dalam menghadapinya.

Dengan sabar, ia yakin tidak akan membuat hatinya semakin gelisah Malam itu, usai menutup warungnya,

Akmadi mendatangi Pak Tono, penjual warung sate ayam yang masih satu deretan dengannya. Ia berkeluh kesah kepada temannya yang asal Madura itu tentang warungnya yang tiba-tiba menjadi sepi

pembeli.

“Jadi kamu sendiri belum mendengar tentang isu mengenai warungmu, Di?” Tanya temannya tersebut.

“Belum, memangnya ada apa, No?”

Akmadi balik bertanya. Tono akhirnya menceritakan apa yang didengarnya secara terperinci. Mulai dari

foto salah seorang yang katanya dipangku pocongan sampai warungnya yang sewaktu-waktu bisa minta tumbal. Tak hanya bercerita, Tono juga menunjukkan gambar seorang gadis yang katanya dipangku pocongan lewat telepon genggamnya.

Mendengar cerita itu, Akmadi hanya geleng-geleng kepala sambil sesekali menarik nafas dalam-dalam. Tapi, saat ditunjukkan gambar gadis yang katanya dipangku pocongan, Akmadi kurang yakin jika gambar itu diambil di warungnya.

Sebab, latar belakangnya tidak jelas dan bisa saja foto itu hasil rekayasa seperti fotofoto artis yang sering didengarnya di berita infotaiment di televisi. Ia yakin bahwa isu itu dihembuskan orang yang tidak senang pada warungnya. Tapi, siapa yang tega melakukannya?

Malam itu, dengan perasaan galau Akmadi pulang ke rumahnya yang tidak terlalu jauh dengan berjalan kaki. Barang dagangannya ditinggalkan begitu saja di warungnya, tanpa ada yang dibawa pulang.

Seperti biasanya Ia masuk ke dalam rumahnya yang sudah sepi dan pintunya tidak dikunci.

Mungkin istri dan anaknya yang sudah berumur 7 tahun sudah ketiduran sehingga sampai lupa mengunci pintu rumah, batin lelaki ini. Tapi, sampai di ruang tengah dan di dekat kamar yang biasa digunakan untuk menaruh barang-barang,Akmadi mendengar sesuatu yang aneh. Suara itu lirih sekali, tapi ia seperti mengenali siapa yang menguncapkan kata-kata yang berulang-ulang menyerupai pembacaan mantera itu.

“Kadang jin mayit, kadang jin duit! Kadang jin mayit, kadang jin duit!” begitu kalimat itu terdengar sampai berkali-kali. Tiba-tiba datang hembusan angin yang entah dari mana asalnya.

Akmadi yang sedang mendekati ruangan itu sampai dibuat merinding bersamaan dengan datangnya tiupan angin tersebut. Sementara dari dalam kamar, Akmadi masih mendengar suara yang mengucapkan mantera berulang-ulang itu. Tiba-tiba lagi terdengar suara seperti benda jatuh. Setelah itu suasana kembali sunyi.

Saat Akmadi memberanikan diri untuk mengintipnya, ternyata di dalam kamar istrinya sedang menghadapi sebuah benda yang terbungkus kain putih meyerupai wujud pocongan.

Tak kalah kagetnya, saat benda menyerupai pocongan itu dibuka ternyata di dalamnya berisi uang tunai yang jumlahnya menggiurkan saking banyaknya. Akmadi seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Tapi, rasa penasaran membuat keberaniannya muncul untuk mengetahui apa yang sedang dilakukan istrinya.

“Apa yang kamu lakukan, Sri?!” tanya

Akmadi menyebut nama panggilan istrinya yang bernama lengkap Sriatun itu.

Sri terkejut, namun cepat-cepat wajahnya berganti dengan senyuman begitu mengetahui yang datang adalah suaminya.

“Kita kaya raya, Mas! Kita kaya raya, Mas! Lihat ini, semuanya adalah uang!

Tidak apa-apa warung soto kita sekarang sepi, tapi sekarang kita bisa menjadi kaya raya dengan uang ini!” Ucap istrinya menyakinkan Akmadi.

“Jadi selama ini diam-diam kau memuja pesugihan pocong, Sri? Berarti benar apa yang diisukan orang-orang tentang warung soto kita, Sri?!” Tanya Akmadi seolah masih belum percaya dengan apa yang dilakukan istrinya.

Sriatun tidak menjawab pertanyaan suaminya. Ia diam seperti mengiyakan atas semua yang telah terjadi. Akmadi sempat tidak setuju dengan apa yang dilakukan istrinya yang menghalalkan segala cara

untuk mendapatkan kekayaan. Ia takut bahwa semua itu akan menimbulkan sesuatu yang tidak baik, membutuhkan tumbal misalnya. Namun, ia tidak bisa berbuat apa-apa, sebab semua sudah

dilakukan istrinya tanpa sepengetahuannya. Dan, penyesalan itu semakin mendalam saat anak semata wayangnya meninggal di jalan raya akibat ditabrak kendaraan bermotor sepulang dari sekolah. Akmadi

sempat menduga, jangan-jangan itu akibat tumbal bagi mereka yang memuja pesugihan pocong? Tapi, pikiran itu sirna saat ia hanyut dalam kenikmatan yang dihasilkan dari memuja pesugihan pocong yang dilakukan istrinya.

Konon, selain bisa menarik harta benda secara langsung yang menyerupai pocongan, mereka yang menganut pesugihan pocong juga ikut terbantu jika mempunyai usaha warung makanan, dagang dan sejenisnya. Caranya, pocong pesugihan itu bisa menarik pelanggan.

Pelanggan bisa merasa nyaman, betah, dan ingin kembali ke tempat yang diikuti pocong pesugihan.

Tapi apa yang dilakukan Sriatun, istri Akmadi, tentu saja tak sebanding dengan resiko yang harus mereka tanggung. Kenikmatan duniawi yang mereka reguk akan sirna dalam sekejapan mata. Tapi siksa dikemudian hari harus mereka tanggung sepanjang masa. Sebuah perbuatan tercela yang tak pantas untuk diikuti.

sumber: www.majalah-misteri.net

Anak Kecil di Toilet Kantorku


Halooo Kismis mania balik lagi dengan tyo di sini,,kali ini gw mau ceritaain kejadian baru semalem dan masih anget heheheeh,,tapi ini yg ngalamin bukan gw tetapi cew gw di kantornye yang pernah baca tulisan gw yang ” akibat lebur” pasti tahu gimana seremnya kantor cew gw,,oke langsung aje ke kantor??? ohh upps ke ceritamaksudnya..
Oke di sini gw cerita mengantikan posisi sebagai cew gw waktu semalem ,,
Jam menunjkan pukul 19.00 wib , di ruanga kantor gw cuma ada 2 -3 orang yg masih terlihat masih berkerja ,,kerjan gw sudah hampir selesai hanya beberapa yg masih salah jadi gw print ulang dan tiba2 cow gw sms ” pulang jam brapa? hun” gw bales nanti sedidit lagi,,meja kantor gw sedikit berantakan di saat meraikan meja tiba2 dring tllp berbunyi kringgg!!…kringg!!! ” haloo jawab ku mau makan apa ry? ( tanya security di kantor gw ,karna jika lewat jam 7 malam dapat jatah makan,,,gw jawab nasi goreng aja pak,,ok jawab security ..gw tutup telp dan kembali membereskan pekerjaan dan meja gw…jam menunjukan 19.10 tiba=tiba bulu kudu gw merinding ngga tahu kenapa ,,oiya sekedar infon meja gw itu posisinya deket pintu masuk toilet dan pantry,,back story…gw pun membuang kertas hasil kerjaan yg salah sambil menyobek menjadi kecil dan ada pula yang gw lecek-lecek  tiba-tiba  JJREENGG!!!…sekelebat anak kecil masuk ke toilet dengan dasater putih sangat jelas,,gw cuma terdiam berharap ada security yang ke ruanganya atau sekedar lewat,,tapi yaa tuhan suasana semakin hening karna posisi ruang gw  palig belakang dan mojok ,,,jalan satu2nya gw cuma nunduk untuk menghalangin pandangan mata gw ke toilet,,,biar menghilangkan rasa takut gw buka FB dan chat sama teman dan tiba2  bulu kudu gw berdiri hebat   gw  juga nga tahu kenapa perasaan ada sesuatu di belakang gw dengan tampilan layar computer  gw coba lihat dari pantulan layar oh my god tuh anak kecil ada di belakang gw sambil mangguk2 palanye mukanye setengah terlihat karna di halangi rambutnya dengan cepat gw ganti tampilan layar computer gw dengan warna putih agar nga ada pantulan bayangan lagi,,,slama-lama semakin dingin asmping kiri gw tuh anak maju hingga tepat di samping gw dengan samar2 gw coba melirik ASTAGA!!!.. tuh anak melotot tepat di samping kuping gw ,,,dengan muka hitam mata putih dan rambutnya tergerai-gerai ketiup angin uda RA ac…pengen banget rasanye teriak tapi serasa kaku bgt mulut tuk biacara,,,gw baca2 sebisa gue sambil meraih kusor di komputer buat nyalahin winamp dng volume full tapi berat banget tangan kala itu,,,sampai akhirnya makanan dateng tapi bukan satpam yang  ngater melainkan temen kerja gw sebut aja bang ali,,”ry ni nasi lu..syukur abang dateng klo nga gw uda di makan tuh setan kali” dengan muka bingung bang ali bertanya mang lo lihat di mana ?  terus gw bilang tuh di tempat abang diri” alaah busett!! kata dia yang bener lo barusan di sini tapi pas abang dateng hilang,,,,” ya uda gw temenin lo makan”….sambil makan bang ali menceritakan berbagai kejadian mistis dari yg pernah dia alamin sampai security yang berjaga,,yang gw tangkep cuma 1 cerita dari bang ali di mana waktu itu malem jumat keliwon ada security sebut aje asep..nahh si asep ini emang dari siang buang2 air terus pas jam 11 maelm dia pamit ama temen satu shiftnya  pas di pintu toilet dia lihat bapak2 masuk dia pikir bapak iwan orang lapangan yang belum pulang,,pas dia masuk baru buka pintu JRENGGG  ada sosok tinggi perutnya gendut  dengan mata melotot hampir keluar seketika asep pun pingsan dan di temukan oleh temen 1 sihft nya 1 jam  kemudian,,,sehabis makan bang ali pun kedepan dan gw buru2 mebereskan meja tiba2 kran weatafel berbunyi di toilet tetapi gw tidak  takut karna gw pikir itu security kali abis makan cuci tangan lewat pintu belakang yg berhubungan dengan toilet,,dan gw pun kebetulan kebelet pipis,,pas di depan pintu toilet dengan bayang yanga ada gw lihat ke toilet cow itu ada security  lagi gendong anak kecil yang tadi dan si anak itu nengok ke gw perlahan2 astaga!!! karna pintu toilet itu pakai kaca buram jadi bisa terlihat tembus dikit,,,astaga gw  lari  secepetnya ke depan,,,sampe di depan ada bang ali yang tadi terus dia bilang gini kenape ry? ” ketemu lagi lo? gw bilang au ahh!! sambil absen pulang ,,,dan keluar pintu uda ada cow gw lagi nunggu..

Hantu Sopir Angkot yang Jahil


Kejadian ini terjadi beberapa tahun yang lalu sob, sebutlah si dody ( nama samaran ) dia masih terhitung pernah jadi temen kecil saya, berhubung kita beda komplek dan orang nya cukup pendiam jadi biar saling kenal juga kalau pas ketemu juga paling say hello aja sob, si dodi ini anak laki laki satu satunya di keluarganya dan untuk menopang hidup nya setelah ortunya pensiun dari angkatan darat, bapak nya dia beli angkot dan buka warung di rumah nya, sejujur nya saya setelah selepas remaja ga begitu banyak tau tentang kawan ku yang satu ini,  selain dulu aja pernah satu SD dengan adik perempuan nya, selebih nya saya ga pernah tau lagi mengenai kawan ku yang satu ini selain dia sering jadi supir angkot  miliknya  sendiri

Pada suatu hari yang naas kawan ku ini dia melintasi rel kereta api tanpa palang pintu di daerah stadion lapangan bola, arah jalan keluar yang tak jauh dari komplek, ya mungkin udah takdir nya dia sob, kawan ku ini saat mau narik angkot nya dia  malah ketabrak kereta api, dan akhir nya dia pun meninggal di tempat kejadian

Biasa nya orang yang meninggal secara tragis dan tiba tiba atau ngedadak, ya sebutlah seperti kecelakaan atau artinya meninggal secara penasaran karena saat moment moment dia mau di cabut nyawanya, orang yang mengalami hal seperti ini mungkin saja dia masih merasa ada di dunia, dan mungkin juga ada tujuan atau beberapa urusan yang belum di selesaikan. makanya  biasa nya suka jadi. Ya jadi gentayangan.atau, ada saja cerita yang menyeramkan berkembang mengenai sikorban. seperti  hal nya kawan ku yang satu ini sob

Setelah di hari  yang naas menimpanya otomatis beberapa warung kopi yang tak jauh dari sekitar lokasi kejadian banyak memilih untuk tutup alias ga berjualan, bisa di tebak kenapa?? Ngerasa serem kali jualan malam,  mana barusan ada yang ketabrak mati
Namun pada suatu malam kalau tidak salah mungkin malam kedua setelah terjadi kecelakaan tersebut, ada salah satu warung kopi yang memilih untuk membuka warung nya sob, saya sendiri kenal ama pemilik warung itu dia dulu bekas tetangga saya waktu saya masih ngontrak di tepi jalan raya dulu

Nah pada suatu malam nih sob, saat kondisi warung sepi, tiba tiba ada seorang pemuda datang dengan tergopoh gopoh ke warung kopi yang tak jauh dari lokasi kejadian, pemuda ini seperti nampak kebingungan sambil memanggil manggil si pemilik warung dia bertanya pak liat angkot saya ngga pak, ber ulang ulang si pemuda ini bertanya ke si pemilik warung, kala itu si pemilik warung masih belum sadar kalau yang bertanya itu adalah korban kemarin yang meninggal kecelakaan tertabrak kereta berikut angkot nya

Pertama yang membuat si pemilik warung gak menyadari hal tersebut, karena si pemuda ini yang meninggal kemarin ga menampakan wujud seram atau berdarah darah dengan muka ancur seperti biasa nya korban kecelakaan Cuma berdasarkan cerita yang di sampaikan pemilik warung si pemuda ini hanya terlihat pucat biasa aja seperti ya kaya gimana orang panik kehilangan kendaraan nya, balik lagi ke cerita pas si pemuda ini nanyain angkot nya..

Hantu ( h ) >>>>>>pemilik warung (pw)

H         “ pak liat angkot saya ngga pak, angkot saya ko ga ada
Pw       gak mas, emang angkot nya hilang di mana
H         saya juga gak tau pak se ingat saya kemarin angkot saya ada di rel kereta api itu,

si pemuda menunjuk ke TKP yang kurang lebih berjarak 15 meter dari warung kopi,baru disini si pemilik warung baru sadar dan teringat mengenai kecelakaan yang merenggut sopir angkot beberapa hari yang lalu

si pemilik warung kala itu se akan akan mulut nya terkunci tidak bisa lagi meneruskan percakapan dengan si pemuda tersebut hanya menganga sejadi jadi nya aja  yang kemudian di barengi dengan hilang nya si pemuda secara tiba tiba dari hadapan nya.
kemudian gak perlu pake lama dia si pemilik warung kopi langsung secepat kilat menutup warung kopi nya malam itu.dan hampir 2 bulan kios nya di tinggalin begitu aja,  ga jualan jualan lagi.

Nightmare


Kali ini aku kembali mencoba menulis cerita. Jika tulisan saya berantakan, harap maklum. Semoga anda terhibur.
Hahaha…. Ayo teman-teman, kita berpesta!!!
Alunan musik yang rock abizz memang cocok untuk pesta kali ini. Kami merayakan pesta ulang tahun band kami yang ke-13, yang dirayakan di tempat karaokepaling terkenal di negeri ini yang sudah kami sewa sebelumnya. Selain aku dan keempat personil band, kami juga mengundang kerabat dekat masing-masing dan tidak lupa 130 fans yang beruntung, karena telah memenangkan sayembara yang kami buat.
“Hey world! Hey everybody. I am very happy today. Thanks because you come to this place. I wish we will doing this every year! This is our party. This is our happiness. This is our time. Let’s move your body!!!”
Pesta yang berlangsung sangat meriah itu berakhir pada pukul 2 pagi. Aku dan keempat personil band kami pulang paling akhir, untuk menghormati kawan-kawan lainnya. Akhirnya, kami bisa pulang. Kami pulang sendiri-sendiri. Aku mengendarai mobil yang baru kemarin aku beli. “ Uaaaaahhhhaah.” Meskipun sangat mengantuk, tetap kupaksakan untuk pulang saat ini juga. Aku ingin segera terlelap di tempat tiurku yang nyaman.
Baru setengah perjalanan, tiba” ada seorang nenek-nenek yang hendak menyebrang. Mataku yang merem melek merem melek tidak bisa ku ajak kompromi. Dan, tabrakan pun tak terhindarkan. Nenek itu jatuh terjerembab di jalan, dengan darah segar yang mengucur deras dari kepalanya. Aku langsung tersadar. Rasa kantukku pun langsung hilang. Aku sangat panik. Mumpung belum ada orang, aku injak gas kuat-kuat, ngebut untuk bisa sampai di rumah secepatnya.
Sesampainya di rumah, mobil sengaja tak ku masukkan ke dalam garasi. Aku langsung masuk ke rumah dan menuju ke kamar. Peristiwa tadi masih terngiang dalam pikiranku, namun karena aku sudah sangat mengantuk kuputuskan untuk tidur saja.
Esoknya kami seperti biasa, mengadakan konser. Semua baik-baik saja, hingga pada malam harinya, aku bermimpi bertemu seorang nenek-nenek yang berambut putih panjang, bajunya lusuh, namun wajahnya tidak terlihat. Dia hanya berdiri mematung, tidak bergerak sedikitpun, dan aku pun sama.
Pada pagi harinya, aku berlari pagi. Dan, hari ini pun aku menjalaninya masih dengan biasa-biasa saja, tidak ada kejadian yang aneh, dan mimpi tadi malam sengaja tak ku ceritakan pada teman-teman, toh hanya bunga tidur. Malamnya aku tidur, dan aku bermimpi aneh itu lagi. Kali ini, nenek itu memperlihatkan wajahnya. Dia tersenyum menyeringai kepadaku. Tatapan matanya tajam, seolah menampakkan kebencian yang sangat kuat yang ada dalam dirinya.
Aku terbangun, dengan keringat membasahi tubuhku. Siangnya sehabis konser aku ceritakan semua peristiwa yang aku alami mulai dari menabrak seseorang hingga bermimpi aneh itu. Semua temanku terdiam, atau mungkin ketakutan. Namun yang pasti mereka tidak bisa memberi jawaban mengapa diriku bisa mengalami semua kejadian ini. Apa mimpi itu ada kaitannya dengan nenek yang aku tabrak??
Entahlah…
Saat hendak tidur aku merasa tidak enak, sangat tidak enak. Aku cemas akan sesuatu, namun aku tidak tahu apa yang aku takuti. Akhirnya aku bisa tertidur, dan, aku bermimpi aneh itu lagi. Kali ini, mimpiku lebih menyeramkan daripada sebelumnya. Nenek-nenek yang sedari kemarin muncul di mimpiku, kini ia muncul lagi, namun dengan membawa pisau ditangannya. Dia menjilati pisaunya itu layaknya sebuah es krim. Aku tidak bisa apa-apa. Aku tidak bisa bergerak.
Hingga aku bangun dari tidurku dan ternyata…..
Dihadapanku sudah berdiri sosok nenek tadi, dan tampangnya sangat menyeramkan!! Kepalanya dipenuhi darah, dan wajahnya sudah rusak. Dia mencocokkan pisaunya ke dada sebelah kiriku, kemudian memasukkannya pelan-pelan,, pelan….pelan… sampai menembus jantungku…sehingga aku bisa merasakan sakit yang luar biasa!!!

Bertemu dengan Adik Kelas yang Sudah Meninggal


Kisah ini terjadi pada akhir tahun 2011 yang lalu, bulannya apa aku lupa, mungkin sekitar september atau oktober. Waktu itu aku masih berstatus sebagai anak SMA. Kebetulan aku ambil sekolah akselerasi, yaitu sekolah percepatan yang hanya ditempuh dalam 2 tahun, yang normalnya SMA biasa 3 tahun.
Waktu itu adalah hari Sabtu, kelasku jam pertama pelajaran olahraga. Tapi saat itu guru olahragaku sedang ada halangan sehingga tidak bisa mengajar. Jadilah anak-anak di bebaskan mau main apa. Anak-anak segera menuju lapangan basket di komplek belakang. (Sekolahku ada 2 kompleks. Komplek depan adalah ruang tata usaha, aula, koperasi, ruang kesenian & musik, kelas bahasa & aksel, serta berbagai laboratorium. Sedangkan komplek belakang adalah Ruang guru, kelas-kelas reguler, kantin dan lapangan). Nah waktu itu aku tidak ikut anak-anak yang lain alias lebih milih bolos bersama beberapa temanku, lagian kami pikir kan gurunya juga tidak ada, hehehe..
Jadi disekolahku ada yang namanya mata pelajaran muatan lokal (mulok). Untuk kelasku (aksel) muloknya adalah bahasa Jawa, sedangkan untuk kelas reguler  adalah seni lukis batik/membatik. Kegiatan membatik ini memang biasanya dilaksanakan di halaman depan ruang kesenian yang berada di sebelah kelasku. Aku dan 3 orang temanku duduk di kursi depan kelasku liat anak-anak kelas 1 pada membatik, soalnya kelas kami kan tidak ada pelajaran itu, jadinya kami tertarik melihat anak-anak itu.
Waktu itu, aku perhatikan ada salah seorang anak perempuan yang memakai seragam putih-putih yang biasa dipakai hari Senin pada saat upacara bendera, padahal waktu itu hari Sabtu, yang seharusnya pakai seragam batik kelas masing-masing. Jelas penampilannya mencolok sekali dibandingkan anak-anak yang lain. Anak ini duduk membatik sendirian di dekat kolam ikan, agak berjauhan dengan teman-temannya yang lain. Duduknya pun arahnya membelakangi ku, jadi aku tidak tau seperti apa wajahnya.
Ketiga temanku akhirnya mengajak untuk pergi ke kantin saja karena bosan, tapi aku menyuruh mereka agar duluan saja karena aku belum lapar. Saat ketiga temanku sudah pergi, anak yang pakai seragam putih-putih itu lewat di depanku. Penampilan dan wajahnya biasa saja, tapi dia terbatik-batuk dan berjalan agak tergesa menuju WC di sebelah ruang guru aksel. Waktu dia melewatiku itu, aku lihat di seragamnya yang berwarna putih ada noda merah seperti darah, dia pun terus terbatuk-batuk. “Kenapa dek?” tanyaku padanya. Tapi dia tidak menjawab dan mempercepat langkah kemudian langsung masuk ke WC. Aku tidak terlalu memikirkannya, lalu kuputuskan menyusul teman-temanku yang lain ke kantin karena bosan.
Beberapa saat kemudian, aku dan teman-temanku sudah balik dari kantin. Kami duduk-duduk lagi di depan kelas sambil menunggu jam pelajaran olahraga habis. Kulihat anak perempuan tadi sudah ada di tempatnya semula sedang membatik. Karena merasa aneh dengan anak itu, akupun menanyakannya pada teman-temanku. “Eh itu anak perempuan yang pake seragam putih siapa sih? Dia kok…” Belum selesai aku berkata-kata, anak perempuan yang sedang kubicarakan itu tiba-tiba saja berdiri, dan menghadap ke arahku. Dia menatapku beberapa lama seolah-olah tau dirinya sedang dibicarakan. Aku kaget, soalnya tatapannya dingin dan aneh. Lalu tiba-tiba lagi, dia berlari dan masuk ke dalam ruang kesenian. Nah loh, maksudnya apa coba?
Karena penasaran, aku pun mendekati ruang kesenian. Teman-temanku bertanya aku mau ngapain, tapi aku diam saja. Aku mengintip lewat kaca yang ada di pintu ruang kesenian yang pintunya tertutup. Memang benar ada anak perempuan itu, dia sedang berdiri menatap lukisan yang ada di dinding ruangan itu. “Aneh banget sih ini anak. Bukannya diselesein itu batiknya, malah kayak orang ilang di ruang kesenian sendirian gitu.” Pikirku.
Aku lalu menghampiri Ningrum (bukan nama asli) yang sedang membatik di halaman juga. Dia ini salah satu teman kosku. Kupikir pasti dia tahu teman sekelasnya yang aneh itu. Lalu terjadilah percakapan kira-kira seperti ini..
Aku (A) : Ningrum, itu temenmu yang tadi pake seragam putih siapa sih namanya?
Ningrum (N) : Hah? Yang mana? Emang ada?
A : Ada, tadi dia mbatik di sana tuh. (Aku menunjuk arah dekat kolam, tapi peralatan batiknya sudah tidak ada. Nah, kaget jadinya -_- ) Pokoknya ada disitu deh tadi pokonya…. (Masih ngeyel)
N : Perasaan nggak ada deh mbak.. Emang yang anaknya kaya gimana?
A : Yang rambutnya di kucir satu, pake gelang warna-warni gitu di tangan kiri… Tadi waktu mau ke WC ada darah kayaknya di bajunya, sakit ato kenapa kali tuh anak…
N : (melongo) Beneran? (Ambar menarikku menjauh dari anak-anak lain) Mbak inget sama anak kelasku yang meninggal 2 minggu kemaren? Namanya Tia mbak… Masa iya sih yang mbak liat dia? Dia emang suka pake gelang warna-warni gitu. Rambutnya suka dikuncir, pake kuncir kuning bukan tadi mbak liatnya?
A : (giliran aku yang melongo, sambil gemeteran ini badan) iya bener..
Ningrum pun cerita, kalau anak yang namanya Tia itu meninggal 2 mingguan yang lalu, waktu itu hari Senin katanya pulang sekolah gusinya ada yang bengkak dan mengeluarkan darah, sebabnya gak tau kenapa. Darah itu keluar terus sampai beberapa lama. Menjelang sore hari badannya demam tinggi, sebelum di bawa berobat eh sudah meninggal duluan. Dan keadannya masih pakai seragam waktu itu. Inalillahi… Aku memang waktu itu mendengar tentang anak kelas 1 ada yang meninggal temannya si Ningrum ini, tapi aku gak tau orangnya yang mana.
“Ya ampun, terus tadi itu siapa dong? dia masuk loh ke ruang kesenian.” Kataku masih gemetaran. Karena penasaran, Ningrum mengajakku mengeceknya, tapi aku ragu-ragu karena takut. Ya sudah, aku ikut saja di belakangnya. Saat kami membuka pintu ruang kesenian dan mengintip ke dalam….. Kosong. Tidak ada siapa-siapa. Kami berdua masuk pelan-pelan. “Tadi dia ngeliatin lukisan di situ tuh” tunjukku ke salah satu sudut.
Kata Ningrum, itu memang lukisan si Tia, tugas kesenian seminggu sebelum kematiannya. Gambarnya sih tentang go green gitu lah.
“Tokek! Tokek!”
Kaget dengan suara tokek itu, aku dan Ningrum berhamburan keluar dari ruangan kesenian. Sampai di depan teman-temanku aku tidak memberitahukan pada mereka tentang apa yang barusan aku alami. Takutnya langsung pada heboh -_-
Setelah itu, aku menjalani rutinitas di kelas seperti biasa. Entah hanya perasaanku atau apa, seperti ada yang berdiri tepat di belakangku. Tapi aku tidak menghiraukan, tidak takut juga karena saat itu siang hari dan banyak teman-teman di sekelilingku.
Justru yang lumayan parah itu si Ningrum, malamnya sekitar jam 1 dia menggedor-gedor pintu kamarku (kamar kami bersebrangan). Ketika kubuka pintu, wajahnya pucat dan meminta untuk tidur bersamaku. Tapi karena tidak bisa tidur, dia mengajak untuk solat malam berdua. Setelah sholat, pikirannya sudah lumayan tenang. Dia pun menceritakan kalau saat tidur tadi dia bermimpi Tia datang padanya, wajahnya pucat, bibir mengeluarkan darah, bajunya kusam dan kucel seperti gelandangan. Dia menarik-narik tangan Ningrum sambil berkata, “Ningrum, Ningrum… temenin, aku kesepian, aku pengin sekolah lagi sama teman-teman…”
Aku merinding juga mendengarnya. Kami lalu mendoakan Tia, supaya dia tenang di alamnya. Kemudian kami tidur kembali. Esoknya pun hari berjalan normal dan tidak ada gangguan-gangguan apapun.

Pesan di Padang Ilalang


Di kantor polisi, seorang Ibu berpenampilan menarik melaporkan anak laki-lakinya yang telah menghilang sejak dua hari lalu. Tidak ada jejak dan tidak ada kabar berita. Semua temannya—sebenarnya si anak tidak mempunyai banyak teman karena sifatnya yang penyendiri dan cenderung menutup diri, telah dihubungi tapi hasilnya nihil dan tidak ada satu pun teman kampusnya yang mengetahui tentang keberadaannya.
Kecuali di pagi hari ketika anaknya tersebut menghilang, seorang pembantunya menemukan sebuah digital voice recorder di halaman depan rumahnya, tepat di bawah jendela kamar si anak. Kata si Ibu, anaknya itu mempunyai hobi menulis. Ia suka menuliskan tentang apa saja yang ditemuinya dan hal-hal yang disukainya di blog pribadinya. Jadi ia meminta hadiah alat perekam suara itu pada Ayahnya yang seorang pelaut dan telah berpisah dengan mereka sebagai hadiah ulang tahunnya yang kedelapanbelas dua bulan lalu, supaya ia tidak lupa merekam dan mencatat ide apa saja yang melintas di kepalanya. Ayahnya mengirimkannya seminggu setelah hari ulang tahunnya disertai kartu ucapan selamat bergambar kota London.
Si Ibu berwajah sendu kini tersedu. Usianya telah memasuki kepala empat, ia seorang wanita karir yang sukses dan kini ia merasa dunianya runtuh. Apa gunanya semua yang telah ia capai selama ini apabila ia harus kehilangan anak satu-satunya, orang yang akan menjadi penerus keluarganya dan penerus bisnisnya. Orang yang membuatnya bersimbah peluh berjuang sampai sejauh ini. Dengan tangan gemetar dan suara parau ia menyerahkanrecorder itu pada petugas piket yang menerima laporannya. Recorder itu satu-satunya yang menyimpan petunjuk berharga terkait menghilangnya anak semata wayangnya.
Si petugas memeriksa recorder itu dengan seksama. Sekilas tidak ada yang berbeda. Masih mulus seperti baru, bukti bahwa si empunya merawatnya dengan sangat baik. Kemudian dengan penasaran dan penuh minat petugas polisi itu pun menekan tombol ‘play’. Lalu terdengarlah sebuah suara berbicara, suara seorang laki-laki muda yang beranjak dewasa:
“Tes, tes! Umm… baiklah, berikut ini laporan langsung dari lapangan,” katanya memulai. “Minggu, 27 Maret. Jam 10.13. Kami baru tiba di lokasi. Cuaca cerah. Hari yang indah untuk bekerja. Kulayangkan pandang pada padang hijau kekuning-kuningan yang membentang di sekitarku. Tempat ini begitu luas dengan hutan kecil dan rawa di belakang sana. Hamparan ilalang dimana-mana.
“Ini tempat yang sempurna, aku berbisik dalam hati…”
“Anak Ibu bekerja part-time di hari Minggu?” tanya si petugas polisi menyela. Si Ibu menjelaskan kalau anaknya adalah seorang mahasiswa tingkat satu, dan ia sama sekali tak pernah kekurangan masalah keuangan.
Si petugas melanjutkan mendengarkan file rekaman suara berikutnya.
“Jam 11. 25.
“Pekerjaan kami baru selesai sekitar dua puluh persennya. Lamat-lamat, dari salah satu arah yang menuju jalan kecil ke pemukiman penduduk di belakangku terdengar sebuah suara. Lantang, suaranya berbaur dengan suara gemerisik angin yang mencumbui pucuk-pucuk ilalang.
“‘Lihat, itu dia Si Pemanggil Alien!’ tunjuk salah seorang dari mereka, pada seorang pemuda gondrong berkaos putih dan bercelana jins yang sedang melangkah dengan kaku dan melakukan gerakan aneh di tengah lapangan—aku.
“‘Itu dia! Yang sedang bekerja merobohkan alang-alang,’ timpalnya lagi.
“Aku menoleh. Sebagian anak-anak kampung yang meledek kami sinting tadi kini datang berombongan dengan Ayah mereka yang sedang libur kerja, ataupun orang-orang dewasa yang mereka kenal yang bisa mereka ajak kemari.
“Di sini, di tanah lapang seluas 6.000 meter persegi peninggalan kakekku yang sebagian besar ditumbuhi alang-alang liar setinggi pinggang pria dewasa dan menjadi tempat bermain favorit anak-anak itu, aku tengah membuat crop circle-ku sendiri. Ya, aku tidak mengada-ada dan kamu tidak salah dengar. Aku benar-benar sedang membuat lingkaran tanaman dengan pola unik yang mengandung pesan tertentu dan selalu menarik perhatian khalayak ramai di seluruh penjuru dunia itu.
“Untuk mengerjakan proyekku ini aku tidak bekerja sendirian dan dibantu oleh lima orang sukarelawan. Mereka semua adalah orang-orang yang berhasil kurangkum dari forum internet dan merupakan pembaca setia blog-ku. Mereka bekerja tanpa pamrih menyumbangkan tenaga dan waktu mereka untuk terlibat dalam proyek yang kukerjakan. Dan untuk dicatat, aku tidak meminta, melainkan mereka sendirilah yang menawarkan diri padaku untuk mendukung visi dan misiku.
“Karena, menurut mereka, aku akan melakukan sesuatu yang besar. Sesuatu yang tidak akan pernah dipikirkan atau dibayangkan oleh orang-orang normal. Yah, bisa dikatakan itu sebenarnya suatu pujian. Dan aku merasa terharu, benar-benar terharu. Aku sangat berterima kasih pada mereka.
“Tapi aku tidak mau terlalu sentimentil. Sementara aku menganggapnya hanya menuruti apa yang menjadi hasratku.
“Banyak orang meyakini kalau crop circle, atau dalam bahasaku; bentuk geometris yang memiliki nilai artistik tinggi dengan pola rumit nan teratur yang sering dijumpai di ladang-ladang pertanian itu, erat kaitannya dengan kemunculan makhluk asing. Ada pula yang tidak sungkan menyebutnya sebagai jejak UFO. Namun tidak sedikit pula yang terang-terangan menyangkal kalau itu hanyalah fenomena alam, atau buatan manusia kurang kerjaan yang gemar mencari sensasi.
“Seperti yang kulakukan sekarang ini? Tidak, tidak, jangan secepat itu dulu mengambil keputusan, Kawan! Alasanku melakukan hal ini akan kujelaskan nanti.
“Kamu tahu, Kawan, menurut pandanganku, sejak awal kemunculannya dalam sebuah pamflet terbitan Inggris tahun 1678 yang dikenal dengan sebutan The Mowing Devil[1], crop circle merupakan salah satu misteri yang paling menarik di zaman modern ini. Aku meyakini, mungkin ini adalah satu-satunya misteri yang sejalan dengan seni yang indah.
“Masuk ke intinya, ah, aku bisa membayangkan perasaan yang membuncah dalam hatimu saat ini; kamu mungkin penasaran dan tidak tahan ingin bertanya, ‘Crop circle buatan iblis, alien…?’
“Oke, mari kita luruskan sejenak, memang benar ada banyak crop circlepalsu ditemui di seluruh dunia. Plus pengakuan orang-orang yang mengklaim bertanggung jawab melakukannya. Hei, mereka juga meng-upload video cara pembuatan crop circle mereka di Youtube! Namun itu tidak membuktikan semuanya. Pada beberapa kasus crop circle murni yang ditemui di luar sana, bahkan para ilmuan sekaliber insinyur-insinyur MIT[2] pun meragukan kalau hal itu merupakan buatan manusia.
“Tidak usah jauh-jauh ke luar negeri, Kawan, toh di dalam negeri kita sendiri juga ada. Contohnya saja pada waktu kejadian crop circle di Sleman, Yogyakarta, yang menghebohkan media massa dan internet beberapa waktu lalu. Bahkan tim peneliti dari salah satu universitas ternama di Indonesia harus mengakui kalau crop circle itu adalah bukan buatan manusia[3]. Sekali lagi perlu aku tegaskan dan garisbawahi, bukan.
“Oh ya, berdasarkan hasil riset dan pencarian yang kulakukan di internet, inilah fakta-fakta yang kutemukan tentang crop circle murni, seperti yang dijumpai pada kasus di atas:
1. Batang tanaman padi yang rebah mengalami tiga bengkokan, dan pada bengkokan tersebut agak gosong.
2. Tanah di sekitar padi yang rebah memiliki kadar Nitrogen lebih banyak hingga 400% dibandingkan dengan tanah di sekitar padi yang lain (yang tidak rebah).
3. Bulir-bulir padi (pada tanaman padi yang rebah) dari luar terlihat utuh. Namun setelah diteliti lebih lanjut, ternyata bagian dalam atau isi dari bulir padi tersebut hancur.
4. Pada padi yang rebah, dari luar hanya terlihat bengkok biasa, namun bagian dalamnya mengalami kerusakan struktur.
“‘Jadi benar, pada kasus crop circle murni, merupakan buatan makhluk asing?’
“Tunggu dulu, tunggu dulu, Kawan! Biarkan aku menjelaskannya untukmu (dan tolong jangan memotong dulu!). Hmm—yah, aku tidak tahu pasti mengenai hal itu… Aku sedang mengusahakannya sekarang. Maksudku, aku akan membuktikannya untukmu. Lihat saja nanti.
“Jadi, berdasarkan berbagai referensi dan data yang kuperoleh selama ini, aku percaya bahwa selain terdapat crop circle yang merupakan buatan manusia, juga terdapat crop circle yang merupakan buatan sesuatu—apapun itu—yang memiliki tingkat intelegensi tinggi. Suatu makhluk bukan golongan manusia yang cerdas dan menguasai teknologi tinggi yang dapat menciptakan jejak memukau dengan pola geometris rumit hanya dalam waktu semalam.
“Karena itulah (oke, pada bagian ini kamu boleh mengatakan aku gila, hanya sekali ini saja!) aku begitu ingin bertemu dengan makhluk asing ini. Aku ingin mengenal mereka dan mempelajari kebudayaan mereka, serta mengetahui tentang teknologi mereka. Agak susah untuk menjelaskannya, ditambah lagi sensasi yang kurasakan saat ini—hufft… tapi, katakanlah, aku sangat mengagumi mereka!
“Aku mengagumi karya mereka di atas ladang-ladang penduduk bumi, aku menyukai misteri-misteri yang menyelimuti mereka, yang kadang berada jauh di luar batas nalar manusia. Betapa hasrat keingintahuanku yang begitu kuat dalam diriku terhadap mereka telah berubah menjadi suatu obsesi yang bahkan tak mampu dibendung oleh akal sehatku sendiri. Ini seperti…—hei, apa kamu pernah punya seorang teman Japanese-freak, seseorang yang begitu tergila-gila terhadap sesuatu yang berbau Jepang? Aku pernah, saat di SMA dulu. Temanku itu begitu menggilai manga dan anime[4], suka ber-cosplay[5]-ria, bersikeras belajar Bahasa Jepang, nge-fans sama aktris Jepang yang namanya Ayase Hiruka, dan sekarang mengambil kuliah jurusan Sastra-Jepang. Impiannya adalah agar bisa pergi ke Jepang, paling tidak sekali seumur hidupnya. Jadi, kurang lebih seperti itulah yang kurasakan saat ini.
“Nah, sekarang aku tidak akan malu-malu, atau ragu-ragu lagi, untuk mengatakannya padamu: a-ku sa-ngat i-ngin me-ngun-jungi pla-net a-li-en…” Suara si laki-laki dalam recorder seperti berbisik dengan penuh penekanan pada saat mengucapkan kalimat terakhir tersebut. Si petugas polisi segera membayangkan di dalam kepalanya seperti ada seseorang yang menggosok-gosokkan kedua tangannya karena kegirangan atas sesuatu.
Lalu suara itu kembali melanjutkan:
“Ah, ni pasti akan menjadi petualangan yang sangat menyenangkan… Tentu saja! Dan untuk menyampaikan niatku itu, aku akan melakukannya dengan membuat crop circle-ku sendiri. Bukan sembarang crop circle, tentunya. Melainkan sebuah crop circle yang berisi pesan dan penjelasan di dalamnya tentang betapa aku ingin bertemu mereka. Katakanlah itu seperti berupa suatu presentasi di dalamnya.

“Aku ingin memberi tahu mereka, para makhluk asing di luar sana, lewat pesan di padang ilalang ini agar mereka bisa membawaku serta bersama mereka saat mereka kebetulan sedang melintasi bumi. Aku yakin—yah, aku punya saja keyakinan semacam itu, tidak tahu dari mana asalnya—bahwa mereka sering melintasi orbit bumi di malam hari. Diam-diam, di antara kesunyian dan kegelapan. Oleh karena itu, ah—heheheheh…!—aku tidak sabar untuk mengatakan padamu bagian yang paling menariknya sekarang: aku berniat menawarkan diri untuk menjadi abductee[6] dan ingin diculik oleh mereka…
“Ya, ya, ya, tertawalah!
“Tidak, jangan hiraukan perasaanku.
“Puaskan kepongahanmu dengan merendahkan ketidakwarasan jalan pikiranku. Bilang aku sinting, bilang aku sakit. Tapi aku tidak gila! Aku meyakinkanmu, tidak. Malah, aku di sini akan menjadi donatur bagimu dan para penduduk bumi lainnya untuk membuktikan keberadaan mereka. Terima kasih.
“Kita belum sampai ke bagian itu, Kawan. Sebagaimana layaknya sebuah cerita petualangan, bagian yang paling menentukan segalanya selalu ditempatkan di akhir. Jadi mari kita teruskan saja ceritaku…
“Akhirnya, setelah kupikirkan hal ini berulang kali dan kuputuskan, berbekal pengetahuan cara membuat crop circle yang kulihat di Youtube, aku mulai membuat skala dan pola crop circle-ku sendiri di atas kertas. Itu tidak terlalu sulit kok kelihatannya. Tapi setidaknya itu butuh tiga hari tiga malam yang menyiksa bagiku memikirkan serta menentukan sebuah pola geometris ideal yang akan kubuat. Karena bukan hanya bentuknya harus indah dan memiliki nilai seni tinggi, namun juga harus dapat menyampaikan pesan yang ingin kusampaikan. Ini sungguh menyita pikiran dan energiku. Hampir saja aku menyerah dan melemparkan keranjang berisi gumpalan coretan-coretan sketsa itu di sudut kamarku yang menggunung keluar jendela saking stresnya, tapi kuurungkan jauh-jauh niat itu ketika pikiran itu melintas.
“Lalu suatu pagi, setelah tidur yang terasa bagai sekejap dan kepala terasa berat ketika bangun, tiba-tiba saja sebuah pikiran melintas dalam benakku. Bisa dikatakan sebuah inpirasi, ide, atau ilham, atau cetak biru tentang polacrop circle yang akan kubuat menghinggapi sel otakku begitu saja. Dan tidak hanya sepatah dua patah pesan yang akan dapat dimuat disitu. Melainkan seluruh alinea per alinea serta paragraf per pargaraf pesan yang ingin kusampaikan dapat terjelaskan di sana! Menakjubkan, bukan? Lama aku tercenung dalam diam. Dan menyadari betapa kekuatan hasrat dapat mewujudkan segalanya.
“Selama seminggu setelah hari itu aku pun mulai merencanakan semuanya dan menuliskan pesan-pesan apa saja yang hendak kusampaikan di dalamcrop circle-ku kelak. Ini tidak terlalu sulit. Karena aku hanya perlu menumpahkan gagasan serta apa yang menjadi hasrat terliarku selama ini di atas kertas. Kemudian aku pun menyiapkan gambar pola yang telah kutentukan dan mencetaknya, mengukur, menghitung skala, termasuk juga meninjau lokasi yang akan menjadi lokasi pembuatannya. Semuanya berhasil keluar dengan sukses dari kepalaku.
“Tak lupa, aku lantas memposting rencanaku ini di blog. Beragam komentar serta tudingan kudapatkan hanya beberapa jam berselang, tapi itu sama sekali tidak mengecilkan niatku. Malah, menjadikanku semakin tertantang untuk melakukannya. Tekadku sudah bulat.
“Oke, aku tidak bermaksud mendramatisir. Tidak semua komentar yang masuk bernada merendahkan kok, ada juga yang hanya sekedar geleng-geleng kepala menanggapi niatku, atau mendukungku. Buktinya, aku patut bersyukur, toh, lewat posting tersebutlah aku mendapatkan hadiah tak terduga, yakni lima orang tenaga sukarelawan yang bersedia membantuku.
“Kawan, bayangkan betapa girangnya hatiku saat itu! Membayangkan semua rencana yang telah kususun dalam imajinasiku selama ini akan segera berbuah menjadi kenyataan…
“Kemudian, akhirnya hari ini tiba. Bersama tim yang tidak pernah kubayangkan akan ada untuk membantuku, dengan menggunakan peralatan sederhana berupa sebatang tongkat sebagai tiang pancang, bilah papan, tali, serta segulungan meteran, kami mulai mengerjakan crop circle-ku ke bidang yang telah kutentukan. Dalam hal ini, seperti yang telah kupikirkan sejak berhari-hari lalu, bidang yang kupilih adalah tanah warisan kakekku, dimana terdapat hamparan ilalang yang cukup luas. Sebenarnya hal ini juga dikarenakan di sekitar kota tempat tinggalku tidak terdapat areal persawahan—dan kalaupun ada nih, tentunya aku tidak mau dicap kriminal dengan merusak ladang milik orang lain. Jadi, perkenankanlah aku memanfaatkan apa yang telah disediakan alam untukku.
“Toh, menurut hematku, karakteristik bentuk tanaman serta lapangan terbuka di sekitarnya tidak jauh berbeda sebagai tempat ideal bermukimnya sebuahcrop circle.
“Di langit matahari tinggi menggantung, hampir sejajar di atas kepala kami. Teriknya menyorot tanpa ampun. Dengan konsentrasi tingkat tinggi dan peluh membanjiri sekujur tubuh, kami bekerja sepenuh hati mengukir pola di atas padang ilalang. Sebuah tiang pancang ditancapkan di tengahnya sebagai titik poros, lalu kami mulai menarik meteran sesuai diameter yang kuinginkan. Kami bekerja bahu membahu membuat garis, mereka bentuk geometris, serta merebahkan bagian ilalang yang telah ditandai dengan bilah papan yang digantungkan dengan tali ke leher. Semua itu kami lakukan dengan penuh minat dan antusiasme yang menyala-nyala. Ini sungguh melelahkan, namun sekaligus menyenangkan.
“Tenaga kami boleh saja perlahan-lahan habis, merunduk jatuh seperti batang-batang ilalang yang bertebaran patah dalam formasi teratur, tapi tidak dengan semangat kami. Aku akan—tidak, tidak, tepatnya, kami harus menyelesaikan apa yang telah kami mulai!
“Apa yang kami lakukan di siang hari bolong ini tentu saja menarik perhatian anak-anak kampung dekil, bertelanjang kaki dan bertelanjang dada, dengan rambut pirang terbakar matahari, serta bau keringat menyengat, yang tengah bermain sepak bola di lapangan kecil di dekat sebuah pohon jambu biji yang rindang. Berpagar rimbun pohon pisang, tak jauh dari tempat kami berada. Namun masih dalam lingkup kawasan tanah kakekku di ujung pemukiman penduduk.
“Mereka semua memandangku dengan dahi berkerut saat kukatakan aku sedang membuat crop circle, sebuah jejak UFO seperti yang sering mereka lihat di berita TV beberapa waktu lalu. Ketika itu salah seorang dari mereka hendak mengambil bola plastik yang melayang ke arah kami, dan terheran-heran melihat tingkah lakuku serta teman-temanku yang tengah merebahkan ilalang di hadapan kami dengan sebilah papan yang diikat tali dan diinjak-injakkan ke tanah. Bocah itu bertanya penuh rasa ingin tahu. Tapi sebagai gantinya aku malah berteriak dengan suara lantang dan memarahinya agar bermain jauh-jauh dari kami. Apa boleh dikata, aku tidak ingin jejak kaki kecilnya itu merusak pola yang telah kurancang dengan sempurna. Tapi sebagaimana layaknya bocah yang penuh rasa ingin tahu, ia tak mau dilarang tanpa penjelasan.
“Maka, tak lama setelah aku menjelaskan apa yang sedang kami kerjakan (ketika itu teman-temannya yang lain ikut mendekat karena terlalu lama menunggu si bocah mengambil bola), akhirnya mereka semua berhenti bermain sepak bola dan mulai memperhatikan kami dengan seksama dari titik-titik dan jarak yang kuperbolehkan.
“‘Untuk apa itu, Kak?’ tanya seorang lagi di antara mereka, memberanikan diri. Wajahnya tampak serius menanti jawaban yang keluar dari mulutku, seraya sesekali mengelap ingusnya dengan punggung tangannya. Ia bertubuh paling kecil di antara yang lainnya, namun sinar matanya menyiratkan kecerdasan.
“Aku menghentikan langkahku menginjak-injak batang ilalang yang mulai menguning di bawahku, merasa terganggu, menatapnya. Cukup lama untuk membiarkan sebongkah peluh luruh lalu menjuntai di antara kedua alis mataku.
“‘Hei, Bocah, apa kamu pernah membaca cerita Petualangan Tom Sawyer?’ Aku balik bertanya. ‘Atau Petualangan Sinbad si Pelaut?’
“Si bocah menggeleng.
“‘Apa kamu suka menonton film Indiana Jones?’
“Si bocah kembali menggeleng.
“‘Hmmm… kalau begitu, apa kamu suka petualangan?’
“Kali ini si bocah mengagguk. ‘Ya, kadang kami suka bermain jadi bocah petualang seperti di TV,’ jelasnya bangga.
“Aku lantas berjalan perlahan menghampiri mereka dengan langkah hati-hati. ‘Nah, kalau begitu apa yang kulakukan sekarang ini adalah hendak memulai cerita petualanganku sendiri. Sejak dulu aku selalu ingin memuaskan imajinasi terliarku… Kalian mau tahu? Aku ingin memanggil alien!’ kataku sungguh-sungguh, aku mengatakan hal itu tepat di depan hidung mereka dengan penuh penekanan. Terlebih, sebenarnya hal ini kumaksudkan untuk mengusir mereka.
“‘Aku mengukir pola di atas padang ilalang ini dengan maksud untuk menyampaikan pesanku pada mereka… Aku ingin agar bisa diculik oleh alien! Ini pasti akan jadi petualangan yang sangat menyenangkan jika aku bisa melakukan perjalanan melintasi jagat raya dan pergi ke dunia alien bersama mereka! Heheheh… Iya ‘kan?’
“‘Sinting, sinting!’ mungkin itulah yang ada di benak si bocah ketika itu. Kuperhatikan dengan jelas bagaimana pupil matanya membelakak. Hihihi!—aku terkikik dalam hati. Aku menikmatinya, membayangkan sebentar lagi mungkin ia dan teman-temannya akan terbirit-birit dari tempat ini, sehingga aku tak perlu merasakan lagi adanya gangguan kecil yang bakal menunda pekerjaanku.
“Pelan—pelaaaann sekali—dengan langkah teratur, si bocah ingusan yang bertanya tadi mundur ke belakang. Sambil tetap memandangku dengan sorot mata yang menyatakan aku sinting sesinting-sintingnya, ia menyikut salah seorang anak di sebelahnya. Temannya itu tampak kaget, kemudian serta-merta mengikutinya mengambil langkah mundur. Begitu pun yang lain. Mereka beringsut ke sudut lain padang ilalang menuju lapangan terbuka tempat mereka bermain bola tadi.
“Ha! Aku tersenyum simpul, dan berpikir aku telah berhasil menakut-nakuti mereka, tapi yang terjadi malah kebalikannya. Dasar anak-anak kampung! Mereka semua lantas berbisik-bisik dengan kepala tertunduk, lalu dengan cepat menyuruh dua orang di antara mereka untuk segera pulang ke rumah. Dengan perasaan bingung, cemas, takut, sekaligus tertarik, mereka mengabarkan berita tentang kami kepada orang-orang dewasa lainnya di kampung…
“Dan seperti yang kamu lihat sekarang, tak lama setelah itu, proyek kami pun segera menjadi tontonan orang-orang kampung.
“Tidak aneh, aku bergumam pada seorang teman di sebelahku. Manusia dengan sifat keingintahuannya yang besar. Sementara kami tetap meneruskan pekerjaan kami, kabar dengan cepat berkoar, menyebar ke segala penjuru laksana hembusan angin. Dan kini mereka pun sepakat memberi julukan padaku sebagai ‘Si Pemanggil Alien’. Julukan yang tidak buruk, bukan?
“‘Tunggulah sebentar lagi dan aku akan diliput oleh stasiun TV, hehehe…’ ceracauku di tengah panas terik yang membakar ubun-ubun. Teman-temanku yang lain terkekeh. Wajah mereka memerah terpanggang matahari.
“Sebagian orang-orang tua di kampung ini ternyata masih mengenaliku. Karena ketika kecil aku pernah tinggal di kampung ini sewaktu Mamaku masih menumpang tinggal di rumah kakekku dan berjuang seorang diri. Sementara Papa bekerja di seberang lautan, dan mulai jarang pulang. Orang-orang bilang ia mempunyai istri lagi di seberang, tapi aku tak peduli. Toh, mereka tak pernah benar-benar ada untukku, jadi aku telah membuang jauh-jauh rasa kehilanganku sejak kecil. Namun, meski sekarang Papa dan Mama telah resmi berpisah, Papa masih sering berkirim kabar dan sekadar menanyakan keadaanku (yah—whatever!). Kini, setelah mapan, Mama telah mampu membeli rumah sendiri di komplek perumahan mewah di kota. Dan di sanalah aku tinggal sejak kelas 6 SD hingga sekarang.
“Oke, cukup bercerita tentang masa kecilku. Kembali ke ceritaku, sudah berjam-jam lamanya kami mengerjakan proyekku, dan mereka semua, para penduduk kampung, masih tetap memperhatikan kami dengan khusyuk bagiamana kami mengukur, mengamati, membandingkan, mengukur lagi, mengamati lagi, lalu membandingkan lagi hasil yang telah kami capai dengan pola crop circle yang tercetak di atas kertas. Sebelumnya sudah kukatakan bukan, rasanya sungguh melelahkan bekerja di tengah panas terik seperti ini. Tapi selain itu, aku juga merasa bahagia dengan apa yang sejauh ini kami kerjakan. Sembari menyesap air mineral dalam botol yang kubawa kurasakan pandanganku mulai berkunang-kunang. Terik matahari kian garang menyorot, menampakkan siluet enam tubuh pemuda yang berdiri kepayahan dan bersimbah peluh di atas hamparan ilalang yang pitak dan mulai menampakkan jajaran bentuk simetrisnya dengan anggun.
“Namun aku tidak akan menyerah, batinku… Aku tidak ingin karyaku ini meleset barang seinchi saja. Aku ingin karyaku ini bisa terbaca oleh mereka. Aku percaya, keinginan yang kuat dan antusiasme yang menyala-nyala dalam diriku akan mengalahkan segalanya.
“Aku ingin bertemu alien. Sekali lagi aku mematri tekad itu dalam dada. Aku ingin menjelajahi planet mereka. Aku ingin melihat rupa kebudayaan mereka. Aku ingin menjadi Sinbad modern. Walaupun untuk itu, aku harus rela menawarkan diriku seperti Indian yang dibawa oleh Columbus dari benua Amerika menuju Spanyol…
“Menjelang sore, ketika sorot matahari telah redup dan menawarkan semburat jingga di langit barulah kami benar-benar menyelesaikan pembuatan crop circle-ku. Seraya bersama-sama merebahkan tubuh kami yang kelelahan di bawah bayangan sebuah pohon jambu biji, kulihat seekor elang melesat membelah angkasa. Aku membayangkan diriku menjadi elang itu. Dan melalui matanya aku bisa melihat crop cirle-ku membentang dengan indah di atas padang ilalang, berada tepat dua puluh meter ke kanan dari tempat kami berbaring sekarang. Berbentuk persegi dengan ukiran dot-dot matriks segiempat ataupun persegi panjang, ada pula yang berbentuk seperti huruf L, lebar, serta sempit, dan menyerupai sebuah labirin kecil. Itulah crop circle-ku yang berbentuk QR code.
“QR code?
“Ah, baiklah, mungkin kamu sedikit kurang paham dengan istilah QR code. Menurut Wikipedia, quick response code, atau biasa disingkat QR code, adalah suatu jenis kode matriks atau barcode dua dimensi yang dapat dibaca dengan pemindai QR code ataupun kamera ponsel. Umumnya QR codedigunakan untuk mencantumkan teks, alamat URL, ataupun informasi lainnya. Dan aku memanfaatkan teknologi ini sebagai media untuk menyampaikan pesanku yang menuju ke URL halaman blog serta profile page-ku.
“Ada alasan tersendiri kenapa aku memilih QR code sebagai bentuk crop circle-ku. Aku mengasumsikan alien itu sebagai makhluk yang cerdas dan berperadaban maju. Jadi, menurutku pasti mereka telah lebih dulu bisa membaca kode itu dengan teknologi mereka ketika mereka melihat crop circle-ku di atas permukaan padang ilalang ini nantinya. Di posting blog itulah aku menjelaskan secara rinci tentang keinginanku untuk berhubungan dengan mereka, dan seterusnya, dan seterusnya… seperti yang telah kuterangkan padamu sebelumnya. Posting itu kuberi judul ‘A Letter to Alien: Take Me With You, Outsider!’ (=Surat Untuk Alien: Bawa Aku Bersamamu, Makhluk Asing!) dan ditulis dalam Bahasa Inggris. Di sini, lagi-lagi aku mengasumsikan kalau alien itu benar-benar makhluk yang cerdas, toh, mereka pasti telah lebih dulu mempelajari bahasa manusia bumi. Dan dalam hal ini, bahasa yang paling populer digunakan oleh manusia bumi adalah Bahasa Inggris…”
Si petugas polisi tercenung. Sejauh ini ia belum mendapatkan petunjuk jelas perihal menghilangnya si pemuda seperti yang dilaporkan oleh Ibunya di hadapannya. Namun sebaliknya, ia merasa sangat penasaran dengan lanjutan cerita si pemuda di dalam recorder tersebut. Maka ia segera menelusuri layar recorder dan menekan tombol ‘next’ untuk memutar filerekaman berikutnya.
“Kamis, 31 Maret. Jam 23.05.
“Beberapa malam setelah aku mengerjakan crop circle-ku aku mulai mengalami mimpi aneh. Aku tidak dapat menjelaskannya. Semuanya serba kelabu dan seakan-akan pikiranku diselimuti kabut. Tapi, celakanya, di saat tengah sendirian seperti ini aku mendadak dapat mengingat kembali kilasan-kilasan mimpi aneh tersebut, berkelebatan di dalam kepalaku setiap kali aku melihat ranjang tidurku yang bresprei putih. Orang-orang tinggi berbaju putih. Ranjang—tepatnya seperti meja—dengan cahaya putih yang menyilaukan di langit-langit. Lalu tatapan-tatapan penuh selidik yang menakutkan. Semua gambar itu seperti dilemparkan begitu saja, silih berganti, di dalam kepalaku dalam durasi yang bahkan sangat cepat untuk diingat.
“Maka dari itu kuputuskan untuk tidak tidur saja malam ini. Aku terus memikirkan hal itu hingga syaraf-syarafku tegang. Aku malu mengatakannya, tapi aku merasa takut untuk tidur sendirian—di atas ranjang itu. Akhirnya aku memilih duduk di meja belajarku saja dan mulai merekam semua ini. Entahlah, mungkin aku hanya paranoid… Ada sensasi aneh dan galau yang membuat jantungku berdetak lebih cepat melihat ranjang putih itu. Degup tak beraturan yang merisaukan.Sepertinya tubuhku menolak untuk berbaring di sana, dan otakku menolak untuk mengingat guna memberi penjelasan.
“Mulanya aku sama sekali tidak menghiraukan sensasi itu sejak kurasakan beberapa malam lalu, tapi malam ini ketakutan itu lebih kuat melanda diriku. Aku dicekam teror yang tak mampu kujelaskan perihal sebab musababnya. Dan aku tidak bisa tidur karenanya.
“Perlahan, gambar ranjang putih di retina mataku itu membawaku kembali pada cuplikan mimpiku. Kilasan-kilasan yang berkelebat dalam kepalaku kini menjadi lebih jelas. Kejadiannya dua malam yang lalu. Di dalam mimpiku itu, aku melihat tiga orang bertubuh tinggi dan bermata kubil dengan wajah bercadar. Mata itu hitam seluruhnya, dan kelam. Mereka memandangiku tak berkedip. Lama. Aku yakin mereka sepertinya tengah mempelajari bentuk tubuhku, atau menelitiku… Aku? Hei, itu aku yang tengah berada di atas meja putih di hadapan mereka! Mereka berdiri di kedua sisiku. Di bawah sinar lampu yang menyilaukan di atas kepala mereka, kulit wajah mereka tampak berwarna abu-abu. Selain itu seluruh bagian tubuh mereka tertutup pakaian.
“Aku di dalam mimpiku panik. Keringat dingin segera menyembur di wajahku. Tapi tubuhku tidak dapat melawan, atau meronta. Sepertinya aku berada di bawah kendali mereka.
“Aku sangat ketakutan mengingat mimpi itu. Semuanya tampak sangat nyata. Aku mulai tidak yakin sekarang, apakah itu hanya mimpi belaka atau… Ah!—aku tahu, sebenarnya itu adalah kilasan pengalaman yang berusaha dihapuskan dari memoriku bahwa aku telah benar-benar diculik oleh alien! Ya Tuhan!
“Eh, suara itu!
“Apa kamu mendengar suara itu, Kawan? Suara samar dan bernada rendah seperti yang pernah kudengar dalam mimpiku. Seperti siulan, tapi bukan. Seperti desahan, tapi lebih rendah dari itu…
“Ah, kilasan demi kilasan dalam kepalaku kembali lagi! Seperti slide showgambar berkualitas rendah yang berputar pelan di dalam kepalaku… Ingatanku makin jelas sekarang. Gambaran itu merupakan adegan lanjutan dari mimpiku sebelumnya. Di dalam mimpiku itu mereka berbicara dalam bahasa yang tak kumengerti. Aku ingat, mereka sepertinya baru saja berdebat tentangku. Setelah menyuruhku bangkit dari ranjang tempatku berbaring tadi, mereka lalu mempersilahkanku duduk di sebuah kursi di sudut ruangan. Ruangan itu luas dan dipenuhi tabung-tabung kaca beraneka ukuran di dindingnya. Di dalamnya berisi masing-masing sampel tetumbuhan dan hewan-hewan yang ada di bumi dalam cairan kuning yang bergelembung-gelembung.
“Di meja di depanku—meja itu dipenuhi tumpukan kertas-kertas dan sebuah layar kotak tipis tembus pandang seperti kaca yang kemudian kuanggap sebagai layar LCD komputer—salah seorang dari sosok tinggi itu mengambil duduk di depanku dan kembali menatapku. Berhadapan satu-satu, sepertinya ia mewawancaraiku seolah aku seorang pasien yang baru saja diperiksa oleh dokternya. Ia menanyaiku macam-macam dalam bahasa aneh yang tak mengerti, tapi aku tahu maksud percakapannya. Seolah ia sedang berbicara langsung ke dalam kepalaku, melalui pikiranku. Jadi aku hanya mengangguk dan menggeleng saja. Aku tak ingat berapa lama, tapi sepertinya cukup lama sesi tanya jawab itu berlangsung…
“Ha!—suara itu lagi. Apa kamu mendengar suara itu, Kawan?
“‘Ya. Jelas sekali di dalam kepalaku. Sepertinya suara itu berbicara langsung melalui gelombang otakku. Pasti ini yang namanya telepati. Dan sepertinya itu adalah suara panggilan untuk kita…’
“Mendadak kurasakan sebentuk aliran hawa dingin merayapi punggungku. Hah!? Itukah mereka, para alien? Tak salah lagi! Mereka adalah tiga sosok tinggi yang menculikku dua malam lalu dan mewawancaraiku setelah membaca pesanku di padang ilalang. Aku yakin mereka juga telah membaca blog tentang keinginanku untuk berhubungan dengan mereka. Dan waktu itu mereka mendebatkan apakah aku boleh ikut dengan mereka atau tidak.
“Aku ingat di pagi hari setelahnya aku mendapati jejak tanah di lantai kamarku yang berasal dari bawah daun jendela. Sepertinya aku telah dipanggil dalam tidur menuju pesawat mereka.
“Dan sekarang mereka memanggilku kembali untuk ikut dengan mereka. Panggilan itu telah datang malam ini. Tampaknya mereka telah mengambil keputusan atas penawaranku. Namun, meskipun aku telah menyiapkan diriku sedemikian rupa untuk hari ini, tapi sebagian diriku yang lain kini mendadak merasa takut. Ciut. Dan bermaksud memilih mundur. Aku tak bisa mengendalikan tubuhku yang gemetaran.
“’Tidak, tidak, hapuskan ketakutan dan keraguanmu itu, Kawan!’ bagian diriku yang lebih kuat berusaha menguatkanku. ‘Aku adalah temanmu. Dan kamu adalah temanku. Kita adalah satu…’ katanya lagi meyakinkanku, membujukku. ‘Ini mimpi kita, mimpi kita yang menjadi nyata. Jadi kamu harus ikut bersamaku untuk memenuhi panggilan itu!’
“Panggilan itu menggiring tubuhku untuk mendongak keluar ke jendela. Kulihat sebuah benda hitam besar laksana segumpalan awan mendung melingkupi langit atas rumahku. Sementara di bagian tengahnya terdapat selarik cahaya benderang, menyorot menyilaukan layaknya lampu panggung berukuran raksasa. Di sekitarnya daun-daun yang berserakan di halaman berterbangan dalam formasi lingkaran, dan suara gemuruh angin seakan-akan menjerit ketakutan menyaksikan fenomena itu. Itulah sinyalnya. Itulah pintu masuknya; sinar itu akan menyedot apa saja yang ada di bawahnya.
“Kedua tanganku bergegas membuka daun jendela dengan cekatan. Hei, aku tidak mau ke sana!—jeritku dalam hati. Itu bukanlah aku yang mengendalikan tanganku untuk membuka jendela. Tubuhku seperti dihipnotis. Bagian diriku yang masih sadar berusaha kuat menghentikannya, tapi pengaruh kendaliku kalah jauh.
“‘Apa!? Bagaimana dengan Papa-Mama, katamu…? Lalu dimana mereka saat kamu sendirian? Hei, hanya aku yang yang menemanimu di saat mereka sibuk kerja!’ teriak bagian diriku yang lebih kuat.
“Oh , tidak! Aku salah. Ternyata aku tidak sedang dihipnotis. Ternyata bagian diriku yang lebih kuatlah yang telah menguasai diriku dan memaksaku menuju cahaya itu.
“‘Tidak, tidaaaaakk…! Hentikan aku! Sejak awal kamulah yang mempunyai ide ingin diculik alien itu!’ kataku pada bagian diriku yang lebih kuat, memohon.
“‘Ayolah, ini mimpi kita! Mimpi kita yang menjadi nyata…’ jawab diriku yang lebih kuat, suaranya nyaring, bergetar tanda ia telah menemukan kesenangan tiada terkira. Tidak dipedulikannya sama sekali aku yang tengah merengek ketakutan. Sebaliknya ekspresi wajahnya—bayangan wajahku yang terpantul di kaca jendela—tampak sangat kegirangan menghadapi semua ini. Matanya melotot seakan nyaris keluar dari kelopaknya. ‘Hahahaha! Apa kamu lupa? Kita akan bertualang melintasi galaksi! Bayangkan akan betapa menyenangkannya hal itu, Kawan!’”
“‘Tapi kamu hanyalah teman khayalanku! Berhentilah memerintahku!’
“‘Oh ya?’
“‘Hei, hentikan! Hentikan! Berhentilah menarik dan meminjam tubuhku…!’
“’Ah, waktunya habis, Kawan! Ucapkan selamat tinggal pada bumi!’”
Tukk! Terdengar suara recorder itu terantuk sesuatu, sepertinya terjatuh ke atas rumput di halaman. Lalu selanjutnya terdengar suara angin berhembus sangat kencang, seolah di tempat itu ada sesuatu yang mengambang di udara dan menerbangkan apa saja di bawahnya. Lalu perlahan suara seruan angin tersebut terdengar mereda, sepertinya sesuatu di angkasa itu telah bergerak menjauh dan menjauh…
Hingga akhirnya hanya terdengar suara angin malam biasa yang berdesir di senyap malam…
Di meja kerjanya si petugas polisi tergugu. Ini kasus yang sangat langka dan aneh. Kepalanya dipenuhi berbagai praduga. Rona wajahnya yang pucat menampilkan kengerian setelah mendengar keseluruhan cerita di dalamrecorder itu. Si Ibu menatap penuh harap ke matanya, berharap menemukan kepastian ia akan berjumpa lagi dengan putranya. Semburat bening mengambang di kedua sudutnya. Meleleh. Lalu menganak sungai di antara pipinya.
“Pak Polisi, tolong temukan anakku…” ratapnya pilu, seolah memperdengarkan dari kedalaman hatinya yang paling dalam ia telah lama sekali kehilangan putranya itu.

 
Support :